Rezeki, Risywah, dan Ketenangan Hati
Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan, Anggota MPI PPM (2015-2022)
Dalam dunia proyek, ada satu praktik yang sering dibicarakan dengan suara pelan: risywah. Ia hadir dalam wujud “amplop terima kasih”, “biaya loyalitas”, atau “tanda perhatian” yang diberikan kepada perorangan—biasanya pejabat pengambil keputusan—agar sebuah proyek jatuh pada pihak tertentu. Dalam banyak kasus, risywah dianggap sebagai “pelumas” agar proses berjalan lancar. Lama-kelamaan, praktik ini diterima sebagai semacam budaya kerja, padahal ia tetaplah risywah: sebuah pemberian yang bertujuan memindahkan hak dengan cara yang tidak jujur, merusak keadilan, dan menyingkirkan pihak lain yang seharusnya memiliki peluang yang sama.
Dalam literatur fikih, risywah didefinisikan sebagai suap yang diberikan kepada pribadi seorang pejabat atau pengambil keputusan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Hukum risywah adalah haram secara ijma‘ ulama, karena termasuk memakan harta dengan jalan batil. Rasulullah SAW menegaskan larangan ini dengan keras: “Allah melaknat penyuap, penerima suap, dan perantara suap.” (HR. Ahmad). Al-Qur’an pun mengingatkan: “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188). Dengan demikian, tidak ada ruang bagi pembenaran risywah, sekalipun ia dibungkus dengan istilah-istilah manis atau dilakukan dalam kerangka “kebiasaan umum”.
Namun, hidup tidak sesederhana hitam-putih. Ada orang yang terlanjur masuk dalam praktik risywah, lalu dari sana proyek demi proyek justru datang. Klien merasa puas karena pekerjaan yang diterima dikerjakan dengan sangat baik. Ia membayar sesuai kesepakatan, memberikan imbalan yang sah karena jasanya memang nyata dan profesional. Di titik ini, pendapatan yang diterima dari pengerjaan proyek tersebut adalah halal. Upah diberikan bukan sebagai balasan risywah, tetapi sebagai kompensasi kerja yang valid. Yang tetap haram adalah proses memenangkan proyeknya, bukan hasil bekerja ketika proyek itu sudah berada di tangan.
Menariknya, sebagian orang justru semakin maju setelah menjalani pola seperti ini. Mereka dikenal rapi, berdisiplin, hasil kerjanya bagus, dan bertanggung jawab. Dari sisi profesional, tidak ada yang cacat. Klien pun tidak merasa dirugikan, bahkan merasa senang bekerja sama. Kombinasi antara kualitas kerja yang tinggi dan risywah yang dilakukan secara konsisten menciptakan sebuah lingkaran yang membuat usaha terus bertumbuh. Rezeki pun mengalir deras, hingga orang-orang menganggapnya sebagai sosok sukses yang patut ditiru.
Belum selesai di situ. Sosok ini juga dikenal dermawan. Ia membiayai sekolah sanak saudara, membantu orang tua, menyantuni kerabat jauh yang kesulitan, bahkan rutin mengadakan pengajian di kantornya. Anak yatim, panti asuhan, dan masjid sering merasakan uluran tangannya. Ia menjadi figur yang dicintai banyak orang, dihormati, dan disebut-sebut sebagai orang baik. Di hadapan publik, kehidupannya tampak indah: kaya, bermanfaat, dan berakhlak mulia.
Namun kebaikan, betapapun banyaknya, tidak otomatis menghapus dosa risywah. Keduanya bukan resultan yang bisa saling meniadakan. Dalam keadilan Allah, setiap amal berdiri sendiri: kebaikan dibalas kebaikan, kemaksiatan dipertanggungjawabkan sebagaimana adanya. Orang-orang di sekitarnya yang mendapat hadiah atau kebaikan justru sering merasa iba. Mereka menerima manfaat besar, tetapi menyadari bahwa di balik hadiah itu ada praktik yang kelak harus dipikul sendirian dalam hisab. Di dunia semua tampak seimbang, tetapi di akhirat boleh jadi ia bangkrut—amalan banyak, tetapi tergerus oleh dosa yang tidak diselesaikan.
Padahal ketenangan hati dalam rezeki tidak datang dari angka, tetapi dari kebersihannya. Orang yang rezekinya melimpah namun masih memikul satu pintu haram akan selalu membawa beban batin, meski kecil. Karena itu, jalan keluar sebenarnya tidak sulit. Pertama, taubat dan berhenti dari risywah. Bila tetap ingin menjaga hubungan baik, pemberian bisa dialihkan dari personal ke institusi: bantuan resmi ke kantor, sponsorship terbuka, atau dukungan kegiatan umum. Polanya sama-sama memberi, tetapi tidak lagi dalam lingkaran risywah. Kedua, bagi mereka yang kondisinya sudah mapan, pintu usaha lain sangat terbuka: saham syariah, reksadana syariah, sewa properti, bisnis makanan, usaha online, hingga investasi jangka panjang lain yang bersih dari taktik-taktik abu-abu. Modal besar menjadikan hijrah finansial jauh lebih mudah dilakukan daripada mereka yang baru memulai.
Pada akhirnya, setiap orang ingin rezekinya membawa ketenangan, bukan sekadar kelimpahan. Kita ingin tidur tanpa waswas, ingin sedekah kita naik tanpa tertahan, ingin amal jariyah benar-benar jariyah tanpa noda. Membersihkan sumber rezeki adalah langkah kecil tetapi dampaknya besar bagi hati. Sebab ketika seseorang mengubah arah dari abu-abu menjadi terang, hidupnya bukan hanya bertambah lapang, tetapi juga lebih dekat dengan ridha Allah. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menempuh jalan yang bersih dan diberi keberkahan dalam setiap langkah. Aamiin.


