Anak Saleh (13)

Publish

17 October 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
299
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (13)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."

Di dalam “Anak Saleh” (AS) 12 telah diuraikan akhlak takwa kepada Allahu Subhanahu wa Ta’ala dengan fokus pada ketaatan menepati janji. Pada bagian akhir tulisan itu dikemukakan pelajaran berharga yang harus dipetik oleh pasutri yang sedang berusaha membekali diri agar dapat menjadi teladan dalam akhlak adalah hanya dengan iman yang kuat, setiap muslim mukmin dapat menepati janji. Dengan iman yang kuat pula, tidak akan ada dusta di antara sesama muslim mukmin, lebih-lebih di antara pasutri! Muslim mukmin yang terbaik adalah yang terbaik menunaikan janji.

Dalam hubungannya dengan janji, hal yang perlu mendapat penekanan juga adalah penggunaan kalimat insyaallah. Di dalam surat al-Kahfi (18): 23-24 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقُوۡلَنَّ لِشَاىۡءٍ اِنِّىۡ فَاعِلٌ ذٰ لِكَ غَدًا

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, "Aku pasti melakukan itu besok pagi,

  اِلَّاۤ اَنۡ يَّشَآءَ اللّٰهُ‌ ۚ وَاذۡكُرْ رَّبَّكَ اِذَا نَسِيۡتَ وَقُلۡ عَسٰٓى اَنۡ يَّهۡدِيَنِ رَبِّىۡ لِاَقۡرَبَ مِنۡ هٰذَا رَشَدًا‏

kecuali (dengan mengatakan), "Insyaallah." Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini."

Kedua ayat tersebut turun berkaitan dengan jawaban Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya oleh an-Nadir bin al Harts dan Uqbah bin Mu'ith tentang tiga perkara. Beliau mengatakan, "Saya akan mengabarkan kepada kalian tentang apa yang kalian tanyakan itu besok." Beliau mengatakan demikian tanpa mengucapkan "insyaallah."

Dari ayat-ayat dan peristiwa tersebut kita pahami bahwa muslim mukmin tidak boleh memastikan akan dapat melakukan sesuatu. Jika berjanji akan menghadiri suatu acara misalnya resepsi pernikahan, akan bepergian, akan menyelesaikan pekerjaan, atau akan melakukan aktivitas yang lain, tidak dibenarkan memastikan bahwa dirinya dapat hadir, dapat pergi, atau dapat menyelesaikan pekerjaan. Hal itu dapat dipahami dengan sepenuhnya karena sehebat apa pun rencana manusia, akhirnya tunduk pada ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia Yang Maha Menentukan, Yang Maha Mengetahui, dan Yang Maha Memiliki Kekuasaan.

Di bidang sains dan teknologi, kita dapat mengingat kembali meledaknya pesawat Challenger. Pesawat yang sangat canggih itu meledak tidak lama setelah lepas landas dari Cape Canaveral, Florida, pada 28 Januari 1986. Para ilmuwan tentu telah merancangnya dengan kecermatan yang luar biasa. Oleh karena itu, mereka memastikan bahwa pesawat itu dapat melaksanakan misinya dengan baik. Namun, kenyataan yang terjadi berbeda sama sekali!

Bagi muslim mukmin peristiwa itu jelas mempunyai pelajaran yang sangat berharga. Setidak-tidaknya, muslim mukmin memahami bahwa setinggi apa pun ilmu yang dimiliki oleh manusia harus disadari bahwa ilmu yang dimilikinya itu sesungguhnya bagaikan setetes air yang jatuh dari ujung jarum yang diangkat setelah dicelupkan ke dalam samudra.  

Di dalam AS (13) ini diuraikan akhlak cinta dan rida yang merupakan salah satu bentuk pengamalan akhlak muslim mukmin (sebagai makhluk) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (sebagai khalik). Menurut Yunahar Ilyas, "Dengan cinta, kita mengharapkan rida-Nya dan dengan rida kita berharap cinta-Nya." Pasutri yang sedang berikhtiar membekali diri wajib memahami secara utuh dan berlatih mengamalkannya. 

Cinta pada Allah

Dalam konteks akhlak muslim mukmin terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, cinta─sebagaimana dikemukakan oleh Yunahar Ilyas─hakikatnya kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2): 165,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”

Sementara itu, di dalam surat at-Taubah (9): 24 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ


"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” 

Dari dua ayat tersebut kita ketahui bahwa muslim mukmin seharusnya lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada mencintai harta, jabatan, atau sesama makhluk. Jika cinta kita pada sesama makhluk menimbulkan rasa rindu, semestinya cinta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala menimbulkan kerinduan yang jauh lebih besar. Bagaimana kita selama ini? 

Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang lain, sedangkan hatinya justru lebih terpaut pada harta dan/atau jabatan? Bagaimana mungkin seseorang dikatakan lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang lain jika begitu selesai mengucapkan salam sebagai tanda mengakhiri shalatnya, langsung berdiri dan membuka ponselnya, lalu  langsung berbicara tentang bisnis,  padahal dia masih berada di tengah-tengah jamaah shalat yang mulai melakukan zikir dan wirid? Bagaimana mungkin seseorang dikatakan lebih mencintai Allah Subḥanahu wa Ta'ala daripada yang lain jika lebih tunduk pada tradisi nenek moyangnya daripada ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?

Rida pada Ketetapan Allah

Dengan merujuk kepada pendapat Yuhanar Ilyas, rida dalam hubungannya dengan akhlak muslim mukmin kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti menerima dengan sepenuh hati, tanpa menolak sedikit pun, dan patuh diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala aspek kehidupannya. Muslim mukmin yang rida pada ketetapan-Nya selalu “sami’na wa atha’na”, kami mendengar dan menaati. 

Keridaan muslim mukmin tecermin dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun meninggalkan larangan-Nya. Hal itu merupakan konsekuensi mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar daripada mencintai yang lain.

Dia rida menerima kenyataan meskipun hasil yang diperolehnya tidak seperti yang diharapkan. Jika bertani, tetapi ketika panen harga hasil bertaninya sangat merugikannya, dia rida. Dia menghadapi kenyataan ini dengan sabar dan husnu zan. Berbeda halnya petani yang tidak rida. Dia marah dan kesal. Di dalam kenyataan, bahkan, ada yang sampai membakar atau membuang hasil bertaninya itu.

Muslim mukmin rida ketika tidak terpilih sebagai ketua RT, ketua RW, kepala desa, bupati, wali kota, gubernur, atau presiden. Jika tidak terpilih sebagai anggota DPR atau DPD, dia rida juga. Dia sabar menerima kenyataan itu dan husnu zan bahwa di balik kegagalannya itu pasti ada hikmah yang jauh lebih bermanfaat.

Tentu rida juga jika sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pejabat apa pun, dia harus mengakhiri masa jabatannya. Sebagai bukti keridaannya, dia tidak merekayasa peraturan perundang-undangan itu agar memperoleh perpanjangan masa jabatan. 

Jika muslim mukmin sebagai pejabat publik melakukan kesalahan dan akibatnya memperoleh hujatan, dia rida. Keridaannya itu dibuktikan dengan minta maaf kepada publik. Muslim mukmin pendukungnya pun rida.

Muslim mukmin yang berikhtiar mencari rezeki rida dengan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia selalu sadar diawasi-Nya sehingga menempuh jalan yang diridai. Ketika diajak bekerja sama oleh saudara, teman, dan/atau tetangga dalam ikhtiar mencari rezeki, dia tidak dengan serta merta mau, tetapi mempertimbangkan secara serius apakah usahanya itu berada di jalan yang diridai-Nya atau tidak. Jika tidak, dia rida menolaknya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai harta berlimpah, di hatinya tertanam kesadaran bahwa harta yang dimilikinya adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, disisihkannya sebagian untuk pihak yang berhak menerimanya. Dia sadar bahwa di dalam hartanya ada hak orang lain sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat adz-Dzariyat (51): 19. 

وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ 

“Pada harta benda mereka, ada hak bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta.”

Dengan keridaannya itu, dia berharap dapat menenuhi seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Fajr (89): 27 dan 28

يٰۤاَ يَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ 

"Wahai jiwa yang tenang!"

ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةًۚ 

“… kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.”


Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Konflik Israel-Palestina: Yahudi Sudah Terpecah!Oleh Mu’arif Sebuah pemandangan unik: sekelom....

Suara Muhammadiyah

16 October 2023

Wawasan

Kenaikan Isa dalam Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas M....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Wawasan

Anak Saleh (7) Oleh: Mohammad Fakhrudin Perlu ditegaskan kembali bahwa anak saleh bukan sesuatu y....

Suara Muhammadiyah

5 September 2024

Wawasan

Oleh: Izza Rohman Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Periode 2022-2024 P....

Suara Muhammadiyah

9 December 2023

Wawasan

Praktik Moderasi Muhammadiyah melalui Media Online Oleh: Said Romadlan, Dosen Ilmu Komunikasi Uhamk....

Suara Muhammadiyah

5 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah