Anak Minang Rantau: Sebuah Pembelajaran
Oleh: Saidun Derani
Kehadiran Awak Samo Awak (ASA) merupakan sebuah keinginan yang lahir dari lubuk hati yang mendalam dari manusia Minang perantauan apakah itu di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lainnya yang ada di Nusantara (Indonesia). Wujud keinginan itu melahirkan sebuah paguyuban yang di dalamnya mengekspresikan bahwa eksistensi manusia Minang diakui keberadaannya sekurang-kurangnya antara sesama perantauan.
Banyak hal yang mendorong mengapa sebuah paguyuban lahir sebagai ajang silaturrahmi antara sesama daerah asal. Substansi dari kelompok sosial yang anggotanya memiliki ikatan batin murni, alamiah dan bersifat kekal. Katakanlah semacam sikap ashobiyah sebuah konsep yang ditawarkan Ibnu Khaldun (w.1406) Bapak Sosiolog dan Sejarawan Dunia, yang dimiliki setiap suku dan bangsa. Timbulnya akibat rasa cinta dan persatuan yang bersifat alami atau telah ditakdirkan.
Dengan pengertian di atas maka anggota paguyuban memiliki garis keturunan yang sama. Sementara yang lainnya karena terikat sifat kebersamaan dan solidaritas. Jadi pada prinsipnya paguyuban biasanya melakukan kegiatan gotong royong dan tolong menolong antar anggota dengan tulus tanpa pamrih.
Tiga Tipe Paguyuban, Pertama Paguyuban karena ikatan darah atau keturunan, kedua Paguyuban karena tempat di mana kumpulan orang yang tinggal berdekatan sehingga saling tolong menolong, ketiga Paguyuban karena memiliki pemikiran yang sama yaitu kumpulan yang mempunyai kesamaan pikiran, jiwa serta seideologi.
Sementara itu Patembayan merupakan bentuk kehidupan antar anggota yang memiliki hubungan bersifat sementara dan disatukan pemkiran yang sama. Jadi masyarakat Patembayan bisa juga diartikan dengan masyarakat sivil yang kebutuhannya mendapatkan prioritas penting daripada asosiasi sosial.
Sifat hubungan Patembayan adalah impersonal dan tidak langsung. Hubungan dibentuk untuk kepentingan efisiensi atau pertimbangan ekonomi dan politik. Selain itu anggota Patembayan yang tidak memiliki kepentingan apapun dapat ke luar kapan saja dari kelompok.
Adapun ciri-ciri Paguyuban adalah sebagai berikut; bersifat menyeluruh dan mesra (intimate), memiliki hubungan yang bersifat pribadi (private), memiliki pikiran bahwa hubungan hanya “kita” dan tidak untuk orang yang di luar kelompok (exclusive), memiliki tipe masyarakat yang rural dan tradisional, saling mengenal, berkebudayaan, dan berbahasa yang sama, lebih mementignkan kepentingan umum di atas pribadi dan terikat dengan adat.
Sedangkan masyarakat Patembayan memiliki ciri-cirinya adalah bersifat impersonal, urban, moderen, dan industri yang tradisinya lemah, hubungan kontekstual dan kontraktual, didominasi kompetisi, bergerak berdasarkan komando, dan mementingkan prinsip efisien, umumnya dipimpin berdasarkan wewenang dan hukum, lebih memiliki orintasi ekonomi dan tidak kekal.
Contoh Masyarakat dalam bentuk Paguyuban adalah keluarga atau kerabat, Awak Samo Awak (ASA), MKMB (Musyawarah Kerukunan Masyarakat Bangka), Kelompok Arisan, Rukun Tetangga dan Rukun Warga, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), Organisasi Masyarakat kayak Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) dan Orsospol (Organisasi Poitik). Lalu contoh Masyarakat Patembayan adalah perusahaan, ikatan antar pedagang, organisasi profesi, organisasi buruh dalam insdustri.
Antara Bayang Sejarah dan Perubahan Sosial
Diskusi Panjang penulis dengan beragam teman Minang dari berbagai profesi dan pendidikan serta bercengkrama dengan pemikiran Mochtar Naim, Sosiolog Andalas, Sumatera Barat, sebuah Universitas yang cukup pretisius di Sumatera dan Indonesia banyak membantu memahami cara pandang dan karakter orang Minang. Dan dalam kunjungan penulis ke Sumbar Agustus 2022 alangkah indahnya bumi orang Minang yang masih perawan dan dijaga dengan baik sebagai pemberian Tuhan yang Maha Pengasih. Di sini kelihatan hubungan yang semetris dan dialogis antara Tuhan, Manusia, dan Alam.
Diskusi ringan dan renyah meluncur dari lisan ketika ditanya apa sebenarnya karakteristik manusia Minang itu. Kata kuncinya terletak pada prinsip “Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah”. Jika Syarak membenarkan maka adat akan memakai. Dalam konteks inilah sejauh perjalanan dan ngobrol penulis dengan orang Minang mulai kelas atas bin the have dan masyarakat kebanyakan di pasar bahwa begitu tampak harga diri dan rasa malu yang masih menjadi pegangan komunal masyarakat Minang.
Ketika dikejar dengan pertanyaan lain apa yang membentuk karakter manusia Minang pekerja keras dan memiliki harga diri yang begitu tinggi maka umumnya mereka menjawab sambil nyantai karena dibentuk faktor Sejarah yang panjang. Selain itu faktor alam Sumatera Barat nan indah dengan Pegunungan dan Sungai-danau serta Ngarainya ikut menyimai jiwa ingin terbang setinggi-tingginya mencapai bintang di langit.
Mimpi-mimpi ini menjadi bayang-bayang angan yang meresap ke dalam alam bawah sadar orang Minang ketika momentum sejarah menerpa menjadilah ia sebuah kekuatan pendorong yang dahsyat untuk meraih sebuah prestasi dunia apalagi Akhirat.
Siapa pun orangnya dan apapun bangsa dan agamanya yang tidak kagum dengan bumi Minang ini berarti tidak memahami dan menyelami zauq (kejiwaan) tumpah darah tempah lahir para tokoh bangsa ini. Lihat lah hamparan Ngarai dan Sungai dengan barisan jajaran bukit yang tertata rapi bak semut beriring disamakan dengan alis sang putri raja melambai sungguh membuat diri terasa di surga Allah yang indah permata.
Sudah menjadi sunnatulah (nature of law-hukum alam) bahwa keindahan dan kekayaan alam dapat mengundang manusia berdatangan untuk menjawab tantangan hidupnya. Adanya sebuah Kerajaan Pagaruyung yang menjadi pusat pemerintahan pada awalnya menjadi rujukan rakyat Minang membentuk dirinya sebagai sebuah kekuatan sosial politik dan peradaban.
Perkembangan lanjut hidup dan alam ini berubah seiring dengan perubahan dan cara berfikir manusia sebagai pelaksana alam itu. Negara Minang tidak steril dari imigran manusia dari berbagai suku bangsa baik dari wilayah Aceh dan umumnya kedatangan bangsa dan etnis lain dengan membawa budaya dan tradisinya. Jadilah negeri Minang mengalami pasangn surut dengan membentuk dirinya menjadi sebuah bangsa dengan tradisi ke-Minangan-nya.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, pulang berhaji tahun 1803 mengubah peta Minang yang tadinya segala sesuatu merujuk kepada adat istiadat yang menurut para pembaharu agama di Tanah Minang ini sudah menyimpang dari ajaran dasar Islam.
Perbedaan yang bersifat prinsisp mengenai ajaran kaum Padri dan kaum adat. Perbedaan tentang kebiasaan di Kerajaan Pagaruyung antara Islam dan adat. Mereka mnginginkan penerapan syariah Islam secara paripurna di masyarakat Minangkabau.
Kaum Adat dalam kesehariannya melakukan kebiasaan seperti menyabung ayam, judi dan minum-minuman keras (miras). Ketika persoalan ini tidak ditemukan kata mufakat maka melahirkan sebuah konflik yang dikenal dengan Perang Padri.
Perang ini melibatkan Suku Minang dan Mandailing. Kaum Paderi dipimpin Harimau Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah. Puncak dari konflik internal masyarakat Minangkabau ini terjadi pada tahun 1815 di mana Kaum Paderi dipimpin Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung.
Kekalahan Kerajaan Pagaruyung menyebabakan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari ibu kota dan Kaum Paderi berhasil menekan kaum adat. Kepemimpinan Harimau Nan Salapan mampu membawa Kaum Paderi kepada kemenangan. Terdesaknya Kaum adat membuat mereka meminta bantuan kepada Pemerintah Prothestan Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1821.
Singkat kisah maka 4 Maret 1822 dipimpin Letkol Raaff Belanda berhasil memukul mundur Kaum Paderi dari Kerajaan Pagaruyung. Kemudian mereka mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar bernama Fort van der Capellen, sedangkan Kaum Adat memusatkan pertahanan kekuatannya di Lintau.
Pada 11 Januari 1833 Kaum Paderi dan Kaum Adat bersatu menyerang pertahanan Belanda di Fort de Kock, Bukittinggi. Perubahan sikap orang Minang ini menjadi bersatu-tentu masalah harga diri yang menjadi pendorong utama selain faktor-faktor yang bersifat praktis- menyebabkan Belanda mengeluarkan “Plakat Pajang” berisi pernyataan bahwa Belanda ke Minangkabau bermaksud berdagang dan menjaga keamanan bukan sebaliknya untuk menjajah Rakyat Minangkabau.
Akan tetapi tetap saja Belanda, yang Belanda tukang bohong. Tahun 1837 menyerang Tuanku Imam Bonjol dan berhasil menangkapnya. Perang Paderi terus berlanjut di bawah kepemimpinan Tuanku Tambusai hingga wilayah Dalu-Dalu jatuh ke tangan Belanda 28 Desember 1838. Dan perang ini dianggap selesai ketika Tuanku Tambusai melarikan diri ke Negeri Sembilan di Negeri Semenanjung Malaya. Akhirnya Kerajaan Pagaruyung menjadi wilayah kolonial Belanda.
Dampak dari Perang Paderi ini (1808-1837) adalah salah satunya lahirnya persatuan pemimpin tradisional (adat) dan agama. Dalam konteks inilah memahami lahir istilah “Adat Basandi Syarak, dan Syarak Mengato Adat Memakai” di atas. Dalam konteks ini hikmah Perang Paderi memperkuat solidaritas dan koordinasi antar kelompok dalam menghadapi Belanda dan mempertahankan identitas budaya mereka.
Makna solidaritas di sini diartikan dengan perasaan saling percaya antara para anggota dalam sebuah kelompok atau komunitas. Jika orang saling percaya maka mereka akan menjadi satu dan melahirkan persahabatan, saling hormat menghormati, menjadi terdorong untuk bertanggungjawab dan memperlihatkan kepentingan bersama, misalnya masyarakat adat karena kesamaan norma dan kepercayaan.
Nasi sudah menjadi bubur jadilah Minangkabau di bawah kekuasaan Pemerintahan Prothestan Kolonial Hindia Belanda dengan beragam tangis dan deraian air mata dan darah. Penyesalan Kaum Adat tidak ada gunanya lagi. Mereka yang mengundang dan meminta Belanda datang dan menjamu mereka dengan karpet merah. Akan tetapi sebaliknya Belanda musang berbulu ayam. Dikira emas justru sebaliknya yang dibawa adalah membedil semua orang Minangkabau dan merusak tatanan tradisi Minang menjadi budaya kolonial yang penuh intrik dan adu domba antar sesama anak Minang.
Orang Minang akan melawan jika ditekan dan ibarat bandul jam semakin keras tekanan maka semakin keras pula melawannya, tegas Dr. Afrizon Safri, SE, Ak, M.Si, CA, seorang teoritisi ekonomi mikro dan praktisi bisnis di bidang insurance dan rumah sakit. Dalam konteks inilah melihat orang-orang Minang mengapa mereka berhasil ketika di Rantau khususnya Jawa dengan beragam profesi dan ideologi yang di bawanya. Lahirlah manusia Moh. Hatta, H. Agus Salim, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Moh. Yamin, Buya Hamka, Moh. Natsir mengisi lembaran Sejarah Bangsa Indonesia dengan tinta emasnya.
Kalau boleh penulis samakan dengan orang Madura ketika ditanya pembawa Acara Ramadhan, Prof. Komaruddin Hidayat, kepada budayawan Jamal D. Rahman, mengapa orang Madura pekerja keras dan hemat sehingga di kota-kota besar umumnya mereka berhasil di bidang ekonomi dan financial dan sangat kuat solidaritasnya.
Jamal D. Rahman, budyawan asal Madura ini, menjawab bahwa penyebabnya adalah karena faktor alam yang sangat gersang dan tandus sehingga sangat sulit mereka bertani di rumahnya Pulau Madura. Sedangkan untuk menyebrang pulau mereka menghadapi ganasnya laut. Faktor alam yang demikianlah yang menyebabkan mengapa orang-orang Madura menjadi pekerja keras dan tahan banting lalu menerapkan sikap hidup hemat serta mandiri dan percaya diri.
Karateristik yang disebutkan di atas sangat cocok dengan budaya manusia moderen sebagaimana yang dikatakan Prof. Alex dari Harvard University AS. Dan budaya inilah yang dibawa orang-orang Eropa Barat yang menganut ajaran Kristen Prothestan dikenal dengan Prothestan Ethik dengan teori “N-Ach”nya. Tipelogi inilah salah satunya yang dapat dilihat pada manusia Prof. Dr. Mahfud MD sebagai contoh.
Pada awal kemerdekan sampai tahun 60-an penulis melihat jika membaca Sejarah Nasional lalu bertemu dengan manusia Minang dan bahkan sampai sekarang mereka sangat bangga (proud) menyebutkan ke-Minangan-nya.
Bukankah kata bangga (proud) semakna dengan kata sombong, angkuh, agung, lantam dan langguk kata Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Lebih luas leksikon dari kata bangga adalah berbesar hati atau merasa gagah karena mempunyai keunggulan. Jadi kata kunciny adalah pemilikan keunggulan (nilai lebih). Dengan kata lain kalau kita memiliki suatu keunggulan itu akan membuat kita berbesar hati dan membuat kita berbangga dalam konteks termotivasi dan memiliki harga diri.
Dalam Ilmu Management sumber keunggulan (kekuasaan) itu sekurang-kurangnya ada tujuh di antaranya adalah legitimate power (SK), kayak menjadi Ketua, menjadi Presiden, Jajaran Direksi, Pengacara dan seterusnya. Dengan kata lain menjadi orang “Berpangkat” dan memegang “Tongkat”. Kedua memiliki asset baik luquid dan non-liquid dan sudah masuk level 3. Para ekonom membagi kelas orang dilihat aspek ekonominya ada 3, yaitu level 1, level 2, dan level 3. Kalau level 1 orang ini lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Sedangkan level dua sudah masuk katagori kalau mempunyai keinginan pertanyaan di mana maunya. Adapun level 3 yang biasa digunakan adalah bahasa besok makan siapa.
Ketiga yang melahirkan kebanggaan itu adalah memiliki expert (mu’allim) yang disimbolkan dengan berbagai gelar antara Prof. Dr. LLM. Ph. D, SH, MH, Kyai, Ajengan, Buya, Datuk, Sri Maharaja, Datin, Haji, dan seterusnya. Keempat, Force power karena memiliki kemampuan kekerasan yang bersifat refresif, dalam katagori ini masuk kelompok Polri, TNI, kartel dan preman. Kelima adalah conections power orang akan bangga karena memiliki koneksi yang luas dan ada kecendrungan semacam broker. Keenam yang mendorong orang berbangga arena faktor informations power. Banyak tahu berbagai informasi yang sifat bersifat A1. Terakhir adalah kharismatik dan dari sini melahirkan penghargaan dari kelompok masyarakatnya (rewert power).
Kata Hujjatul Islam Imam Ghazali (w. 1111) namanya adalah Abu Hamid, penulis Kitab Ihya Ulumuddin, salah satu dari ketujuh hal itu dapat membuat seseorang bangga, apalagi memiliki ketujuhnya. Akan tetapi bukankah ada lagu Mayjen (Pur TNI AD) Basofi Sudirman mantan Gubernur Jawa Timur 1993-1998 mengatakan “Tidak Semua Laki-laki”.
Membalik kilas sejarah para perantau muda Minang tahun-tahun 1970-an dan 80-an dan seterusnya berdatangan ke Jawa dengan membawa beragam keinginan dan terjun ke berbagai profesi terutamna bisnis. Pasca peristiwa PRRI semakin mempertegas orang muda Minang untuk oksodus dari bumi Minangkabau, selain masalah faktor struktur sosial yang penulis sebutkan di atas.
Di Ciputat tempat di mana terdapat sebuah Perguruan Tinggi Islam yang cukup prestisius dikenal dengan nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sinilah penulis bergaul dan berkelindan dengan anak-anak muda Minang khususnya di Asrama Ikatan Mahasiswaq Muhammadiyah (IMM). Bahkan sahabat karib penulis sekarang menekuni bidang agama Buya Drs. H. Waliyul Amri tinggal di Jakarta Timur kelahiran Minang Kota Payakumbuh
Jadilah orang-orang Minang seperti Buya Dr. H. Anwar Abbas, MM, MA, kelahiran Payakumbuh menguasai jagat Indonesia, Dr. Buya H. Afifi Fauzi Abbas, MA, (alm) yang kembali ke daerah asal membina Pondok Pesantren di sana, Prof. Dr. Yusron Razak, Prof. Dr. Masri Mansur, Dr. Farid Hamzen, M. Si, Prof. Dr. Desmadi, Dr. Desri Arwen, M. Pd, yang pada umumnya bergerak di dunia pendidikan. Jarang penulis menemukan atau bahkan tidak mendapatkan Anak Minang Rantau “godokan” Asrama IMM Ciputat berkecimpung di dunia bisnis dan politisi. Barangkali agak ada pengecualian dengan Drs. H. Gusfardi Gaus, M. Si, selain politisi beliau ini juga seorang pebisnis.
Mereka-mereka inilah mewakili Anak Minang Rantau yang ke luar dari “kepengapan” struktur sosial dan budaya materilineal yang penulis kenal di Kampus IAIN Syahid Jakarta (sekarang berubah nama menjadi UIN Syahid Jakarta) sejak tahun 1978 sampai sekarang yang dianggap belum mampu menjawab keinginan besar anak-anak muda ini. Di Jawa lah mereka berekspresi dan tanpa disadari kesadaran ini melahirkan “kebanggaan” ke dalam diri dan kebanggaan tempat mereka berasal yang kemudian diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai bentuk ekspresinya.
Dalam konteks inilah penulis melihat perilaku Anak Minang Rantau beragam gaya dengan simbol-simbol dunianya bisa berupa Harta, Tahta dan Wanita, gelar akademik, sungguhpun penulis juga melihat dan merasakan tidak semua “Anak Minang Rantau” mengalami apa yang disebut dengan “kekagetan budaya” sebagaimana dilambangkan lagu Basofi Soedirman di atas dengan judul “Tidak semua Laki-laki”.
Dalam konteks inilah penulis memahami lahirnya Awak Samo AwaK (ASA) atau semacamnya satu sisi kerinduan dasar manusia yang ingin berkumpul dengan nilai-nilai yang sama; bisa etnis, spacing, bahasa, kuliner dan seterusnya. Akan tetapi pada sisi lain juga mengekspresikan kemampuan diri tanpa melukai keluarga lain yang tidak beruntung nasibnya. Salah satu pelajaran yang berharga penulis dapat dari Anak Minang Rantau sekelas Anwar Abbas dan Afifi Fauzi Abbas, misalnya bagaimana mereka begitu solid dan saling tarik menarik antar sesama Minang untuk membina yang di bawah yang kemudian dipersiapkan sebagai kadernya.
Problem Anak Minang Rantau
Problem pertama, sekarang ini lahir Persatuan Kristen Minang (PKM) . Padahal diketahui bahwa istilah Minang mengacu kepada pepatah “Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. Dengan demikian kata Minang tidak ada makna lain kecuali diartikan dengan Islam. Jadi istilah yang dipakai umat Kristen dengan Persatuan Kristen Minang (PKM) di atas tidak pas dalam konteks ini. Karena yang ada dan yang teradat menjadi hilang kontekstualnya.
Masalah ini sama saja dikatakan dengan istilah Betawi. Ini sudah pasti bahwa Betawi yang dimaksud adalah orang Islam (Selam). Jika hilang Islam ini artinya bukan lagi bermakna orang Betawi. Jadi perlu ditinjau ulang penggunaan istilah Minang yang dilekatkan di luar makna Islam sebagaimana substansi dari Pepatah Minang di atas.
Problem kedua bahwa orang Minang budayanya kurang percaya kepada keluarga sendiri. Masalah ini melahirkan kerenggangan kekerabatan yang pada akhirnya terburuk adalah terjadi disintegrasi keluarga dengan membawa “beban psikis” dengan diikuti perasaan emosi yang meningkat. Pada akhirnya memunculkan “amarah terpendam” sehingga budaya “kurang” mempercayai keluarga sendiri ini mendorong anak muda untuk merantau.
Lalu ketika mereka di Rantau sukses karena didukung budaya asli orang Minang etos kerja tinggi dan sikap mendiri yang kuat sebagai karakter yang dibutuhkan untuk berprestasi baik di bidang ekonomi financial dan pendidikan. Kembali ke Minang terasa terbalaskan yang tadinya “diremehkan” dari tidak apa-apa menjadi apa-apa.
Problem ketiga, Dr. Afrizon Safri menambahkan bahwa selain persoalan internal keluarga yang mendorong anak muda Minang merantau adalah ingin ke luar dari kepengapan “Struktur Sosial” yang merujuk kepada Budaya Matrilineal (Keturunan Berdasarkan Ibu-sebuahh budaya ditentang Buya Hamka) sehingga laki-laki ditantang untuk berusaha dan membangun asset mereka sendiri karena jika bergantung dengan harta yang dimiliki keluarga hal tersebut sudah dikuasai pihak perempuan, termasuk juga masalah rasa malu untuk memanfaatkan harta keluarga.
Jadilah dua karakter nilai budaya ini -masih ada lagi dua budaya lainnya Rumah Gadang dan Menikah Sesuku dilarang-baik internal keluarga dan eksternal budaya Minang semakin mendorong dan mempertegas jati diri Kelaki-lakian Minang Rantau. Artinya merantau di sini dimaknai dengan merebut kembali jati diri sebagai laki-laki sejati sebagai “Pengatur Serangan”, disamakan dengan kalau main bola dengan Gelandang Serang. Bukan sebaliknya, ayam jago yang mati dikandang sendiri.
Problem keempat tambah Afrizon bahwa sekarang ini karena tidak ada tekanan yang kuat bersifat Mondial (dulu faktor penjajah) maka belum terlihat orang Minang yang “Manggung” di tingkat nasional secara signifikan apalagi di kancah international. Mengapa demikian persoalannya adalah kurangnya faktor visioner dan cendrung berfikir pendek dan sesaat, tegas Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang ini.
Challenges orang Minang zaman reformasi ini hanya berfokus pada masalah ekonomi dan financial. Seperti sudah penulis katakana di atas bahwa faktor merantau karena dorongan konflik psikologis dan ingin ke luar dari kepengapan struktur sosiasl, maka tujuan yang ingin dicapai Anak Minang Rantau bersifat kekinian, kedisinian dan profan.
Dalam konteks inilah mengapa tidak lahir sekarang tokoh pemersatu orang Minang di Tingkat nasional apalagi internasional sungguhpun tidak bisa dinafikan Anak Minang Rantau ada di mana-mana dengan etos kerja yang tinggi dan bersikap mandiri.
Penutup
Dengan memahami latar narasi di atas serta diksi-diksi yang penulis paparkan, tentu banyak hal yang terjadi perubahan terhadap Anak Minang Rantau dan banyak hal pula pelajaran yang dapat penulis ambil.
Etos kerja tinggi, sikap mandiri, solid antar sesama, dan saling tarik menarik dalam membina kader, merupakan contoh-contoh sikap hidup orang Minang yang dapat dijadikan rujukan dalam membina keguyuban dan kesolidan yang sangat dibutuhkan dalam sebuah organisasi seperti Persyarikatan Muhammadiyah sebagai modal dasar integrasi masyarakat.
Pelajaran kedua yang barangkali dapat dijadikan rujukan adalah kata hikmah di bawah ini “ketidaktahuan orang lain itulah yang menjadi kehebatan saya dan dibalik ketidaktahuan saya di sanalah letak kehebatan teman dan sahabat saya yang lain”.
Nashrum min Allah wa Fathun Qarieb
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UM-Surby dan Aktivis PWM Banten 2022-2027