Anak Saleh (4)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Ada dua masalah pokok yang telah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 3, yakni bahwa pasutri harus sehat secara utuh dan ikhtiar agar sehat secara utuh. Dari pasutri yang sehat secara utuh dapat diharapkan lahir anak yang sehat secara utuh juga. Kalaupun ada di antara anaknya yang tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa atau yang lain, mereka dengan sabar menerimanya. Sedikit pun mereka tidak merasa rendah diri. Hampir selalu mereka mengajak anaknya itu dalam berbagai kegiatan di luar rumah, bahkan di tempat umum sekalipun. Orang tua yang demikian adalah contoh orang sehat secara utuh.
Di dalam kenyataan ada orang tua yang malu mempunyai anak disabilitas sehingga hampir tidak pernah mereka mengajaknya untuk mengikuti kegiatan di luar rumah lebih-lebih lagi di tempat umum. Hal yang memprihatinkan adalah di antara mereka ada yang berlaku kasar terhadap anak itu. Lebih memprihatinkan lagi jika pasutri justru saling menyalahkan. Suami merasa lebih baik karena tidak ada satu pun dari keluarganya yang disabilitas. Istri tidak berdaya sehingga tidak berani mengajak anaknya dalam berbagai kegiatan di luar rumah jika bersama suami apalagi di tempat umum. Nah, apakah orang tua yang demikian sehat secara utuh?
Di dalam AS (4) ini diuraikan tiga langkah ikhtiar untuk memperoleh anak saleh.
Membaca Al-Qur'an
Mengaji dengan melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an jika dilakukan sesuai dengan adab membaca Al-Qur’an dan berharap memperoleh ketenteraman, niscaya memperoleh ketenteraman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sungguh keluarga yang sangat harmonis jika pasutri dapat (selalu) membaca Al-Qur’an dalam satu waktu, satu meja, dan satu kitab. Tambahan lagi, di antara pasutri itu tidak ada yang melakukan kegiatan lain, kecuali bersama-sama membaca Al-Qur’an. Kegiatan mereka benar-benar terfokus pada membaca Al-Qur’an. Suasana seperti itu harus dikondisikan sesering-seringnya karena hikmahnya sangat besar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasutri dari sesama jenis manusia agar tenteram. Suasana kebersamaan ketika membaca Al-Qur’an dapat menumbuhkembangkan ketenteraman pada pasutri.
Membaca Al-Qur’an hakikatnya berzikir. Dengan berzikir, hati jadi tenteram sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an sura ar-Ra’d (13): 28
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَ لَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
Mereka mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim berikut ini.
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ الله، يَتلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكينة،
وغَشِيتْهُمُ الرَّحْمَةَ وَحَفَتُهُمُ الْمَلَائِكَةَ، وَذَكَرَهُمُ الله فيمَنْ عِنْدَهُ. رواه مسلم
"Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah di antara rumah-rumah Allah (masjid), kemudian mereka membaca kitab Allah (Al-Qur'an) dan saling mempelajarinya, melainkan akan turun atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah meliputi mereka dengan rahmat, mereka akan dinaungi para malaikat, dan Allah akan membanggakan mereka di hadapan para malaikat."
Rahmat Allah Subḥanahu wa Ta'ala sangat luas. Di samping ketenteraman, rahmat yang diberikan kepada pasutri yang rajin membaca Al-Qur'an dapat berwujud anak saleh.
Jika ada pasutri yang sering galau sehingga suasana rumah tangga tidak tenteram, sangat mungkin salah satu penyebabnya adalah tidak pernah atau sangat jarang membaca Al-Qur’an bersama.
Pasutri yang mempunyai kebiasaan dapat secara bersama-sama membaca Al-Qur'an umumnya karena mereka sejak kecil mempunyai kebiasaan membaca Al-Qur'an. Kebiasaan itu makin kuat ketika remaja, dan makin kuat lagi ketika dewasa. Namun, dapat saja terjadi, atas kehendak Allah Subḥanahu wa Ta'ala laki dan perempuan digerakkan memulainya setelah menjadi pasutri.
Belajar dari Kata dan Peristiwa
Di dalam AS (3) dikemukakan salah satu contoh ikhtiar untuk memperoleh kesehatan secara utuh, yakni memeriksa kesehatan fisik. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa kesehatan fisik dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental. Pernah terjadi seorang dokter bunuh diri karena sakit flu tidak sembuh-sembuh. Orang yang sehat yang mental spiritualnya tidak mungkin bunuh diri.
Jika dokter pun ada yang mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri karena sakit tidak sembuh-sembuh, apalagi orang awam! Tentu lebih banyak.
Cukup banyak kasus yang berawal dari sakit fisik kemudian berubah menjadi sakit fisik dan mental. Kasus itu menimpa pada orang yang sakit berkepanjangan yang hampr semua hartanya habis digunakan untuk berobat secara medis. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Dokter ahli yang merawatnya sudah menasihati pasien dan keluarganya untuk bersabar dan mengizinkannya pulang.
Berkenaan dengan itu, berobat alternatif kepada “orang pintar” ditempuhnya juga. Kata “orang pintar” itu dia terkena guna-guna dan orang yang melakukannya adalah saudara sendiri. Keterangan ‘orang pintar” itu dipercayai kebenarannya dan dijadikan dasar untuk menyelidiki siapa saudara yang dimaksud karena tidak dijelaskan secara rinci oleh "orang pintar" itu. Timbullah fitnah! Hubungan dengan saudaranya retak.
Masalah di dalam.keluarga makin melebar dan kompleks, tetapi tidak sembuh juga sakitnya! Akibatnya, dia stres.
Sungguh bagaikan peribahasa, "Sudah jatuh terimpit tangga juga!" Hartanya hampir habis dan dia melakukan perbuatan syirik, padahal perbuatan syirik dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’a sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an misalnya surat an-Nisa (4): 36,
وَا عْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـئًـا ۗ وَّبِا لْوَا لِدَيْنِ اِحْسَا نًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَا لْيَتٰمٰى وَ الْمَسٰكِيْنِ وَا لْجَـارِ ذِى الْقُرْبٰى وَا لْجَـارِ الْجُـنُبِ وَا لصَّا حِبِ بِا لْجَـنْبِۢ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۙ وَمَا مَلَـكَتْ اَيْمَا نُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَا نَ مُخْتَا لًا فَخُوْرًا
"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri."
Dijelaskan juga bahwa syirik merupakan dosa besar yang tidak diampuni sebagaimana dijelaskan di dalam surat an-Nisa (4): 48,
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَآءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِا للّٰهِ فَقَدِ افْتَـرٰۤى اِثْمًا عَظِيْمًا
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar."
Muslim mukmin yang sehat secara utuh, pasti rajin mengaji dalam pengertian mengkaji ajaran Islam juga, baik dengan cara bersemuka maupun tidak. Tambahan lagi, dia pun pasti mengamalkan hasil mengajinya. Dapat dipastikan bahwa dia tidak berputus asa sebab memahami bahwa berputus asa dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Yusuf (12): 87
يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَ خِيْهِ وَلَا تَا۟يْـئَسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗ اِنَّهٗ لَا يَا۟يْـئَسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِر
"Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir."
Umumnya anak saleh lahir dari keluarga yang tangguh menghadapi ujian seberat apa pun dan optimistis pada rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, mereka memperoleh anak saleh sebagai wujud rahmat-Nya.
Bergaul dengan Orang Saleh
Teman pergaulan dapat berpengaruh baik atau buruk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pande besi). Penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya sedangkan pande besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Pasutri yang memilih teman bergaul orang saleh memperoleh tidak sekadar ilmu yang berisi teori agar dianugerahi anak saleh, tetapi juga memperoleh contoh praktik-baik. Orang saleh tidak hanya menasihati, atau memberikan contoh, tetapi juga menjadi teladan. Semua itu dapat diperoleh melalui pembicaraannya dan juga praktik hidupnya. Dengan kata lain, orang saleh dapat dijadikan model.
Orang saleh juga tidak kikir dengan ilmunya dan pengalamannya. Dia sangat memahami bahwa jika menunjukkan (mengajarkan) kebaikan kepada orang lain sesungguhnya dia pun memperoleh pahala yang sama dengan pahala orang yang belajar kepadanya. Hebatnya lagi, jika orang yang belajar kepadanya itu mengajarkan kebaikan kepada orang lain berikutnya dan orang lain itu mengamalkannya, dia memperoleh bagian pahala lagi. Jadi, dia sama sekali tidak dirugikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم : مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
"Dari Abu Mas’ud radiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim)
Dengan merujuk kepada hadis itu, orang saleh yang sukses berdagang tidak mungkin mengajari orang lain berdagang dengan curang. Tidak mungkin juga dia mengajari orang lain menjadi orang yang kikir. Yang diajarkannya pastilah suka bersedekah dan berinfak.
Orang saleh yang sukses menjadi pengusaha resto ayam goreng kampung, pasti mengajari orang lain agar tidak menipu dengan mengatakan ayam goreng kampung, padahal yang sebenarnya yang dijual adalah ayam goreng pejantan. Orang saleh yang sukses menjadi pedagang gula aren, maka benar-benar gula aren yang dijualnya. Orang saleh yang sukses sebagai pedagang madu asli, tentu benar-benar madu asli yang dijualnya.
Orang saleh yang sukses menjadi pejabat publik, pasti mengajarkan kesalehannya sebagai pejabat publik. Demikianlah orang-orang saleh sebagai apa pun (termasuk politisi) pasti mengajarkan kesalehan, bukan kesalahan yang “diplintir” menjadi seakan-akan kesalehan.
Masih adakah sekarang elite bangsa Indonesia atau politisi saleh seperti Bung Hatta, Agus Salim, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M. Natsir, atau yang lain yang berkualitas sehebat mereka? Pernah ada ketum parpol yang menyatakan dirinya sebagai Muhammad Natsir muda, tetapi ternyata dari sepak terjangnya dalam berpolitik sepuluh tahun terakhir ini berbeda jauh dari M. Natsir tokoh nasional sebagaimana telah disebutkan itu.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, bergaul dengan orang yang belum saleh tentu tidak dapat dihindari. Bagi muslim mukmin yang telah cukup bekal untuk mendakwahinya, mereka merupakan ladang pahala, Namun, muslim mukmin yang belum siap mendakwahinya, kiranya lebih baik mempertimbangkan manfaat dan madaratnya.
Orang yang belum saleh dapat berpengaruh buruk terhadap orang sedang belajar menjadi orang saleh. Kasus berikut ini merupakan contoh.
Dalam kehidupan ada orang yang belum saleh meminjam uang kepada orang yang sedang belajar menjadi orang saleh. Menurut kesepakatan, pinjaman dikembalikan dalam jangka waktu satu bulan. Namun, tanpa pemberitahuan terjadi pengingkaran janji. Dalam waktu satu pekan orang yang meminjaminya dapat “berdamai”. Dalam dua, tiga, dan empat pekan, masih baik-baik saja.
Ketika memasuki bulan ketiga mulai timbul niat untuk bertanya kepada peminjam. Namun, niat itu masih ditahan. Setelah satu tahun, terjadilah perubahan. Timbul dugaan buruk terhadap peminjam. Inilah salah satu pengaruh buruknya: su'uzan
Prasangka buruk itu pun terus mendesak sehingga akhirnya dia menagih. Terjadilah percekcokan. Anehnya justru peminjam uang yang lebih keras suaranya dan lebih galak! Persaudaraan atau pertemanan pun rusak! Itulah pengaruh buruk yang lain terhadap orang yang sedang belajar menjadi orang saleh. Orang saleh yang telah teruji kesalehannya kiranya tetap berpikir positif: Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti telah menyiapkan ganti yang jauh lebih baik!
Politisi yang tak beretika dapat berpengaruh buruk terhadap politisi yang sedang belajar menjadi politisi saleh. Berikut ini adalah contoh kasus nyata. Pada awalnya, politisi yang sedang belajar sebagai politisi saleh lantang berteriak bahwa berpolitik harus beretika. Mereka mengkritisi politisi yang abai terhadap etika. Namun, teriakan itu berubah menjadi pujian ketika memuji ternyata lebih menguntungkan dirinya dan partainya. Sejak itu dia justru memuji politisi yang tidak peduli terhadap etika berpolitik dan bergabung dengan mereka. Akhirnya, dia pun tidak lagi berbicara tentang etika berpolitik. Bahkan, dia sama sekali tidak merasa berdosa berpolitik tanpa etika dan tampak "bahagia" bersama mereka.
Allahu a’lam