Anak antara Harapan dan Ratapan

Publish

26 July 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
299
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak antara Harapan dan Ratapan: Refleksi Hari Anak Nasional

Edi Sugianto, Dosen IAI Al-Ghuraba dan Universitas Muhammadiyah Jakarta 

Beberapa hari lalu, jagat media dihebohkan dengan fenomena memilukan, pasangan suami istri yang telah lanjut usia ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan di dalam rumahnya, Jonggol – Bogor, Jawa Barat. Lantaran, anak-anak yang sudah berkeluarga terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, tidak mempedulikan kondisi kedua orangtua yang sudah senja.      

Lalu, dari kejadian menyedihkan tersebut, muncul pertanyaan, bagaimana agama memberikan tuntunan agar orangtua melahirkan anak-anak yang berbakti di masa depan?   

Allah berfirman: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai “fitnah” dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar” (QS. 8 : 28).

Az-Zuhaili  dalam Al-Tafsir Al-Munir (Jilid 5, hlm 312), menjelaskan kata fitnah, yang berarti ujian dan cobaan yang berat, sejalan dengan besarnya kemanfaatan harta dan anak. Orangtua harus mampu mengelola cinta terhadap harta dan anak, karena keduanya bisa menjadi penyebab terjerembap dalam dosa dan azab. 

Misalnya, orangtua wajib memastikan harta atau uang yang dibawa ke rumah adalah hasil dari cara yang halal, sehingga anak-anak tumbuh berkembang dengan kebaikan dan akhlak yang mulia. Jangan sampai orangtua menafkahi anak dan keluarga dengan uang hasil korupsi dan manipulasi. 

Kewajiban Orangtua

Anak adalah amanah dari Allah, maka orangtua memiliki kewajiban menjaganya lahir dan batin. Kewajiban yang berkonsekuensi pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Orangtua mesti menunaikan tugas mulia tersebut dengan sebaik mungkin, karena apa yang ditanam itulah yang akan dituai kelak.

Hak anak dari orangtua, atau kewajiban orangtua tehadap anak, menurut kacamata Islam setidaknya ada tiga:

Pertama, memberikan nama yang baik. Menurut Islam, nama bukan sekadar sebutan biasa, sebab nama adalah doa dan harapan besar yang terus “dipanjatkan” setiap saat. Bahkan, setiap orang yang memanggil atau bertanya, “Siapa namamu?”. “Namaku Muhammad (yang terpuji)”. Sepanjang waktu, ia akan didoakan menjadi orang yang senantiasa terpuji akhlaknya. 

Kedua, mengajarkan baca tulis, atau dalam arti luas memberikan pendidikan. Mendidik anak adalah tanggungjawab penuh orangtua. Sedangkan, guru, dosen, ustaz, kiai, dan lain-lain, hanya membantu tugas orangtua untuk memaksimalkan pendidikan anak-anak. 

Manajemen sekolah yang baik salah satunya tercermin dari sinergi yang instens antara guru dan orangtua murid. Karena, sejatinya orangtua (keluarga) adalah “madrasah” pertama yang paling memahami secara detail mengenai kondisi anak.

Pendidikan apa yang paling utama bagi anak? Tidak lain adalah pendidikan iman, yaitu mengajarkan anak-anak mengenai ketuhanan yang lurus (tauhid). Ini adalah fondasi kecerdasan spiritual anak sepanjang hidup. Spiritualitas akan menghadirkan kebaikan-kebaikan, seperti berbakti kepada kedua orangtua, mendirikan salat, dan tidak bersikap sombong (QS. 31 : 13 - 19). 

Ketiga, menikahkan apalagi telah dewasa. Orangtua yang baik akan selektif memilihkan pasangan untuk anaknya. Pilihan yang sesuai dengan tuntunan agama, yaitu pasangan yang setara (sekufu) dalam status sosial ekonomi, nasab, rupa, dan terakhir adalah agama sebagai syarat mutlak dari kebahagiaan rumah tangga. 

Mengapa faktor agama menjadi kunci? Sebab, pernikahan bukan hanya ikatan percintaan, atau pelestarian keturunan. Pernikahan adalah ibadah terpanjang yang sarat kebaikan. Contoh kecil, seseorang sebelum menikah mungkin masih salat sendirian, namun ketika menikah ganjaran dua puluh tujuh derajat pahala terbuka lebar setiap waktu, yaitu salat berjemaah dengan pasangan.

Mengapa kewajiban-kewajiban tersebut sangat penting, baik bagi orangtua atau pun si anak? Sebab, ketiganya merupakan upaya merealisasikan perintah Allah, agar selamat dari nestapa dunia akhirat (QS. 66: 6).

Birrul Walidain

Kewajiban senantiasa beriringan dengan hak. Begitu pun orangtua yang telah menunaikan kewajiban-kewajiban kepada anak, mereka berhak mendapatkan bakti sang anak, apalagi ketika orangtua mulai menua tak mampu lagi beraktivitas seperti biasa, selayaknya mereka mendapatkan pelayanan terbaik dari anak-anaknya. “Dan kami wasiatkan kepada manusia untuk bergaul dengan kedua orangtuanya dengan baik” (QS. 29: 8). Apalagi seorang ibu telah melewati pengorbanan yang susah payah (wahnan ala wahnin), sejak mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak (QS. 31 : 14). Tak heran, Islam memberikan penghormatan tiga hingga empat kali lipat dibandingkan ayah.

Berbakti kepada orangtua (Birrul Walidain), tercermin dari akhlak mulia sang anak, baik perkataan, perbuatan, perhatian, dan doa yang senantiasa dipanjatkan. Jika kepada orang lain saja, seseorang sering menawarkan bantuan layaknya penjaga toko kepada pelanggannya, mestinya kepada orangtua lebih daripada itu, karena mereka adalah pahlawan kehidupan.

Sebagaimana Hadis Riwayat al-Bukhari dalam Al-Adabul Al-Mufrad (No. Hadis 1 dan 2), Birrul Walidain merupakan perbuatan yang paling dicinta Allah, sejajar dengan salat pada waktunya, dan jihad di jalan Allah. Lebih dahsyat lagi, cinta Allah terhadap seorang hamba, tergantung pada kecintaan kepada kedua orangtua, sebaliknya murka Allah tergantung murka orangtua. Karena itu, menjaga cinta dan kedekatan antara anak dan orangtua mesti dibangun sejak dini hingga dewasa. Masih banyak anak yang malu mengungkapkan kasih sayang kepada kedua orangtuanya, karena dari kecil tidak ada kedekatan emosional.

Sungguh luar biasa keutamaan berbakti kepada kedua orangtua, bahkan dapat menjadi penyebab terbukanya pintu-pintu surga. Sebaliknya, durhaka kepadanya termasuk dosa besar yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam neraka, bahkan disebutkan setelah dosa syirik atau mempersekutukan Allah (Al-Adabul Al-Mufrad, No. Hadis 7, 8, dan 15).

“Rasulullah bersabda, ‘Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Siapa wahai Rasulullah?’ Beliau lalu bersabda, ‘Siapa saja yang mendapati kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya masih hidup di usia tua, tetapi ia malah masuk neraka.” (Al-Adabul Al-Mufrad No. Hadis 21 dan HR. Muslim).

Allah mengamanahkan anak sebagai ujian hidup. Dua kemungkinan besar yang akan terjadi, apabila orangtua “lulus ujian” maka akan panen kebahagiaan dan itu harapan semua orangtua, tetapi jika gagal mendidiknya, anak-anak akan menjelma ratapan dan nestapa masa depan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Guru SMA Muhamamdiyah I Sumenep, penulis buku motivasi Islam Meraih Hikmah....

Suara Muhammadiyah

12 March 2024

Wawasan

Benarkah Muhammadiyah Kekurangan Kader Ulama? Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi, Penerjemah Bahasa Ara....

Suara Muhammadiyah

17 April 2024

Wawasan

 Muharam Mari Berbenah  Oleh: Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I., M.S.I Bulan telah berganti, k....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Wawasan

Oleh: Cristoffer Veron P Setelah menikmati lelap tidur panjang berikut menyaksikan bunga mimpi nan ....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Pernahkah Anda bertanya kapan perang Rusia-Ukraina akan berakhir? Jika demikian....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah