Anak Saleh (7)

Publish

5 September 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
321
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (7)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Perlu ditegaskan kembali bahwa anak saleh bukan sesuatu yang bersifat instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan melalui jalan yang penuh tantangan. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa anak saleh itu merupakan anugerah. Hanya orang terpilih yang memperolehnya. Berkenaan dengan anugerah, muslim mukmin yang berpikiran cerdas, cerah, dan maju sangat memahami bahwa anugerah apa pun perlu dijemput dengan doa, didoakan, dan berikhtiar.

Penjemputan anugerah dengan tiga kata kunci itu perlu dipahami dengan baik. Untuk menjemput anugerah anak saleh, ketiga-tiganya dilakukan sejak menjemput jodoh. Gerakan itu dilakukan secara terpadu, tidak hanya oleh calon pasangan suami istri (pasutri), tetapi juga oleh keluarga besarnya, teman, tetangga, dan orang-orang lain yang ikut berpengaruh, baik langsung maupun tidak. 

Keintensifan berdoa, didoakan, dan ikhtiar makin meningkat sejak pernikahan. Lebih intensif lagi, sejak istri hamil. Ketiga-tiganya terus makin bertambah intensif manakala anak telah lahir hingga dewasa. 

Ada tiga tindakan nyata sebagai ikhtiar agar beroleh anak saleh yang telah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 1 s.d. 6, yaitu (1) membaca Al-Qur’an, (2) belajar pada kata dan peristiwa, dan (3) bergaul dengan orang saleh. 

Di dalam AS (7) ini diuraikan ikhtiar yang keempat, yakni menjadi teladan. Dalam hubungannya dengan keteladanan, Zainudin M.Z. pernah menggunakan ungkapan yang sangat bagus, yakni “Memberikan contoh itu mudah. Yang sulit adalah menjadi contoh.”

 Dalam kenyataan memang demikian yang terjadi. Siapa pun dengan mudah dapat memberikan contoh orang saleh dan orang sukses karena dia tinggal menyebut nama. Namun, dia sendiri belum tentu merupakan orang saleh dan orang sukses.

Kedahsyatan Teladan

Banyak orang tua yang dapat memberikan contoh orang saleh. Mereka dengan mudah dapat memberikan contoh orang yang berakhlak mulia dengan menyebut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mungkin juga dapat menjelaskan kebaikan akhlaknya. 

Nabi yang agung itu dijadikannya sebagai contoh karena beliau shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Bahkan, sebelum diangkat sebagai nabi, beliau sudah dikenal sebagai orang yang paling jujur. Oleh karena itu, beliau diberi gelar al-amiin. Mereka pun dapat menjelaskan bahwa beliau dikenal juga sebagai orang yang sangat toleran. 

Ada pengalaman sangat menarik yang kiranya bermanfaat dikemukakan di dalam artikel ini. Kami pernah tinggal bersama cucu. Ketika itu dia baru berusia 4 tahun. 

Pada suatu sore kami menonton televisi bersamanya. Acaranya adalah berita. Ada berita yang disertai tayangan insert penembakan pada kaki perampok karena akan melarikan diri ketika akan ditangkap oleh petugas. Secara spontan, neneknya berucap, "Syukur!". 

Rupanya cucu kami memahami betul maksud neneknya menggunakan tuturan itu sehingga secara spontan juga dia menyahut, "Eh, nggak boleh bilang begitu."

Neneknya penasaran sehingga bertanya, "Terus, gimana?"
"Astaghfirullah, gitu!" jawab cucu kami.

Kami tercengang, tetapi bersyukur. Neneknya pun meralat ucapannya dengan, "Ya, ya. Astaghfirullah!"

Kami yakin bahwa ustazah di Taman Kanak-Kanak tempat dia belajar yang mendidiknya karena seingat kami, belum pernah kami mengajarinya demikian.

Masih ada lagi. Peristiwa lain dan terjadi pada hari lain, tetapi tempat kejadian sama, yakni di ruang keluarga. 

Neneknya menerima remote televisi dengan tangan kiri. Cucu kami langsung mereaksi, "Eh, jangan pakai tangan kiri, Yang."

Masyaallah! Lagi-lagi kami tercengang, tetapi bersyukur. Neneknya disuruh mengulang menerima remote itu dengan tangan kanan. Tentu neneknya tidak marah sama sekali. Dia justru dengan rasa syukur dan bangga mengulang.

"Ya, ya. Lihat! Nenek menerima dengan tangan kanan."

Kami makin yakin bahwa dia pasti dididik oleh ustazahnya dengan baik.

Nah, dari dua kasus itu semestinya pasutri dan keluarga besarnya makin sadar akan kewajibannya menjadi teladan di rumah. Kebiasaan baik yang sudah ditanamkan di sekolah semestinya dikuatkan di rumah. 

Di dalam kenyataan ada keadaan yang sebaliknya. Di sekolah atau di pondok anak memperoleh pendidikan akhlak, tetapi di rumah mereka mengalami hal kontradiktif. Orang tuanya tidak peduli. Jika demikian halnya, sangat mungkin pengaruh di rumah justru lebih kuat karena waktu mereka di rumah lebih lama daripada di sekolah!

Di sisi lain ada juga fenomena yang sebaliknya. Di rumah anak hidup bersama orang tua yang baginya adalah teladan, tetapi di luar rumah banyak orang yang sama sekali tidak pantas menjadi teladan. Di rumah anak dididik dengan keteladanan orang tua dalam berbagai hal misalnya akhlak, tetapi teman-temannya, bahkan, orang tua teman-temannya, atau orang-orang lain yang bergaul dengannya tidak peduli dengan akhlak, maka anak tersebut harus berjuang keras. Jika di rumah sudah kuat fondasinya, dia tetap kokoh. Namun, jika lemah fondasinya, tidak mustahil pengaruh lingkungan dapat meruntuhkan atau setidak-tidaknya menggoyangkan nilai-nilai akhlak yang ditanamkan di rumah.

Perlu ditegaskan bahwa jika orang tua benar-benar merupakan sosok teladan, pasti mereka berdiri tegak lurus sebagai muslim mukmin yang berakhlakul karimah. Meskipun teman, tetangga, bahkan, mungkin orang terdekatnya “belum” masuk kategori muslim mukmin yang berakhlak mulia, mereka tidak terpengaruh. Yang terjadi justru mereka dapat mempengaruhinya.    

Hal itu telah terbukti. Kesuksesan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan risalah Islam karena beliau benar-benar menjadi teladan sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab (33): 21

لَقَدْ كَا نَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَا نَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَا لْيَوْمَ الْاٰ خِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًا 
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah."

Demikian dahsyatnya teladan, maka ada ungkapan, “Satu teladan lebih baik daripada seribu nasihat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar berbicara santun meskipun kepada ART, beliau tidak sekadar menyuruh, tetapi juga meneladani (menjadi teladan). Beliau menyuruh umatnya agar menjalin silaturahim, hal itu telah dilakukannya tidak hanya dengan sesama muslim. Beliau menyuruh agar umatnya membalas keburukan dengan kebaikan, dan membalas kebaikan dengan yang lebih baik, hal itu pun sudah dilakukannya. Beliau menyuruh umatnya berperilaku lemah-lembut, maka beliau pun menjadi teladan. Kepada nenek-nenek Yahudi pun beliau berperilaku lemah lembut. Beliau menyuruh umatnya toleran, maka beliau telah lebih dahulu melakukannya sebagai pengamalan ayat 6 surat al-Kafirun. 

Masih banyak lagi keteladanannya yang wajib dicontoh. Dengan keteladanannya itulah beliau dalam waktu 23 tahun sukses menjadi pemimpin dunia yang menjadi rujukan sejak sebelum menjadi nabi hingga akhir zaman
.
 Bekal Menjadi Teladan

Agar dapat menjadi teladan, pasutri dan keluarga besarnya wajib mempunyai bekal sebagai muslim mukmin yang kaffah sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat (2): 208 

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai, orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."

Di dalam AS (7) ini disajikan bekal bagi pasutri yang dikutip dari pembinaan aspek spiritual sebagaimana terdapat di dalam buku Himpunan Putusan Tarjih Muhammadyah Jilid 3 sebagai ikhtiar membina keluarga sakinah. Untuk kepentingan praktis, transkrip dari huruf Arab ke dalam huruf Latin yang terdapat di dalam buku itu, tidak dicantumkan. 

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa jika suatu keluarga terdiri atas orang tua dan anak, hal itu berarti bahwa anak saleh merupakan salah satu pilar keluarga sakinah.  Di dalam buku tersebut disebutkan pembinaan aspek spiritual yang ditempuh pasutri adalah sebagai berikut: 

1.    Menginternalisasi doktrin tauhid serta nilai-nilai ketuhanan untuk dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam perilaku;

2.    Menumbuhkan, menggairahkan rasa beragama, khususnya penghayatan akidah sehingga dapat membuahkan sikap-sikap sebagai berikut:

a.     Taat, tunduk, dan pasrah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala; 

b.     Rida, tawakkal, sabar, dan ikhlas di dalam menyikapi berbagai kondisi kehidupan, kejadian, atau sikap berprasangka baik kepada Allah;

c.     Membangun rasa cinta kepada Allah Subḥanahu wa Ta'ala dan rindu kepada-Nya sehingga setiap saat terdorong untuk mendekatkan diri kepada-Nya;

d.     Memperbanyak zikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa membaca kalimat ath-thayyibah seperti tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil yang disertai penghayatan sehingga dapat membuahkan ketenangan batin; 

e.     Memohon perlindungan, pertolongan, dan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap saat sebagai manifestasi kesadaran diri selaku hamba-Nya yang lemah dan tidak sempurna;

f.     Syukur atas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam berbagai keadaan yang diwujudkan dalam bentuk memelihara nikmat serta memanfaatkannya untuk maksud dan tujuan yang baik dan diridai-Nya.  

3.    Melakukan tadarus dan tadabur Al-Qur’an secara berkala dan rutin, di samping sebagai zikir yang sempurna juga menambah pengetahuan dan wawasan tentang Al-Qur’an sebagai pedoman hidup untuk menggapai rahmah dan berkah Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan safaat di akhirat nanti;

4.    Menumbuhkan sikap saling percaya serta saling berwasiat untuk kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang untuk menjaga mahligai rumah tangga sebagai amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala;

5.    Menanamkan akhlak mulia dalam pergaulan suami istri, baik dalam bentuk sapaan seperti perkataan yang mulia, perkataan yang tepat, perkataan yang lemah lembut, perkataan yang baik, perkataan yang mudah, perkataan yang benar, perkataan yang bermutu atau sarat makna, maupun perbuatan. 

Jika dicermati, sangat jelas bahwa semua butir tuntunan itu merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, semestinya bukan hanya pasutri dan keluarga besarnya yang menjadi warga Muhammadiyah yang perlu membekali diri dengan tuntunan tersebut, melainkan juga muslim mukmin umumnya agar beroleh anak saleh.  

Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Muludan: Interpretasi Spirit Profetik Kenabian Menuju Transform Sosial Oleh: Izhar Tawaqal Caniago,....

Suara Muhammadiyah

18 September 2024

Wawasan

Stunting Ideologi Kader Muhammadiyah: Refleksi Tantangan di Era Digital  Oleh: dr. Rifan Eka P....

Suara Muhammadiyah

22 September 2024

Wawasan

Oleh: Ns. Andri Praja Satria, M.Sc, M.Biomed (Dosen di Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Muhamm....

Suara Muhammadiyah

30 January 2024

Wawasan

Oleh: Sobirin Malian Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Dalam setiap hajatan Pemilu ada....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Wawasan

Oleh: Agus Setiyono Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah pa....

Suara Muhammadiyah

28 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah