Indonesia, Madura, dan Ritelmart
Oleh: Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Surabaya dan UIN Syahid Jakarta selain aktivis di Muhammadiyah bidang Wakaf Uang
Syahdan terdengarlah barita bahwa toko kelontong yang dikelola etnis Madura di seantero Nusantara akan “diterpedo” Indomart dan Alfamart melalui tangan dan pedang penguasa. Salahnya apa usaha bisnis kecil-kecil berupa warung kebutuhan sehari-hari masyarakat ini sehingga elite birokrasi perlu turun melibasnya dengan alasan akan mengganggu perekonomian nasional.
Dalam hati baru kali ini penulis mendengar usaha rakyat kecil dapat menggoyahkan bisnis sekumpulan pengusaha dan pemodal dalam dan luar negeri sehingga diperlukan kekuatan dan kekuasaan yang manggung menyetopnya. Apakah demikian hebat pengaruh warung-warung atau toko kelontong bangsa Madura yang dapat menggoyahkan pemilik modal (kapitalis) yang dalam berbagai kamus pergaulan sehari-hari rakyat Indonesia disebut dengan kelompok oligarki.
Penulis sembari menggaruk kepala yang tidak gatal bergumam mengapa penguasa tidak turun tangan selama ini bahwa lahirnya Indomart dan Alfamart di tengah masyarakat akar rumput mematikan pedagang-pedagang kecil tradisional yang ngepeknya terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak mereka sangat terganggu. Sayang tulisan Yusril Izha Mahendra, SH tahun 1990-an tentang dampak negative kehadiran mereka ini hilang dari file perpustakaan penulis.
Bukankah secara tidak langsung kehadiran kedua instrument ekonomi kapitalis ini ikut memiskinkan rakyat Indonesia. Ini yang seharusnya diveto dan diingatkan melalui peraturan perundang-undangan untuk menjaga system perekonomian Pansila yang digagas para pendiri bangsa ini berjalan dengan baik dan benar. Ada keseimbangan hidup dalam berbangsa dan bernegara dalam payung kebinnikaan Pancasila.
Tulisan di bawah ini akan mencoba memahami cara berfikir para pendiri bangsa NKRI mengapa perlunya ekonomi Pancasila sebagai pondasi dasar ekonomi bangsa Indonesia dalam konteks tujuan berdirinyanya Nations State Indonesia yang diperjuangkan oleh kakek-nenek anak bangsa Indonesia berkuah air mata dan darah ini. Mengapa mereka tidak menerima system ekonomi kapitalis dan sosialis minus ruh agama di dalamnya.
Indonesia Merdeka
Indonesia yang awalnya dikenal dengan nama Kepulauan Nusantara sudah dihuni berbagai suku bangsa dengan beragam lapisan budaya bersamanya. Para Sejarahwan dan budayawan menyebutkan bahwa Indonesia sekarang ini mengendap di bawah alam sadarnya budaya pra-sejarah-penulis lebih senang menyebutnya dengan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis, budaya Hidhu-Budha, budaya Islam dan terakhir budaya rasional Eropa Barat seiring masuknya zaman penjajahan.
Demikianlah pernyataan Prof. Darmardjati Supadjar (w. 2014), seorang filsuf dan akademisi (ilmuwan) dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Dan setiap lapisan budaya itu memberi dampak dan berpengaruh terhadap karakter dan cara berpikir bangsa Indonesia yang ada sekarang.
Misalnya dalam kondisi dan situasi Indonesia yang sudah memasuki abad ke-21 ini masih terlihat perilaku elite bangsa dengan budaya Animism dan Dynamism dalam Pilpres dan Pilkada. Belum lagi prilaku masyarakat kebanyakan bersyerikat dengan syetan (pesugihan dan nyupang) dalam konteks ingin kekayaan materi tanpa kerja keras sehingga gunung “disembah” dan bahkan sangat laris kelompok broker (parewangan) sebagai penghubung “dunia atas” dan “dunia bawah”.
Dalam konteks inilah kritik Prof. Sutan Takdir Alisyahbana (w. 1994) pakar Budaya dan Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa mengapa Indonesia belum mengalami lompatan kemajuan yang signifikan dalam bidang sains dan teknolgi seperti bangsa Eropa pada umumnya karena agama di Indonesia dilihat hanya sebagai sebuah entitas yang “menakutkan” dan lebih cendrung bersifat serimonial. Dan terkadang bercampur aduk antara budaya dan agama sehingga menimbulkan mana antah dan bernas tidak tampak. Sebut saja misalnya tradisi melarung dan menanamkan kepala kerbau ketika mengadakan sebuah hajatan pembangunan.
Hal yang sama dikatakan Prof. Harun Nasution (w. 1998) (bukan Harun Masiku orang tuanya Elisabeth Liling dan Johannes Masiku dari Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) dalam bukunya “Islam Rasional” peletak dasar pengembangan IAIN Jakarta sekarang menjadi UIN Syarif Hidayatullah bahwa agama bisa bermata dua. Pada satu sisi akan menimbulkan negative dan pada muka yang lain akan mendatangkan kemajuan dan keberkahan. Bagaimana tidak kata Harun kalau agama dipahami hanya sebatas yang bersifat magic misalnya tradisi pelet memelet dalam konteks negatif dan untuk pengusir syetan.
Begitu pula pernyataan Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006-2015 dan kolomnis, bahwa umat Islam mengadakan kegiatan serimonial keagamaan seperti tahlilan bukan karena takut sanksi Tuhan akan tetapi lebih takut kepada sanksi sosial.
Berbeda ketika Islam periode awal sekitar tahun 650 sd 1250 Masehi, Harun Nasution menyebutkan bahwa Islam menjadi sumber motivasi dan inspirasi kemajuan peradaban Islam. Jadilah Islam sebagai Per Exellen dan tempat tujuan seluruh anak muda dunia berlajar di dunia Islam. Lahir Kota Bagdad, Isfahan, Cordoba, Sevilla, Bukharo, dan umumnya dunia Islam merupakan mercu suar ilmu pengetahuan dunia. Inilah yang dimaksud Mantan Rektor IAIN tahun 1973-1984 di atas bahwa agama memiliki dua sisi mata uang; bisa negative dan bisa juga bermakna positif.
Sedangkan bagi Indonesia Islam begitu besar kontribusinya baik pra maupun pasca menjadi NKRI yang berdaulat dan merdeka. Dengan 13. 000-an pulau dan beragam etnis dan bahasa yang dimiliki sampai hari ini Indonesia masih tetap utuh dan tidak bercerai berai sungguhpun niat untuk menjadikan Indonesia “Balkan Kedua” masih ada sampai sekarang. Siapa pelakunya, siapa lagi kalau bukan musuh-musuh Indonesia. Di mana letak kekuatan perekatnya bangsa ini?
Islam dijawab dengan tegas oleh Prof. Syed Muhammad al-Naguib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al-Attas (kelahiran 5 September 1931-93 tahun) seorang cendekiawan dan filsuf Muslim dari Malaysia. Dalam bukunya “Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu” tahun 1999, beliau menyebutkan bahwa Islam yang membawa perubahan berpikir maju bangsa Melayu yang umumnya pemeluk Islam menjadi rasional dan bersatu.
Dan Islam dengan budaya egaliternya menjadi berseberangan terhadap sikap feodal budaya Hindhu dan modal perlawanan yang keras terhadap penjajah bangsa Eropa dan Jepang. Dan hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Deliar Noer bahwa kalau menyebutkan nama Melayu identik dengan Islam.
Ada dua perlawanan Islam terhadap penjajah Belanda yang sangat menguras APBN negara Kerajaan Prothestan Belanda sehinga melahirkan kebijakan tanam paksa tahun 1830 untuk mengisi kas negara. Kebijakan kedua menyangkut pengajaran Islam kepada anak pribumi yang dianggap menjadi sumber inspirasi kekuatan dan perlawanan dikenal dengan Ordonansi Guru tahun 1905 sebuah peraturan pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi agama Islam.
Pertama Perang Jawa yang dikenal dengan Perang Dipanegoro tahun 1825-1830 karena melibatkan hampir seluruh bangsa Jawa dipimpin seorang ulama keturunan Kraton Ngayogyakarta Raden Mas Ontowiryo (w. 1855). Sebab perang adalah rusaknya akhlak bangsa Jawa akibat konsesi penjualan candu (narkoba) lisensinya diberikan kepada bangsa Timur Asing (China) dan kedua dirasakan pajak jalan yang sangat menyusahkan rakyat kecil diberikan orang Timur Asing (China) mengelolanya. Kedua hal inilah yang memicu pecahnya Perang Jawa yang memakan waktu cukup lama selama 5 tahun (lihat Trasberita.com, 27 Januari 2022, Merebut Tafsir Sejarah Bangsa)
Lalu Perang Aceh terjadi dari tahun 1873 sd 1904. Perang ini disebabkan Belanda ingin menguasai wilayah Kesultanan Aceh dalam konteks penguasaan jalur perdagangan international dengan dibukanya Terusan Suez 17 November 1869. Kemarahan rakyat Aceh membuncah ketika Belanda membakar Istana Kesultanan Aceh dan Masjid Baiturahim yang legendaris itu. Kedua perang inilah yang membuat kas pemerintah Belanda menjadi masalah serius yang melahirkan kebijakan Tanam Paksa tahun 1830 dan Ordonansi Guru tahun 1905.
Kehadiran orsospol Islam pada awal Abad ke-20 menjelang akhir kekuasaan Belanda di Indonesia seperti Syarikat Islam (SI) tahun 1912 diawali dengan Syarikat Dagang Islam di Solo tahun 1905 kemudian bertransformasi ke seluruh Indonesia dipimpin Tjokroaminoto. Ide dasar berdirinya adalah bagaimana lahir Indonesia yang berdaulat dan lepas dari ikatan penjajahan Belanda mengatur diri sendiri sebagai sebuah bangsa yang Merdeka. Prof. Deliar Noer menyebutkan bahwa benih-benih nasionalisme muncul dari SI yang anggotanya tidak mengenal etnis dan kelas sosial.
Sayang internal SI digoyang kelompok Semaun (w. 1971), tokoh muda komunis Semarang yang memang diinisiasi untuk mengganggu perjuangan SI sebagai sebuah kekuatan penghancur penjajah Belanda. Gagasan pemikiran Marxisme ini dibawa oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet dikenal luas dengan nama Henk Sneevliet dari Belanda kemudian mendirikan Perhimpunan Demokratis Sosial Hindia (ISDV) 9 Mei 1914 di Surabaya anti kolonial di Indonesia. Lalu pada 23 Mei 1920 ISDV diubah Semaun menjadi Partai Komunis Hindia.
Perlawanan yang sunyi dengan senjata terhadap penjajah Belanda dilakukan Persyarikatan Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 digagas KH. Ahmad Dahlan (w. 1923) dan Nahdhatul Ulama diprakarsai oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (w. 1947). Kedua ormas Islam ini melalui lembaga pendidikannya memberikan sumbangaan para anak didiknya untuk menggagas Indonesia Merdeka dan berdaulat antara lain Ir. Soekarno, Jenderal Soedirman, dan KH. Wahid Hasyim.
Demikinlah jiwa nasionalisme Indonesia semakin mengental dalam ikrar pemuda Indonesia dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928, bahwa Kami Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia, Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia, Bertanah Air Satu, Tanah Air Indonesia yang kemudian berakumulasi pada pernyataan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Makna kemerdekaan adalah berdaulat yang lepas dari penjajahan fisik maupun psikis bangsa lain dan bangsa sendiri. Tujuan mengapa Indonesia ingin merdeka ada dua, yaitu tegaknya keadilan sosial ekonomi dan kedua tegaknya keadilan sosial hukum terhadap seluruh anak bangsa tanpa melihat etnis, agama dan kelas sosialnya. Inilah gagasan yang ada dikepala para pendiri bangsa mengapa Indonesias kudu Merdeka.
Bangsa Madura
Sebelum masuk substansi karakteristik bangsa Madura, penulis ingin mengisahkan pengalaman berteman dengan orang Madura di Pangkal Pinang Bangka tahun 1971-1977. Pada waktu itu penulis studi Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN) Pangkal Pinang Jl. Keramat, yang sekarang menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Babel. Apanya yang menarik sehingga perlu ditayangkan kisahnya dalam tulisan ini.
Penulis “mukim” di rumah Kakak-Ayuk di Kompleks Timah Pasir Garam, Rangkui. Depan rumah berdiri Masjid Kompleks Al-Husna. Masjid ini dijaga oleh teman dari Madura yang waktu itu usianya setengah baya. Selama enam (6) tahun tidur di masjid itu ada hal-hal yang menarik dan banyak hal yang dapat penulis ambil dari pergaulan dengan beliau.
Dalam ilmu-ilmu sosial disebut dengan Radiasi Theory, yaitu berteman dengan penjual kambing akan terkena bau kambing dan kalau berteman dengan penjual minyak wangi keciprat bau wanginya. Begitulah kira-kira bunyi teori radiasi ini. Nabi mengatakan bahwa kalau ingin tahu tentang seseorang maka tanya siapa sahabatnya.
Penulis perhatikan bertahun-tahun berteman masalah disiplin kerjanya selalu tepat waktu. Bisanya beliau selalu datang pukul 21. 00 on time, kecuali ada hal yang bersifat syar’i saja agak telat datangnya. Dan beliau tinggal di daerah Selindung Baru di atas Pemakaman Masyarakat Gabek. Perilaku sebagai pekerja beliau lakukan secara ajeg dan berkesinambungan selama penulis tinggal di sana dan berkisah ria dengan rokok kelobotnya itu.
Sebagai anak muda dalam proses pertumbuhan masalah disiplin inilah rupanya yang “nempel” atau melekat dalam perilaku penulis dari beliau tanpa disadari ketika penulis mengambil profesi sebagai akademisi dan kepala sekolah di tingkat SD, SLTP, SLTA, lalu Ketua (fungsi rektor) Sekolah Tinggi Syekh Nawawi AL-Banteni di Jakarta. Sampai sekarang sikap hidup disiplin sudah menjadi pakaian sehari-hari penulis terutama jika memberi kuliah di IAIN-UIN Syahid Jakarta ampe now.
Dalam konteks disiplin ini ketika ketemu di Workshop Pelatihan Kerja DKI di Pasar Rebu dengan mahasisawa Korsel bernama Mr. Kim yang lagi magang (lupa tahunnya) ada hal yang penulis tanya tentang mengapa Indonesia tidak seperti negara yang maju walaupun minus Sumber daya Alamnya. Dengan jujur beliau menjawab bahwa ada dua sebab mengapa Indonesia belum sejajar dengan bangsa Korsel dan bangsa Ras Kuning lainnya dalam hal kemajuan dunia (Sains dan Teknologi).
Pertama katanya masalah disiplin belum menjadi karakter bangsa Indonesia secara komunal. Kedua masalah akut yang diderita Indonesia adalah korupsi di segala lini. Mengapa orang (elite) Bangsa Indonesia terus saja melakukan korupsi walaupun tahu salah dan dimarah Tuhan karena UU-nya terlalu lemah. Jadi katanya jika Bangsa Indonesia ingin menjadi negara besar sikap hidup disiplin harus ditegakkan dan korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Demikianlah ketika ditanya Prof. Komaruddin Hidayat kepada Budayawan Madura Djamal D. Rahman dalam sebuah acara menjelang buka puasa Ramadhan di TV Nasional tentang etos kerja orang Madura mengapa begitu “kental mati” dan gigih dalam perjuangan menjawab challenge daripada tuntutan di dunia hasanah dan di akhirat hasanah lalu terhindar dari azab neraka, baik neraka dunia maupun akhirat (firman Allah dalam Alqur’an (2: 201).
Djamal menjawab dengan santai bahwa ada dua hal yang menjadi pendorong kuat mengapa lahirnya sikap hidup kerja keras orang-orang Madura pada umumnya. Pertama tanah pulau Madura yang tandus sehingga untuk bercocok tanam sangat menyulitkan kehidupan mereka. Kedua, ingin menyebrang ke pulau lain (sebelum ada Jembatan Suramadu) menghadapi tantangan lautan yang ganas sehingga membutuhkan jiwa yang berani dan rada nekad untuk mencari penghidupan dan kehidupan yang lebih baik. Kedua hal inilah yang menjadi alat pacu dan pemicu mengapa dan di mana saja orang-orang Madura berada sangat tampak sikap hidup kerja keras dan sangat solid kehidupan kemunalnya.
Dan jarang diketahui etnis lain bahwa orang-orang Madura selalu hidup hemat dan ini dapat diketahui dari berapa pun penghasilan yang mereka dapat dan peroleh maka pastilah mereka menabung. Ketika ditanya untuk apa menabung dijawabanya untuk naik haji. Dari mana sikap hidup menabung untuk naik haji yang mengendap di bawah alam sadar orang-orang Madura.
Dari berbagai informasi baik melalui pergaulan dengan orang Madura langsung dan literatur diketahui bahwa struktur sosial yang menjadi panutan umumnya rakyat Madura adalah yang pertama para Ulama. Barulah kemudian pimpinan formal lain mulai dari tingkat dan jenjang Rt sampai ke RI I. Seorang ulama bagi orang Madura tempat rujukan yang kata dan perbuatannya menjadi ikutan dan dihormati.
Kalau berbicara Ulama (yang orisinil istilah Gus Baha dan ada ulama yang tidak orisinil) merupakan symbol kebaikan; perilaku yang jujur, penolong, penyabar, berani berkorban, ‘alim dan solih, dan selalu membimbing masyarakat ke arah jalan Tuhan. Ulama inilah bagi orang Madura tempat bertanya dan berkeluh kesah dari kesulitan kehidupan dan penghidupan dunia akhirat.
Ada pengalaman penulis yang barangkali baik diketahui pembaca bahwa terkait dengan sikap hidup orang Madura terhadap ulama ini. Di Jakarta pada umumnya jika terjadai masalah baik internal orang Madura apalagi dengan masayarakat lain, cara aparathukum menyelesaikannya dengan meminta bantuan tokoh Madura, baik ulama atau bukan, yang ada setempat. Cara ini ketika penulis tanya sangat efektif untuk menjaga ketertiban dan ketenangan di masyarakat jika ditemukan ada masalah.
Demikianlah, dalam jiwa orang-orang Madura ketika menyebrang lautan mereka sudah membawa sikap hidup kerja keras, hemat, jujur, setia kawan, dan tidak ada kata menyerah sejauh dianggap benar (menurut agama), hidup dalam komunal yang solid, dekat dengan ulama (symbol agama Islam), dan inilah mengapa mereka umumnya berhasil dalam kehidupan di dunia Rantau.
Indo-Alfamart
Teringat kisah teman sebutlah namannya Mr. Robert (bukan nama sebenarnya) terkait awal lahirnya kelompok usaha retail seperti Indomart dan Alfamart. Awal ceritanya dia ditugaskan kelompok tertentu (PT. Kolang Kaling bukan nama sebenarnya) untuk menjadi intel bisnis yang waktu itu lahir instrument kapitalis dalam bentuk Hero dan Carepour lagi menjamur.
Selama tiga (3) bulan dia mencatat dan melihat kemudian melaporkan kepada pemberi tugas. Dari hasil pantauan ini kemudian melahirkan system ekonomi yang sifatnya gampang dijangkau masyarakat luas dan memiliki aspek pelayan mudah dan kebersihan yang cukup terjamin. Sedangkan letaknya harus strategis dan tidak jauh dari pemukiman masyarakat kebanyakan.
Dalam konteks persaingan bisnis inilah sebenarnya lahir instrument ekonomi yang sekarang dikenal luas dengan nama Indomart dan Alfamart. Akan tetapi karena teman penulis ini tidak bermata sipit walaupun kulitnya putih ketika ingin ditempatkan sebagai salah satu direksi dalam kelompok PT. Kolang Kaling ini akhirnya tidak diikutsertakan hanya sebatas sebagai intel bisnis saja.
Jauh sebelum undang-undang dan peraturan pemerintah dan DPR RI membenarkan kedua kelompok bisnis ini bertebaran di tengah Masyarakat, Yusril Ihza Mahendra, waktu itu masih sebagai tenaga pengajar di UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakrta) dan UI sekita tahun 1990-an sudah mengingatkan bahayanya kalau diizinkan kedua lembaga ekonomi kapitaslis itu beroperasi yang terlalu bebas di masyarakat. Dengan kekuatan modal yang bersifat corporasi maka keduanya akan dapat mematikan warung-warung tradisional yang sudah ada. Sekarang menjadi kenyataan prediksi Yusril 30-an yang lalu.
Dalam konteks ini Prof. Kuntowijoyo (w. 2005), Sejarahwan dan Budayawan dari UGM, dalam berbagai buku dan ceramahnya sudah mengingatkan bahwa memang benar system ekonomi Indonesia adalah Pancasila. Akan tetapi isinya kata beliau adalah system ekonomi kapitalis. Dan lebih libral ketimbang embahnya kapitaslis Amerika Serikat karena dari hulu sampai hilir dikuasai satu perusahaan saja.
Demikinlah yang terjadi di lapangan dan sangat disayangkan niat awal berdiri NKRI untuk menegakkan keadilan sosial ekonomi tumbuh di tengah rakyat Indonesia belum menjadi kenyataan. Padahal persoalan menegakkan keadilan sosial ekonomi inilah mengapa para pendiri bangsa mau berkuah darah dan air mata melawan penjajah menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat.
Penutup
Kehadiran warung-warung Madura sebagai anti tesis Indo-Alfamart memberi harapan baru persaingan bisnis di Indonesia dengan berbagai kelebihan dimiliki. Mudah dijangkau, murah, non-stop 24 jam, terjangkau rakyat dan yang lebih utama adalah bahwa bangsa Indonesia asli mampu melahirkan jiwa entrepreneurship yang diwakili etnis Madura sebagai sebuah inspirasi dan motivasi.
Sebab itulah mengapa rakyat angkat bicara dan membelahabis dan mati-matian ketika ada upaya-upaya ingin menyetop warung-warung Madura beroperasi selama 24 jam melalui tangan penguasa oleh kalangan oligarki karena dianggap dapat mematikan instrument kapitalis seperti Indo dan Alfamart.
Bagaimana dengan Muhammadiyah yang sejak Muktamar Makasar tahun 2015 pengembangan bidang ekonomi dan financial menjadi gerakan pilar ketiga selain dakwah amar ma’ruf dan Amal Usahanya (Bidang Sosial, Peandidikan, dan Rumah sakit). Penulis pikir ada hal yang dapat diambil dari karakter orang-orang Madura yang berjiwa entrepreneurship dengan etos kerjanya yang luar biasa itu. Sikap hidup hemat, jujur, tahan uji dan solid sebagai sebuah komunal dengan ulama sebagai rujukan utamanya patut untuk dijadikan contoh. Bukankah Nabi Muhammad Saw juga adalah seorang pedagang yang handal.
Allah “alam bi as-Shawab.