Bumi Isra Mi’raj
Oleh: Hatib Rachmawan
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Setiap kali peristiwa Isra Mi’raj diperingati, diskusi yang selalu muncul adalah pertanyaan klasik: apakah Nabi Muhammad naik dengan ruh saja atau dengan jasadnya? Perdebatan ini berulang-ulang muncul, seolah menjadi inti dari Isra Mi’raj itu sendiri. Padahal, apakah itu benar-benar penting?
Andaikata Nabi hanya naik dengan ruhnya, apakah itu mengurangi kebesaran peristiwa ini? Jika dengan jasad sekaligus, apakah itu membuatnya lebih sakral? Toh, dalam kedua skenario, perjalanan itu tetap terjadi atas kuasa Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya tidak berdampak pada iman seseorang, tidak pula menjadikan hidup lebih saleh atau lebih berarti.
Lebih jauh, kisah-kisah fiktif tentang Nabi Muhammad berdialog dengan Musa, Ibrahim, atau Isa sering dijadikan bahan ceramah. Tetapi bukankah mereka semua sudah berada di akhirat? Apa yang perlu didiskusikan dari isi dialog itu, jika akhirnya mereka tidak lagi berada dalam dinamika perjuangan di dunia ini?
Isra Mi’raj bukan tentang bagaimana Nabi naik ke langit, melainkan tentang mengapa Nabi kembali ke bumi.
Puncak Spiritualitas Bukan di Langit, Tapi di Bumi
Isra Mi’raj adalah perjalanan spiritual tertinggi. Dalam momentum itu, Nabi mencapai puncak pengalaman iman, bertemu langsung dengan Tuhan, mendapatkan perintah shalat sebagai ibadah utama. Sebuah pengalaman luar biasa yang, jika dalam paradigma manusia modern, seharusnya membuat seseorang memilih menetap di dimensi ketuhanan, menjauh dari hiruk-pikuk dunia.
Tetapi yang dilakukan Nabi justru sebaliknya. Dari pengalaman transendental tertinggi itu, ia kembali ke bumi. Kembali pada realitas dunia yang penuh konflik, ketidakadilan, dan perjuangan. Bukan untuk membangun menara spiritual yang terpisah dari dunia, tetapi untuk berjuang bersama umatnya. Untuk menegakkan Islam, membela kaum mustadafin, dan mengubah peradaban.
Dan itulah esensi Isra Mi’raj. Bahwa spiritualitas sejati bukan sekadar pengalaman ekstase pribadi, bukan pula soal mencapai kesucian diri semata. Tetapi bagaimana iman itu menggerakkan manusia untuk kembali ke bumi, menghadapi realitas, dan berjuang membangun kehidupan yang lebih adil dan bermakna.
Otokritik: Ma’rifat yang Terlepas dari Realitas
Malah ada lagi yang lebih konyol. Ada ulama yang mengatakan Isra Mi’raj adalah puncak kesadaran tertinggi manusia. Kesadaran bertuhan dan spiritualitas seseorang. Itulah ma’rifat, katanya.
Ma’rifat seperti apa?
Ma’rifat kok justru memisahkan manusia dari realitas?
Bukankah hakekat agama itu ada dalam realitas? Nabi itu ke pasar. Di sana ia melihat riba dan gharar (penipuan), lalu dari situ tercipta tatanan ekonomi Islam. Nabi di rumah menjahit bajunya sendiri, membantu istrinya mengerjakan urusan rumah tangga.
Sekarang coba lihat ulama yang jamaahnya empat juta. Buat kopi saja sudah tidak bisa. Apalagi ke pasar. Apalagi menjahit baju. Lalu ma’rifat seperti apa yang mereka ajarkan? Itu bukan ma’rifat, tapi menikmati privilege, menikmati kedudukan, yang semua itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi.
Ma’rifat yang memisahkan manusia dari realitas bukanlah ma’rifat sejati. Itu hanyalah bentuk baru dari eskapisme, pelarian dari dunia nyata yang penuh perjuangan. Nabi tidak mengajarkan lari dari dunia, tapi justru menata dunia. Menghadapi tantangan, memperbaiki ketimpangan, dan menegakkan keadilan.
Isra Mi’raj: Bukan Ke Langit, Tapi Kembali ke Bumi
Di sinilah letak otokritik bagi umat Islam, terutama bagi para ulama. Berapa banyak yang berlomba-lomba menjadi manusia suci? Menjadi waliyullah yang dielu-elukan jamaah? Tetapi setelah itu, apa yang berubah?
Apakah kesucian pribadi sudah cukup untuk membangun peradaban?
Sering kali, puncak pencapaian yang dicari adalah jumlah jamaah yang membengkak, majelis yang penuh sesak, atau karomah yang membuat orang takjub. Tetapi apakah itu mengubah kehidupan umat? Apakah itu mengentaskan mereka dari kebodohan, kemiskinan, atau ketidakadilan?
Nabi Muhammad tidak hanya membangun komunitas beriman, tetapi juga menciptakan peradaban. Islam yang ia bawa tidak berhenti pada spiritualitas individual, tetapi menjadi kekuatan transformatif yang merombak tatanan sosial. Ia kembali ke bumi dengan visi besar: membangun masyarakat yang berkeadilan, bukan sekadar mencetak pribadi-pribadi yang larut dalam ekstase spiritual.
Isra Mi’raj, dengan segala keagungannya, bukan hanya tentang perjalanan naik ke langit. Lebih dari itu, ia adalah ajakan untuk kembali ke bumi. Sebab di bumi, iman diuji. Di bumi, Islam diperjuangkan. Dan di bumi pula, peradaban harus dibangun.