Anak Saleh (33)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."
Keteladanan ayah ibu dalam hal akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah sangat penting bagi anak. Jika keteladanan ayah ibu sudah tertancap kuat di hati disertai doa yang tidak pernah berhenti, dapat diharapkan anak tidak terpengaruh oleh ucapan buruk yang didengar dan perilaku buruk yang dilihatnya, baik di dunia nyata maupun di “dunia maya”.
“Anak Saleh” (AS) 33 ini berisi uraian lanjutan tentang keteladanan di luar rumah.
Keteladanan di Masjid atau Musala
Masjid atau musala merupakan tempat kedua untuk pembekalan dan penguatan kebaikan setelah rumah. Di sini dia diharapkan dapat memperoleh penguatan praktik-baik dalam hal akidah, akhlak, ibadah, muamalah yang telah diperoleh dari ayah ibunya di rumah.
Sangat ideal jika masjid atau musala menjadi tempat para insan mulia yang benar-benar dapat dijadikan teladan oleh anak. Mereka menjadi rujukan anak meskipun tidak selalu sama dalam hal teknis pengamalan ibadah seperti shalat dan zikir. Dalam hal yang bersifat umum, ada kesamaan antara yang diperoleh di rumah dengan yang didengar dan dilihat di kedua tempat ibadah itu.
Tentu menjadi masalah jika ada kesenjangan yang lebar antara ucapan yang didengar dan perilaku yang dilihat di rumah dan di kedua tempat itu. Di rumah anak memperoleh teladan dari ayah ibunya dalam hal kesopanan, keramahan, dan ketertiban, tetapi di kedua tempat itu dia justru melihat cukup banyak jamaah yang tidak saling berucap salam apalagi sampai berjabat tangan. Malahan, anak melihat ketika dalam perjalanan menuju ke masjid atau musala, ada jamaah yang menuju ke masjid atau musala yang sama tidak saling berucap salam.
Mereka seperti bertemu dengan orang asing. Hal ini dapat membuat anak bertanya-tanya sebab teladan dari ayah ibunya tidak demikian. Kedua orang tuanya selalu berucap salam ketika bertemu dengan sesama muslim mukmin dan bertegur sapa dengan tetangga dan teman meskipun berbeda agama.
Anak kecewa karena ada jamaah yang naik sepeda motor tidak acuh terhadap sesama muslim mukmin. Kekecewaannya itu bertambah karena melihat ada jamaah yang naik mobil tidak membuka jendela dan berucap salam kepada sesama jamaah satu masjid. Kekecewaannya itu makin bertambah lagi karena muslim mukmin yang tidak saling berucap salam itu ternyata tinggal di satu kompleks perumahan.
Anak Bertanya
Kiranya sangat bagus jika orang tua berangkat ke atau pulang dari masjid atau musala bersama anak dan ketika bertemu dengan, terutama sesama muslim mukmin, saling berucap salam, saling senyum, dan saling sapa, baik dengan orang yang sudah dikenal maupun yang belum. Berkenaan dengan itu, mungkin terjadi percakapan berikut ini.
Anak: “Siapa?”
Orang tua: “Em … namanya
belum tahu, sih.
Insyaallah jika
bertemu lagi,
saya tanya.”
Anak: “Belum tahu, kok
bicara-bicara?”
Orang tua: “Nabi kita
menyuruh
begitu.”
Perilaku orang tua yang demikian menimbulkan kesan yang sangat mendalam pada anak. Dapat diharapkan perilaku orang tua itu dicontoh oleh anak.
Pada usia tertentu, anak dapat diajak berjalan-jalan dalam rangka berolahraga atau tadabur Al-Qur’an. Pada kesempatan ini orang tua pun berikhtiar menjadi teladan. Mereka berucap salam dan menyapa lebih-lebih kepada orang yang sudah dikenalnya.
Jika naik sepeda motor, ketika akan mendahului orang yang berjalan, orang tua mengurangi kecepatan laju sepeda motornya, lalu mengatakan misalnya, “Maaf mendahului” atau berucap salam.
Ketika lewat jalan kampung, jika naik mobil dan akan mendahului orang yang berjalan, orang tua membuka jendela mobil, lalu berucap, misalnya,“Maaf mendahului” atau berucap salam.
Ketika lewat di jalan kampung dan ada orang di depan rumah, lebih-lebih sudah saling mengenal, orang tua membuka jendela mobil, berucap, misalnya, “Maaf. Izin lewat” atau berucap salam.
Pada waktu naik kendaraan umum, akan lewat di depan penumpang lain, orang tua berucap misalnya, “Permisi.” Kalaupun tidak dijawab, orang tua sama sekali tidak kecewa apalagi marah. Berkenaan dengan itu, mungkin anak agak kesal. Namun, orang tua harus tetap tenang.
Masih ada lagi kesempatan lain yang harus digunakan oleh orang tua untuk tampil sebagai teladan berakhlak mulia. Memuliakan tetangga, memuliakan tamu, memuliakan orang tua, pemimpin, dan memuliakan guru adalah teladan akhlak mulia.
Istikamah Menjadi Teladan
di luar Rumah
Sebagaimana telah diuraikan di dalam AS (32), pada era VUCA, apalagi di kota, telah terjadi “penggerusan” nilai budaya yang bersumber pada agama. Kesopanan dan keramahan sepertinya hanya dianggap sebagai basa-basi, bukan lagi akhlak. Akibatnya, berucap dan berperilaku sopan dan ramah tidak lagi dinyatakan sebagai ibadah yang berpahala!
Kenyataan yang demikian merupakan tantangan bagi muslim mukmin. Mereka yang istikamah berucap dan beperilaku sopan dan ramah sebagai ibadah dijamin oleh Allah Subhanahau wa Ta’ala memperoleh kemuliaan.
Berikut ini adalah beberapa ayat yang berisi janji-Nya terhadap muslim mukmin yang istikamah.
Surat Ali ‘Imran (3): 146-147
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِىٍّ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا۟ لِمَآ أَصَابَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا۟ وَمَا ٱسْتَكَانُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ
"Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
Isi ayat tersebut sungguh memotivasi setiap muslim mukmin agar tidak menjadi lemah ketika “berperang” di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menegakkan akhlak mulia pada era VUCA kiranya merupakan “perang” juga. Dengan demikian, ayah ibu harus istikamah.
Surat Ali Imran (3): 147
وَثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
“Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.”
Muslim mukmin yang istikamah adalah insan mulia. Ketika menghadapi tantangan yang sangat berat dalam ikhtiarnya mengamalkan akhlak mulia, mereka mohon ampun, mohon diberi hidayah istikamah, dan mohon bantuan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pada bagian akhir ayat tersebut dinyatakan bahwa permohonan pertolongan itu dalam hubungannya dengan menghadapi orang kafir. Ada pertanyaan yang perlu kita renungkan: berlebihankah jika muslim mukmin tidak berucap salam ketika bertemu dengan sesama muslim mukmin, lebih-lebih lagi satu masjid atau musala, disebut orang yang kufur akan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala? Bukankah mereka telah diberi-Nya nikmat mulut yang sempurna? Jika benar bahwa mereka kufur, betapa ruginya mereka karena tidak memperoleh tambahan nikmat!
Surat Fushilat (41): 30
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu"
Subhanallah! Muslim mukmin yang istikamah dijanjikan surga! Oleh karena itu, meskipun menghadapi tantangan seberat apa pun, muslim mukmin tidak boleh lesu.
Bismillah!