Memuliakan Tamu Kondangan

Publish

26 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
120
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Memuliakan Tamu Kondangan
Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang

 

Topik kajian ini pada dasarnya merupakan bagian dari artikel yang berjudul “Memuliakan Tamu” yang telah dipublikasi di Suara Muhammadiyah online 22 Juni 2022. Namun, di dalam artikel itu ada beberapa hal yang belum diuraikan. 

Di dalam kajian ini ada tiga hal yang diuraikan, yaitu (1) mengundang tamu, (2) menyambut tamu, dan (3) menjamu tamu. Fokus kajian ini adalah tamu kondangan.

Mengundang Tamu

Di antara tamu kita ada yang hadir karena kita undang. Tamu kondangan merupakan salah satu contohnya.  Mereka hadir karena kita undang dalam suatu acara misalnya resepsi pernikahan anak kita. Kita berharap mereka hadir dan ikut mendoakan anak kita sukses membangun keluarga sakinah. Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan berkah-Nya.
 
Ada di antara muslim mukmin yang menjadi sahibulhajat (penyelenggara resepsi pernikahan anaknya)  mengundang teman-teman melalui surat. Pada era digital ini undangan dikirimkan melalui WA. Dengan demikian, penerima undangan harus membuka sendiri agar mengetahui secara lengkap isi undangan tersebut dengan cara mengklik (biasanya tidak hanya sekali) sesuai dengan petunjuk. Tentu ada kosekuensi biaya pulsa.

Berbeda halnya dengan undangan manual. Penerima undangan dapat langsung membukanya dan memperoleh informasi lengkap tanpa menanggung biaya pulsa. 

Pada undangan sering terdapat tulisan misalnya, “Tanpa mengurangi rasa hormat kami, maaf kami tidak menerima tamu di rumah.”

Berkenaan dengan undangan digital, ada hal yang kiranya perlu kita renungkan kembali. Santunkah jika penerima undangan harus membuka sendiri untuk mengetahui secara lengkap isi undangan tersebut dengan mengklik beberapa kali dengan konsekuensi membayar pulsa? Menurut prinsip kesantunan berbahasa, berkomunikasi dengan cara seperti itu tidak santun. Idealnya penerima undangan dimudahkan. 

Menurut Geoffrey Leech di dalam bukunya Principles of Pragmatics (1983:107), ada tiga skala kesantunan berbahasa. Salah satunya adalah skala biaya-keuntungan. Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang memudahkan atau menguntungkan penerima pesan (mitra tutur, baik pendengar maupun pembaca). Tuturan itu memenuhi prinsip mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi mitra tutur, sedangkan biaya yang dikeluarkannya rendah. 

Biaya dalam konteks skala kesantunan berbahasa tentu tidak selalu bermakna uang. Waktu, tenaga, perasaan, dan pikiran kiranya termasuk juga di dalamnya. 

Menguntungkan dalam konteks ini tentu tidak harus selalu bermakna materi. Kita dapat membandingkan mana yang lebih menguntungkan penerima undangan pada ilustrasi berikut ini: sekali buka langsung memperoleh informasi secara lengkap tanpa biaya pulsa atau untuk mendapat informasi lengkap harus membuka sampai tiga kali dan masih harus membayar pulsa? Undangan dengan sistem digital yang perintahnya kompleks, bagi orang lansia, apalagi yang gaptek, menambah "beban" yang oleh Geoffrey Leech disebut "biaya".

Menyambut Tamu

Ada di antara tamu yang hadir sehari atau dua sebelum atau sesudah perhelatan karena ada kendala misalnya pada waktu yang sama, dia menerima lebih dari satu undangan dan di tempat yang berbeda, bahkan, berjauhan. Tambahan lagi, ada satu di antara undangan-undangan itu diterima dari saudara, besan, atau tetangga dekat. 

Mungkin pula, ada kendala lain misalnya ada keluarganya yang sakit atau tetangga yang memerlukan bantuan darurat. Atas kehadirannya yang tidak sesuai dengan undangan, pasti mereka meminta maaf.

Ketika menyambut tamu yang hadir di rumah dan waktunya tidak sesuai dengan undangan, di antara sahibulhajat ada yang berucap, “Lho, kok sekarang?” atau, “Lho, kok nggak di gedung? Wah, ya, maaf. Kami hanya dapat menjamu seadanya.” Lalu, dia benar-benar hanya mnyediakan air bening kemasan dan cemilan sekadarnya? 

Dari segi kesantunan berbahasa tuturan tersebut tidak santun. Di dalam kajian pragmatik, terdapat nasihat yang disebut maksim kemurahhatian, yakni (a) minimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan (b) maksimalkan keuntungan kepada orang lain sebagaimana dijelaskan oleh Geoffrey Leech di dalam bukunya Principles of Pragmatics(1983:132) dan maksim kewajiban orang lain (mitra tutur) kepada penutur yang berisi nasihat agar memberikan nilai rendah kepada kewajiban orang lain kepada penutur sebagaimana dijelaskan di dalam The Pragmatics of Politeness (2014:96).

Bandingkan tuturan sahibulhajat ketika menyambut tamu yang hadir tidak sesuai dengan undangan berikut ini: manakah yang santun?

A. Sahibulhajat:
     "Lho, kok sekarang?"
     "Lho, nggak di gedung
      sih? Wah, ya, maaf.
      Kami hanya menjamu
      seadanya."
B. Sahibulhajat:
     "Tidak apa-apa. Kami
      maklum. Terima kasih
      atas kehadiran dan doa
      Bapak dan Ibu. Semoga
      menjadi amal saleh
      Bapak dan Ibu."

Kiranya kita dengan mudah dapat menentukan tuturan mana yang santun. Dengan tuturan yang santun, berarti kita memuliakan tamu.

Tulisan, “Tanpa mengurangi rasa hormat kami, maaf kami tidak menerima tamu di rumah” dapat menjadi penyebab penerima undangan tidak hadir, bahkan, mereka lupa atau malah sengaja tidak mendoakan. Jika ada 5 atau lebih yang tidak hadir dan tidak mendoakan, berarti sebanyak itu juga orang yang tidak mendoakan. Hal itu berarti pula bahwa jumlah orang yang mendoakan kebaikan berkurang.

Pada undangan sering pula terdapat tulisan, “Mohon hendaknya tali asih tidak dalam bentuk kado.” Tulisan itu disertai gambar pundi-pundi dan kado. Gambar pundi-pundi diberi tanda centang (Ѵ) berwarna hijau, sedangkan gambar kado diberi tanda silang (X) berwarna merah.

Tulisan dan gambar itu apakah tidak bertentangan dengan maksud sahibulhajat mengundang? Bukankah di dalam undangan ditulis kalimat misalnya, “Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi kami apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan hadir untuk memberikan doa restu kepada anak kami.”  

Jelas dan tegas sekali di dalam undangan tersebut dinyatakan bahwa kehadiran tamu merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi sahibulhajat dan tamu itu diundang untuk memberikan doa restu. Mereka tidak diminta memberikan “hadiah”. Bahwa mereka datang dengan membawa “hadiah” (apa pun wujudnya) merupakan kebaikan hatinya sebagai wujud penghormatan kepada sahibulhajat.

Sering pula pada undangan terdapat kalimat misalnya, “Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi kami apabila Bapak/Ibu/Saudara berkenan hadir dalam acara tasyakuran pernikahan anak kami….” Apakah tidak bertentangan jika kalimat itu dihubungkan dengan kalaimat, “Mohon hendaknya tali asih tidak dalam bentuk kado”?

Menjamu Tamu

Jika perhelatan diselenggarakan di gedung pertemuan atau hotel memang penyediaan kursi menimbulkan konsekuensi biaya. Oleh karena itu, ada fenomena pesta pernikahan diselenggarakan dengan standing party. Namun, dalam hal adab makan dan minum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan, yakni sambil duduk sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari berikut ini. 

لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ آكُلُ كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ

“Aku tidak pernah makan sambil bersandar, aku hanyalah seorang hamba, aku makan sebagaimana layaknya seorang hamba dan aku pun duduk sebagaimana layaknya seorang hamba.” 

Agar memperoleh keberkahan, muslim mukmin tentu makan dan minum sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Di dalam kajian "Bertamu pada Resepsi Pernikahan" , Suara Muhammadiyah online,16 Juni 2022 telah dikemukakan secara sangat padat hasil penelitian terhadap hadis-hadis tentang adab makan dan minum sambil berdiri. Penelitian dengan judul “Syariat Makan dan Minum dalam Islam: Kajian terhadap Fenomena Standing Party pada Pesta Pernikahan (Walīmatul ‘Ursy)” yang dilakukan oleh Aprilia Margiastuti dan telah dipublikasi di dalam Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016. 

Dia menyimpulkan bahwa  hadis  yang  membolehkan dan hadis yang melarang makan dan minum sambil berdiri tidak bertentangan karena kedua-duanya mempunyai dasar kesahihannya masing-masing. 

Makan dan minum sambil berdiri pernah dilakukan oleh Nabi, tetapi bukan merupakan kebiasaan, melainkan karena sebuah kekhususan ketika melakukannya. Kekhususan terjadi pada musim haji pada waktu itu. Pada musim haji ketika itu kantong-kantong air (bejana) terbuat dari kulit hewan diletakkan  dengan  cara  digantung  di  pintu  gerbang  Kuffah  sehingga situasi yang paling memungkinkan saat itu untuk meminumnya adalah dengan  posisi  berdiri. 

Di  sisi  lain, saat itu suku-suku bangsa di Arab merupakan bangsa nomaden, yaitu seringnya mereka berpindah-pindah lokasi atau tempat tinggal untuk menggembala ternak-ternak mereka dan mencari sumber air (oase) maupun sumber makanan bagi ternak-ternak  tersebut  sehingga  makan  dan  minum sambil berdiri merupakan suatu hal yang mungkin dilakukan dalam situasi tersebut.

Dikemukakan pula oleh Aprilia Margiastuti bahwa pada masa itu sering  terjadi peperangan dan masa hijrah sehingga dapat digambarkan sebagai masa genting atau keadaan  darurat. Pada situasi dan kondisi tersebut, makan dan minum dilakukan dalam kondisi apa pun, termasuk dalam posisi berdiri.

Sementara itu, diceritakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah radiyallahu’anhuma sebagai berikut.

 كُنْتُ غُلاَمًا فِي حِجْرِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَال لِي رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ، وَكُل بِيَمِينِكَ، وَكُل مِمَّا يَلِيكَ

“Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai, Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” Seperti itulah cara makanku setelah itu.”
 
Dalam hubungannya dengan makan dengan tangan kanan, di dalam HR Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kita agar makan dan minum dengan tangan kanan karena setan makan dengan kanan kiri.

إذا أَكَلَ أحدُكُم فليأكلْ بيمينِهِ . وإذا شرِبَ فليشربْ بيمينِهِ . فإنَّ الشَّيطانَ يأكلُ بشمالِهِ ويشربُ بشمالِهِ

 “Jika seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanan dan jika minum, minumlah dengan tangan kanan. Setan makan dan minum dengan tangan kirinya.” 

Dengan demikian, agar tamu dapat makan dan minum sesuai dengan sunah, sahibulhajat perlu menyediakan kursi. Jika tamu dapat makan minum dengan mengikuti sunah, pasti mereka memperoleh keutamaan dan sahibulhajat dengan menyediakan tempat yang mengondisikannya dapat menikmati jamuan sesuai dengan sunah, pasti memeperoleh keutamaan juga. 

Di dalam HR Muslim dijelaskan,

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan (kepada orang lain), maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” 

Di antara tamu yang hadir tentu ada yang diantar oleh sopir. Kiranya sangat ideal jika dia pun dijamu. Berkenaan dengan itu, perlu ada petugas yang secara khusus melayaninya.  

Betapa indahnya jika tamu dan sahibul hajat yang sama-sama beribadah saling memuliakan! Kita yakin bahwa hal itu pasti mendatangkan keberkahan. Aamiin.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pro Kontra MBG  Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar ....

Suara Muhammadiyah

6 February 2025

Wawasan

Meningkatkan Keterampilan Pendidikan Vokasi Oleh: Wiguna Yuniarsih, Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1....

Suara Muhammadiyah

10 October 2024

Wawasan

HEBATNYA PEREMPUAN: Menguatkan Peran di Rumah dan Organisasi Oleh: Bahren Nurdin Dalam lintasan se....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

Persatuan Bangsa Arab: Antropologis Kuat, Politis Rapuh  Oleh: Hajriyanto Y. Thohari  Ba....

Suara Muhammadiyah

22 July 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah  (29) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tingga....

Suara Muhammadiyah

21 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah