Anak Saleh (15)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."
Di dalam “Anak Saleh” (AS) 14 telah diuraikan dua hal yang berkenaan dengan akhlak ikhlas, yakni (1) pengertian dan unsur ikhlas dan (2) mengikhlaskan amal saleh. Untuk penguatan pemahaman dan penguatan pengamalan sekaligus mengevaluasi diri, berikut ini ada contoh konkret aktivitas tetangga kami yang perlu kita jadikan bahan renungan.
Sejak aktif sebagai PNS hingga pensiun dengan golongan IV/b tiap pagi dia menyapu dan mengepel lantai musala. Bahkan, dia pun membersihkan toilet. Ketika masih aktif sebagai PNS, dia melakukannya sebelum berangkat ke kantor, padahal dia bekerja mulai pukul 07.00. Dia melakukannya tanpa disuruh apalagi dibayar!
Apa yang memotivasinya? Dia mengatakan bahwa musala dan masjid adalah rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tempat ibadah, maka harus dijaga kebersihannya. Jadi, dia melakukannya (1) bukan dengan motivasi ingin memperoleh pengakuan dan pujian dari sesama manusia atau ingin mendapat imbalan materi dan (2) dengan sungguh-sungguh.
Seperti telah dikemukakan pada “Allah Tak Pernah Ingkar Janji” (Suara Muhammadiyah, 19 Juli 2024) dan bagian akhir AS (14), pahala bagi muslim mukmin yang beramal saleh diterima di dunia dan di akhirat. Tetangga kami tersebut memperoleh berbagai kemudahan. Anak pertamanya sejak beberapa tahun yang lalu menjadi ASN sesuai dengan yang diinginkannya. Dia telah menikah dan dianugerahi anak sehat. Anak kedua (anak bungsu) menjadi dokter dan mendapat tempat pengabdian di rumah sakit yang dekat dengan rumahnya. Subhanallah!
Boleh jadi, kita termasuk muslim mukmin yang belum mencapai tingkat keikhlasan tinggi. Oleh karena itu, kita harus belajar. Muslim mukmin yang sudah sampai pada tahap tinggi keikhlasannya, tetap wajib berdoa dan bergaul dengan muslim mukmin yang saleh agar istiqamah.
Di dalam AS (15) ini diuraikan syukur sebagai wujud akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kiranya hal ini sangat penting sebagai pembelajaran, terutama, bagi pasutri yang sedang membekali diri.
Perintah Bersyukur
Cukup banyak di antara muslim mukmin yang kurang bersyukur atas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal nikmat-Nya sangat banyak hingga tidak dapat dihitung sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an surat Ibrahim (14): 34,
وَاٰتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْهُۗ وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَاۗ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌࣖ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya, manusia itu, sangat ẓalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
Berikut ini dikutip dua di antara ayat-ayat yang berisi perintah bersyukur,
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِࣖ
“… maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku” (Surat al-Baqarah [2]: 152).
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (Surat Ibrahim [14]: 7).
Dari ayat-ayat tersebut kita ketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah kita bersyukur, menambah kenikmatan bagi orang yang mensyukuri nikmat-Nya, dan Dia mengazab orang yang mengingkari nikmat-Nya.
Wujud Syukur
Perlu kita pahami secara utuh bahwa mulut yang berfungsi secara normal bagi muslim mukmin hakikatnya adalah bagian dari nikmat pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, setiap muslim mukmin wajib mensyukurinya.
Wujud syukur atas nikmat mulut pada prinsipnya adalah menggunakannya untuk beribadah, bukan bermaksiat.
Sangat banyak yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan rasa syukur dengan mulut. Di antaranya adalah (1) berzikir, (2) berbicara yang benar, (3) berbicara yang baik, (4) mensyiarkan salam, (5) saling sapa, (6) bersedekah, (7) bershalawat, dan (8) menasihati.
Eksperimen Sosial Perilaku Ikhlas dan Syukur
Mulut dapat kita gunakan untuk mewujudkan rasa ikhlas dan syukur. Untuk pelatihan dan penguatan dalam hal mewujudkan rasa ikhlas dan syukur dengan mulut berikut ini saya paparkan hasil eksperimen sosial perilaku ikhlas dan syukur.
Selama dua tahun terakhir ini, dua kali dalam satu pekan saya berolahraga jogging. Waktu tempuh yang saya gunakan 60-90 menit.
Saya berjalan melalui tiga wilayah, yakni kota, pinggiran kota, dan desa. Di kota saya berjalan melalui trotoar sebelah kiri. Jika tidak ada trotoar, saya berjalan di bahu jalan sebelah kiri. Namun, jika ada pengguna jalan dari arah yang berlawanan lebih-lebih ibu-ibu atau nenek-nenek yang berjalan di trotoar yang sama dengan saya, mereka saya beri jalan. Saya tetap di trotoar, tetapi lebih menepi atau turun ke bahu jalan.
Di pinggiran kota saya berjalan melalui jalan beraspal yang lebarnya kira-kira tiga meter. Jika ada mobil atau sepeda motor yang akan mendahului saya, sedangkan dari arah yang berlawanan ada juga mobil atau sepeda motor, saya memilih lebih menepi untuk memberi jalan.
Di desa saya berjalan melalui jalan sawah dan tidak beraspal lebarnya kira-kira dua meter, tetapi hanya sebagian jalan yang dapat digunakan, baik untuk pejalan maupun pengendara sepeda motor. Jika ada pengendara sepeda motor yang akan mendahului saya atau ada pengendara sepeda motor yang datang dari arah yang berlawanan, saya memberinya jalan. Saya memilih menepi dan berada jalan berbatu dan miring yang tidak dapat dilalui oleh pengendara sepeda motor.
Sangat sedikit orang yang saya beri jalan berterima kasih, baik dengan ucapan maupun dengan anggukan kepala apalagi sambil tersenyum. Pengendara mobil jauh lebih sedikit lagi, baik dengan membunyikan klakson, sebagai ganti ucapan terima kasih, maupun (lebih-lebih lagi) membuka jendela dan berucap terima kasih. Hanya sebagian sopir angkutan kota yang membunyikan klakson atau menyalakan lampu sebagai ganti ucapan terima kasih.
Di samping "memberi jalan", saya menyapa orang(-orang), yang ketika saya lewat, berada di depan rumah, kios atau sedang ngobrol di jalan yang saya lewati. Ada juga tukang becak, sopir angkutan kota yang sedang "mangkal", dan tukang parkir. Sekurang-kurangnya saya mengucapkan, "Mangga" (‘Mari’) atau "Nuwun sewu dherek langkung" (‘Maaf. Mohon izin lewat’).
Ketika akan mendahului sesama pejalan kaki, saya ucapkan, "Nuwun sewu ngrumiyini" (‘Maaf. Mendahului’).
Di antara mereka ada yang menjawab. Dari tampilan fisiknya, saya perkirakan umumnya mereka berusia lebih dari 50 tahun.
Sementara itu, tukang becak, sopir angkutan kota, dan tukang parkir umumnya berusia lebih muda. Di antara mereka ada yang selalu dengan ramah menjawab, "Nggih, Pak. Mangga! Mangga!" (’Ya, Pak. Mari! Mari!’)
Ada pula di antara mereka yang menjawab dengan tuturan, "Mangga, Mangga. Sehat. Semangat" (‘Mari! Mari! Sehat! Semangat!’) sambil mengepalkan tangan sebagai tanda memberikan semangat.
Siswa SMP yang sedang berjalan menuju ke atau pulang dari tempat berolahraga umumnya menjawab dengan ramah dengan tuturan, "Ya, Pak. Mari."
Di antara orang-orang yang saya beri jalan dan saya sapa ada yang saya kenal dan mereka pun mengenal saya. Mereka selalu menjawab, bahkan, sering lebih dulu menyapa saya, sedangkan orang-orang yang tidak mengenal saya ada yang menjawab, tetapi ada pula yang tidak.
Ada pelajaran berharga bagi kita dari hasil eksperimen perilaku sosial tersebut. Dalam hubungannya dengan wujud keikhlasan, jika niat kita berbuat baik agar diperlakukan baik, dalam hal ini memperoleh balasan ucapan terima kasih dan jawaban atas sapaan, tentu kita sangat kecewa. Namun, jika melakukannya dengan ikhlas, tidak ada rasa kecewa sedikit pun sehingga tetap menyapa. Jika sedang "belajar" ikhlas, perasaan kecewa itu ada, tetapi sedikit demi sedikit dikikis. Dengan memahami bahwa penggunaan mulut untuk berucap salam atau saling sapa bukan sekadar kebiasaan demi kepantasan dalam pergaulan, melainkan merupakan salah satu wujud syukur, kekecewaan itu lambat-laut terkikis.
Sementara itu, dalam hubungannya dengan wujud syukur, tindakan menyapa dan menjawab sapaan atau mengucapkan terima kasih hakikatnya merupakan cara bersyukur atas nikmat mulut yang diperoleh secara gratis dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, muslim mukmin yang melakukannya memperoleh tambahan nikmat sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Ibrahim (14): 7. Bagaimana halnya muslim mukmin yang tidak melakukannya, baik untuk menyapa, menjawab sapaan, maupun berucap terima kasih? Merasa punya pahala berlebih?
Allahu a’lam