Anak Saleh (26)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."
Secara garis besar, ada empat hal yang wajib dipahami dan diamalkan dengan baik dalam ikhtiar membina keluarga sakinah, yakni (1) berakidah tegak lurus, (2) berakhlak mulia. (3) beribadah sesuai dengan sunnah, dan (4) bermuamalah duniawi bagus. Keempat hal itu tidak hanya wajib dipahami dan diamalkan oleh pasutri, tetapi juga dipahami dan diamalkan oleh orang tuanya, bahkan, keluarga besarnya. Dengan memahami dan mengamalkannya, ada harapan besar bagi keluarga beroleh anak saleh. Namun, perlu kita sadari bahwa ada proses sangat panjang dan penuh tantangan yang pasti dihadapi.
Berkenaan dengan proses itu, sekurang-kurangnya ada tiga langkah strategis yang dapat kita tempuh, yakni (a) menasihati, (b), menjadi teladan, dan (c) mendoakan.
Dari uraian dengan judul "Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah" (16), (17), (18), (19), dan (20) yang telah dipublikasi di Suara Muhammadiyah kita memperoleh bekal cukup komprehensif tentang pentingnya akidah yang lurus, akhlak yang mulia, ibadah yang sesuai dengan sunnah,.dan muamalah duniawi yang bagus bagi ikhtiar membina keluarga sakinah. Tentu saja masih ada lagi sumber lain yang perlu dibaca juga agar mempunyai bekal yang makin memadai.
”Anak Saleh” (AS) 1 s.d. 25 berisi uraian tentang pengetahuan, contoh-baik yang dilakukan oleh orang lain, dan anjuran kepada pasutri agar berlatih mengamalkannya agar dianugerahi anak saleh. Namuin, semuanya merupakan bekal bagi pasutri sebelum dianugerahi anak. Perlu ditegaskan bahwa bekal itu jelas belum lengkap. Pasutri masih harus terus membekali diri dengan mengaji dan mengkaji dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual.
Orang Tua sebagai Teladan
Dengan bekal yang cukup, pasutri diharapkan tidak sekadar dapat memberikan contoh ciri-ciri anak saleh dan menyebut contoh anak saleh, baik pada zaman dulu maupun pada zaman sekarang, tetapi juga dapat menjadi sosok teladan bagi anaknya. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa sekadar menyebut ciri-ciri anak saleh dan menyebut contoh anak saleh, cukup mudah, tetapi menjadi teladan sebagai orang saleh sangat sulit.
Ada kasus kejadian yang ekstrem. Terdapat kesenjangan antara ketaatan beragama orang tua dengan ketaatan beragama anak(-anaknya). Apalagi pada manusia biasa, pada insan mulia sekelas nabi pun terjadi kesenjangan tersebut. Hal itu dapat kita ketahui pada kesenjangan ketaatan beragama antara Nabi Nuh dan anaknya.
Bagi muslim mukmin tentu kesenjangan tersebut menjadi pelajaran berharga. Di antara pelajaran itu adalah bahwa tugas manusia (lebih-lebih lagi manusia biasa) adalah sekadar menyampaikan nasihat dan menjadi teladan. Hal itu dijelaskan di Al-Qur’an. Berikut ini adalah beberapa contoh ayat yang dimaksud.
surat Yasin (36): 17
وَمَا عَلَيۡنَاۤ اِلَّا الۡبَلٰغُ الۡمُبِيۡنُ
"Dan kewajiban kami hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas."
surat al-Qashash [28]:56
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk."
surat al-Ghasyiyah 88:21
فَذَكِّرْ إِنَّمَآ أَنتَ مُذَكِّرٌ ﴿٢١﴾
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
surat al-Ghasyiyah 88:22
لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ ﴿٢٢﴾
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,”
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, jelas bagi kita bahwa kesenjangan itu terjadi bukan karena kegagalan nabi mendidik istri atau anaknya, melainkan ada tujuan Allah Subḥanahu wa Ta'ala.dalam hal mendidik manusia. Sebagai muslim mukmin, kita disadarkan bahwa hanya Dia-lah yang Maha Memberi Petunjuk.
Di dalam keluarga suami sebagai pemimpin, berkewajiban mendakwahi istri dan anak dengan menasihati, menjadi teladan, mendoakan, tetapi hasil akhirnya sepenuhnya merupakan hak Allah Subḥanahu wa Ta'ala..
Teladan Berakidah Tegak Lurus
Sebagaimana telah diuraikan di dalam AS (7) yang telah dipublikasi di Suara Muhammadiyah, 5 September 2024 bahwa pengaruh keteladanan sangat dahsyat. Oleh karena itu, orang-orang terdekat dengan anak, terutama pasutri, wajib menjadi teladan bagi anak.
Dalam hubungannya dengan akidah, apa saja yang dilakukan? Banyak kisah yang dialami oleh nabi, sahabat, “salafus saleh”, dan orang-orang saleh yang lain yang dapat dijadikan teladan bagi pasutri dan selanjutnya diamalkan sebagai teladan bagi anaknya.
Keteladanan keluarga Nabi Ibrahim ’alaihissalam dalam hal mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu contoh yang sangat penting. Hal itu tecermin ketika Nabi Ibrahim, melalui mimpinya, menerima perintah menyembelih Ismail, anak yang sangat dicintainya. Dia meyakini kebenaran mimpinya sebagai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dilaksanakan.
Sementara itu, Ismail memantapkan keyakinan ayahnya. Sama sekali dia tidak meragukan kebenaran mimpi ayahnya.
Di pihak lain, Siti Hajar sedikit pun tidak terpengaruh oleh godaan setan agar membatalkan niat suaminya untuk menyembelih Ismail. Dia justru menghardik setan.
Masyaalah! Mereka kompak memilih lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada menuruti nafsunya.
Pada era gawai siapa pun tidak dapat lepas dari pemanfaatan “kotak ajaib” itu. Benda ajaib itu dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik untuk kepentingan beribadat atau bermaksiat; mengaji sepenuh jiwa atau menyanyi hura-hura; berzikir atau nyinyir; maupun kepentingan memuliakan atau menghinakan orang.
Ada orang tua yang "memfasilitasi" anaknya dengan gawai. Malahan, anaknya yang masih sangat kecil pun difasilitasi tanpa mempertimbangkan akibat buruknya. Salah satu akibat buruk itu adalah ketagihan. Jika akibat buruk itu terjadi, timbul kesulitan yang luar biasa untuk menghentikan. Bahkan, menguranginya pun sangat sulit.
Nah, bagaimana orang tua bertindak atau bersikap terhadap anaknya yang sedang bermain gawai, sedangkan azan berkumandang; menghentikan dengan resiko anak menangis atau membiarkannya bermain? Jika mereka berprinsip “Yang penting anak tidak menangis” boleh jadi sikap yang demikian menjadi titik awal bencana.
Agar hal itu tidak terjadi, ada kebiasaan-baik yang perlu dimiliki oleh orang tua misalnya sepuluh menit sebelum azan berkumandang mereka mempersiapkan diri untuk menyambut azan. Untuk itu, mereka menghentikan segala aktivitas termasuk misalnya membaca atau menonton berita atau acara apa pun yang disukainya lalu berwudu dan selanjutnya pergi ke masjid atau musala untuk melaksanakan shalat. Jika kebiasaan-baik itu dilihat setiap saat oleh anak, ada harapan besar kebiasaan-baik itu tersimpan dengan baik di dalam ingatan anak.
Agar tidak monoton, suami istri dapat dengan sengaja berdialog dengan lemah-lembut, tetapi dapat didengar oleh anaknya misalnya sebagai berikut.
Suami berbicara lirih pada diri sendiri, tetapi dapat didengar oleh anak, “Alhamdulillah! Hampir duhur. Siap-siap, ah, agar dapat shalat berjamaah di masjid. Nonton sepak bolanya stop dulu.”
Lalu istrinya menyahut, “Ya. Saya juga. Nonton acara memasaknya berhenti dulu.”
Jika percakapan dan tindakan seperti itu sering didengar dan dilihat oleh anak, kiranya dapat menjadi contoh-baik bahwa orang tua lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada mencintai dirinya sendiri.
Dapat juga anak diajak ziarah kubur. Namun, dia diajak untuk mendoakan almarhum dan/atau almarhumah, bukan untuk minta restu atau berkah.
Ketika ketakutan melihat sesuatu atau mendengar suara misterius yang diduga "penampakan" atau suara makhluk halus, anak diajak berdoa untuk memperoleh perlindungan dari Allah Subḥanahu wa Ta'ala. Orang tua tidak dengan serta membuat sesaji agar tidak diganggu oleh makhluk halus
Allahu a’lam