Anak Saleh (19)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."
Telah diuraikan di dalam AS (18) tiga langkah strategis yang perlu ditempuh dalam ikhtiar merawat keistiqamahan, yaitu (1) berdoa, (2) didoakan, dan (3) berikhtiar. Ketiga langkah tersebut merupakan satu kesatuan dan kita tempuh secara simultan, tidak secara berurutan. Tentu sangat mungkin masih ada lagi langkah strategis lain yang dapat kita tempuh juga. Ada pelajaran sangat penting yang terdapat pada bagian akhir AS (18), yakni lemahnya akidah berpengaruh sangat buruk terhadap keistiqahaman.
Di dalam kenyataan ada bagian kecil muslim mukmin, lebih-lebih artis, yang menganggap bahwa perbedaan agama bukan perintang pernikahan. Di antara mereka ada yang sudah lebih dari dua puluh tahun “menikah” dan mempunyai anak lebih dari seorang.
Pada awalnya mereka dengan bangga menyatakan bahagia dengan “pernikahannya” itu. Dalam hal agama, mereka memberikan kebebasan kepada anak-anaknya memilih: boleh mengikuti agama papa atau mengikuti agama mama. Bahkan, ada di antara mereka tidak acuh terhadap agama anak-anaknya. Bukankah sikap demikian merupakan bagian tanda lemahnya akidah?
Seiring dengan perjalanan waktu, mulailah timbul masalah. Ada di antara pasutri yang akhirnya bercerai dan secara terbuka menceritakan pengalamannya bahwa mereka tidak pernah merasakan keharmonisan yang sebenarnya. Dengan kata lain, keharmonisan yang dirasakannya adalah palsu! Sekadar pencitraan!
(Baca juga: “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (7) di dalam Suara Muhammadiyah, 19 Oktober 2023)
Di dalam AS (19) ini diuraikan dua hal pokok yang masih berkaitan dengan ikhtiar merawat keistiqamahan, yaitu (1) iri yang dibolehkan dan (2) beberapa tipe muslim mukmin ketika menghadapi masalah keistiqamahannya.
Iri yang Dibolehkan
Di dalam AS (18) telah diuraikan langkah strategis ikhtiar merawat keistiqamahan, yaitu mengaji tentang istiqamah, baik dengan menghadiri majelis taklim maupun melalui media sosial dengan pemateri yang mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan. Langkah berikutnya adalah bergaul dengan orang saleh. Langkah ini sangat penting karena mendatangkan banyak pelajaran berharga bagi kehidupan.
Ada yang perlu dikemukakan secara konkret perolehan dari bergaul dengan orang saleh. Dari orang tersebut dapat diharapkan nasihat penting misalnya bahwa untuk berlatih istiqamah, muslim mukmin boleh iri kepada muslim mukmin yang istiqamah beramal saleh. Iri yang demikian memang dibolehkan sebagaimana dijelaskan di dalam hadis berikut ini.
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh dengki, kecuali dalam dua hal, yaitu (kepada) orang yang Allah beri harta, lalu ia menggunakannya di jalan kebenaran (ketaatan) dan orang yang Allah beri hikmah (ilmu), lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di dalam hadis tersebut dinyatakan bahwa muslim mukmin boleh iri (1) kepada orang yang diberi harta oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ia menggunakannya di jalan kebenaran (ketaatan) dan (2) kepada orang yang diberi-Nya hikmah (ilmu), mengamalkan, dan mengajarkannya kepada orang lain.
Kiranya muslim mukmin yang belum istiqamah berinfak atau bersedekah, perlu dimotivasi agar iri kepada muslim mukmin yang istiqamah berinfak atau bersedekah meskipun tidak berlimpah harta. Muslim mukmin yang berilmu, tetapi tidak mengamalkannya apalagi mengajarkannya kepada muslim mukmin yang lain, perlu dimotivasi agar iri kepada muslim mukmin yang berilmu, yang istiqamah mengamalkan ilmunya itu, mengajarkannya kepada muslim mukmin yang lain, dan ia melakukannya tanpa memperhitungkan imbalan.
Cukup banyak guru honorer yang telah lebih dari sepuluh tahun istiqamah mengajar, padahal honornya tiap bulan ada yang hanya Rp 200.000,00. Bahkan, ada yang kurang dari itu. Mereka istiqamah bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, ada pula guru mengaji yang istiqamah, padahal tidak menerima imbalan yang jelas standarnya. Kepada insan mulia seperti itu, muslim mukmin boleh iri dan harus berusaha mencontoh keistiqamahannya.
Dalam kenyataan ada muslim mukmin yang mempunyai ilmu, tetapi enggan mengajarkannya kepada muslim mukmin yang lain. Ia khawatir orang lain dapat melakukannya dan jika hal itu terjadi, “bencana” menimpa pada dirinya, baik cepat maupun lambat. Kikir ilmu yang demikian biasanya dimiliki oleh sebagian chef atau muslim mukmin yang berusaha di bidang kuliner yang tidak pernah mengaji atau mengaji, tetapi materinya belum sampai. Jika sudah sampai, ia pasti memahami bahwa pahala orang yang mengajarkan kebaikan sama besarnya dengan orang yang belajar padanya dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Bahkan, makin banyak orang yang mengamalkannya, ia memperoleh pahala yang makin banyak. Begitulah pahala yang disediakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dijelaskan di dalam hadis berikut ini.
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم : مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Dari Abu Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata, “Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim)
Hadis berikut ini pun berisi penjelasan tentang pahala bagi orang yang mencontohkan kebaikan.
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya; tanpa berkurang dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah ia, tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka.” (HR Muslim)
Berkenaan dengan kebolehan iri, dijelaskan pula bahwa sahabat Abdullah bin ‘Umar radiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَيَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
“Tidak boleh dengki, kecuali dalam dua hal, yaitu kepada orang yang telah diberi oleh Allah (hafalan) Al-Qur’an lalu ia membacanya siang dan malam; kepada orang yang dikaruniai Allah harta kekayaan, lalu ia menginfakkan harta itu di jalan Allah siang dan malam.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya bahwa di antara muslim mukmin ada yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala diberi hafalan Al-Qur’an, lalu ia membacanya siang dan malam. Namun, ada di antara muslim mukmin yang diberi hidayah istiqamah membaca Al-Qur’an siang malam, tetapi tidak diberi hafalan penuh.
Tentu sangat bagus jika setiap muslim mukmin yang bermasalah dalam keistiqahaman iri kepada muslim mukmin yang hafal Al-Qur’an dan mau mengajarkannya kepada orang lain. Jika kita tidak tergolong ke dalam muslim mukmin yang dipilih memperoleh kedua-duanya, setidak-tidaknya iri kepada muslim mukmin yang istiqamah membaca Al-Qur’an siang dan malam.
Tipe Muslim Mukmin yang Bermasalah Keistiqamahannya
Ditinjau dari cara menghadapi masalah keistiqamahan, muslim mukmin dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok berikut ini.
Pertama, muslim mukmin yang istiqamah berdoa dan mohon didoakan, tetapi ikhtiarnya kurang serius. Hal itu ditandai dengan hati dan pikirannya tidak dibuka lebar-lebar untuk menerima nasihat.
Ia mau bertanya tentang cara mengatasi kendala istiqamah. Namun, ketika sedang diberi penjelasan, ia justru selalu membantah dengan argumen yang merujuk kepada penalarannya sendiri yang dangkal, tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Hadis. Ia selalu mengatakan, “Menurut saya ….” atau “ Menurut pengalaman saya ….” atau “Menurut pendapat saya ….” Maksudnya, ia ingin beradu argumen, padahal ia sendiri sedang bermasalah dalam hal merawat akhlak istiqamah dan ia yang mohon jalan keluar.
Kedua, muslim mukmin yang bermasalah dengan keistiqamahannya, tetapi tidak menyadarinya. Ia merasa baik-baik saja. Dengan kata lain, ia bertipe tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dengan demikian, ia tetap saja menjadi muslim mukmin yang bermasalah dalam keistiqamahannya.
Ketiga, muslim mukmin yang bermasalah dengan keistiqamahannya, tetapi merasa tidak bermasalah. Ia tidak pernah bertanya kepada orang lain. Namun, ketika diingatkan dan dinasihati, ia menyadari masalahnya, dan mau melaksanakan nasihat tersebut dengan baik.
Keempat, muslim mukmin yang menyadari bermasalah dengan keistiqamahannya. Ia mau bertanya, mau mendengarkan/membaca nasihat, dan mau mengamalkan nasihat tersebut dengan baik. Apa pun hasil dari proses yang dilakukannya diterimanya dengan penuh kesabaran.
Sekurang-kurangnya itulah beberapa tipe muslim mukmin yang bermasalah dengan keistiqamahannya. Nah, masuk golongan yang manakah kita?
Allahu a’lam