Cahaya Iman dalam Syukur dan Sabar
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Seorang mukmin, dalam pandangan Islam, adalah sosok yang memancarkan cahaya keimanan melalui tanda-tanda yang mengakar dalam jiwanya. Ia bagaikan pohon yang teguh berakar pada aqidah yang kokoh, dengan dahan-dahan yang menjulang dalam keyakinan dan amal.
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. (Ibrahim [14]: 24-25)
Iman bagi seorang mukmin bukan sekadar bisikan di hati, tetapi juga ikrar yang mengalun di lisan dan perbuatan yang nyata dalam setiap gerak tubuh. Sebab iman bukan hanya keyakinan yang tersembunyi, melainkan cahaya yang bersinar dalam ucapan dan tindakan, menghidupkan segala yang disentuhnya.
Nabi SaW menegaskan bahwa iman adalah pelita yang menerangi setiap langkah seorang Mukmin, membimbingnya dalam mengarungi samudra kehidupan dan menghadapi gelombang takdir yang tak terduga. Dalam hatinya, syukur bersemi saat kebahagiaan menyapa, dan sabar mengakar saat ujian datang menyapa. Ia tak pernah alpa dalam mensyukuri nikmat, pun tak pernah goyah dalam terpaan musibah. Tiada keluh kesah yang merobohkan jiwanya, tiada putus asa yang meredupkan cahaya keyakinannya. Justru dalam setiap liku kehidupan, ia menemukan kebaikan sebagai balasan, sebab hatinya tetap teguh dan jiwanya tak tergoyahkan. Inilah keajaiban seorang mukmin setiap urusannya adalah kebaikan, karena imannya adalah cahaya yang tak pernah padam.
Dari Shuhaib RA, beliau berkata, Rasulullah SaW pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Seluruh urusannya adalah baik dan tidak ada pada seorang pun kecuali milik mukmin. Apabila menimpanya kesenangan maka ia bersyukur hal itu baik baginya dan bila menimpanya kesusahan maka ia bersabar, maka itu baik untuknya.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ad-Darimi)
Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah SaW menegaskan betapa luhur kedudukan syukur, sebuah cahaya kebaikan yang senantiasa menerangi hati seorang Mukmin. Di antara kemuliaan syukur ialah:
Pertama. Allah SwT menjadikan syukur sebagai puncak hakikat penciptaan, sebagaimana tersurat dalam firman-Nya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl [16]: 78)
Kedua. Allah SwT menjadikan syukur sebagai kunci bertambahnya anugerah dan benteng penjaga keutuhan nikmat, sebagaimana tersurat dalam firman-Nya:
Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Ibrahim [14]: 7)
Ketiga. Orang yang bersyukur adalah mereka yang mampu menangkap cahaya hikmah dalam setiap ayat-ayat Allah SwT, sebagaimana tersirat dalam firman-Nya:
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allâh, supaya diperlihatkan Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (Luqman [31]: 31)
Dalam hadis yang mulia ini, Nabi SaW dengan bijak memilih kata mukmin, bukan sekadar muslim, seolah hendak menyingkap makna yang lebih dalam bahwa iman adalah puncak tertinggi dari Islam, laksana cahaya yang menyempurnakan kemilau keislaman. Martabat iman berdiri lebih tinggi, mengakar lebih dalam, dan memancarkan kilau yang lebih cemerlang. Dan tiada dalil yang lebih indah untuk menegaskan hal ini selain firman Allah yang Maha Agung:
Orang-orang Arab Baduwi itu berkata:”Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka):”Kamu belum beriman,tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hujurat [49]:14)
Kehebatan sejati seorang mukmin terletak pada kemampuannya menautkan dua sisi kehidupan yang tampaknya bertolak belakang yaitu kesenangan dan kesusahan namun hakikatnya, keduanya adalah bagian dari mozaik takdir yang dirajut oleh kehendak Allah SwT. Dalam pandangan seorang beriman, tidak ada yang benar-benar buruk, sebab segala sesuatu yang datang dari-Nya selalu mengandung hikmah yang mendalam.
Ketika anugerah menghampiri, ia tidak terbuai dalam euforia yang melalaikan, melainkan bersimpuh dalam syukur, menyadari bahwa setiap nikmat bukan sekadar miliknya, melainkan amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kebaikan. Dan ketika musibah mengetuk pintu kehidupannya, ia tidak meratap dalam nestapa, melainkan menguatkan hati dengan kesabaran, meyakini bahwa di balik setiap cobaan tersembunyi kasih sayang Ilahi yang menguji keteguhan jiwanya.
Seorang mukmin sejati tidak terombang-ambing oleh keadaan, sebab ia memahami bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, tempat di mana kebahagiaan dan kesedihan hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama yaitu sebuah ujian keimanan. Ia berjalan di atas takdir dengan penuh keridhaan, menerima setiap gelombang kehidupan dengan hati yang teguh, sebab ia tahu, di ujung perjalanan ini ada perjumpaan dengan-Nya, tempat di mana segala lelah akan berganti menjadi kebahagiaan yang abadi.
Maka, dalam setiap takdir yang menimpa, baik kebahagiaan maupun ujian, selalu tersimpan kebaikan bagi seorang mukmin. Itulah keistimewaan iman yang tak diberikan kepada siapa pun selain mereka yang hatinya teguh dalam keyakinan kepada Allah SwT. Seorang mukmin yang sempurna imannya akan menjadikan syukur dan sabar sebagai dua sayap yang membawanya terbang menuju kedekatan dengan Allah SwT.
Semakin dalam imannya, semakin luas pula syukurnya atas nikmat yang dianugerahkan dan semakin teguh pula sabarnya dalam menghadapi cobaan. Dan di antara sekian banyak hamba, Rasulullah SaW adalah teladan tertinggi dalam hal ini. Kesempurnaan imannya terpancar dalam kesempurnaan syukur dan sabarnya. Beliau bersujud dalam syukur ketika diberi nikmat, dan dalam ujian, beliau tetap teguh, menjadikan kesabaran sebagai tameng yang menjaga hatinya dari gundah.
Kesabaran seorang mukmin adalah cahaya kebaikan yang tak pernah padam. Bahkan, Rasulullah SaW menegaskan bahwa kesabaran dalam menghadapi segala ujian dan kepedihan berujung pada ganjaran paling mulia yaitu surga yang abadi. Sahabat yang mulia Ibnu Abbas RA pernah berkata kepada Atha':
Maukah aku perlihatkan kepadamu seorang wanita penduduk surga? Aku menjawab; Mau. Beliau berkata: inilah wanita hitam. Dia mendatangi Nabi SaW seraya berkata, aku sering tidak sadar (karena sakit ayan) dan aku terbuka auratku, Berdoalah kepada Allâh untukku. Lalu Beliau SaW menjawab: “Apabila kamu ingin, kamu bersabar dan kamu mendapatkan syurga dan kalau kamu ingin , maka aku akan berdoa kepada Allah untuk menyembuhkanmu.” Maka ia menjawab; Aku bersabar. Lalu ia berkata, Namun aku sering tersingkap auratku, maka doakanlah aku agar tidak tersingkap auratku. Lalu Beliau SaW mendoakannya. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Ibnul Qayyim menguraikan beberapa hal yang dapat meneguhkan kesabaran bagi mereka yang ditimpa musibah, yaitu:
Pertama. Melihat akibat balasan yang baik atas musibah tersebut.
Kedua. Menunggu pertolongan Allah SwT.
Ketiga. Menganggap ringan musibah yang menimpanya dengan menghitung nikmat dan anugerah Allah SwT yang telah didapatkannya dan mengingat nikmat nikmat yang telah lalu. (Madarij As-Salikin, 2/445-447)
Demikianlah, iman sejati melahirkan ketenangan. Syukur membuat nikmat semakin bermakna, dan sabar menjadikan ujian sebagai jalan menuju kemuliaan. Siapa pun yang berjalan di atas jejak Rasulullah SaW, akan menemukan bahwa di balik segala peristiwa, ada cinta Allah SwT yang selalu menyelimuti.
Al-Munawi menyatakan, “Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Seluruh urusannya adalah baik dan tidak itu ada pada seorangpun kecuali milik Mukmin dan itu tidak ada pada orang-orang kafir dan munafiq kemudian Beliau SaW menjelaskan sisi menakjubkannya dengan sabda Beliau, apabila mendapatkan anugerah seperti kesehatan, keselamatan, harta dan martabat, maka bersyukur kepada Allah atas anugerah yang telah diberikannya, Maka itu baik baginya. Sebab ditulis pada catatan orang-orang yang bersyukur dan Bila menimpanya kesusahan seperti musibah maka ia bersabar maka itu baik baginya, karena menjadi golongan orang-orang yang bersabar yang Allah puji mereka dalam al-Qur`an. Seorang hamba selama pena taklif berlaku padanya maka pintu-pintu kebaikan terbuka dihadapannya. Sebab ia berada di antara nikmat yang wajib disyukur dan musibah yang wajib disabari, serta perintah yang dilaksanakan dan larangan yang dijauhi. Itu selalu dimilikinyasampai mati.“ (Faidhul Qadir, 4/302).
Begitulah keagungan seorang mukmin sebuah jiwa yang senantiasa dinaungi cahaya taufik dari Allah SwT, diarahkan langkahnya menuju kebaikan, hingga setiap detik hidupnya menjadi untaian keberkahan.