Anak Semata Wayang

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
97
Anak Semata Wayang

Anak Semata Wayang

Anak Semata Wayang 

Cerpen Latief S. Nugraha

Sugeng dan Salamah berbaring di ranjang. Keduanya menatap langit-langit kamar yang kusam tapi bersih tanpa sulur-sulur sarang laba-laba. Aroma minyak telon meruap. Di antara keduanya seorang bayi tertidur nyenyak. 

“Sekarang kamu telah jadi ibu.” 

“Sekarang aku bisa memanggilmu ayah.” 

“Ibu...” 

“Ayah...” 

Sugeng menatap Salamah. “Alhamdulillah kita bisa melewati tujuh tahun usia pernikahan dengan beragam pengalaman yang menakjubkan.” 

Salamah merasa bahagia mendengar ucapan suaminya. 

*** 

“Berumah tangga itu tidak ada sekolahnya, tidak ada kursusnya. Oleh karena itu setiap waktu adalah belajar. Jangan heran kalau banyak bahtera rumah tangga yang karam. Hal itu karena ketidakdewasaan,” ceramah seorang ustaz di sebuah kanal YouTube. 

“Banyak yang bilang kalau jodoh di tangan Tuhan. Benar. Tapi perlu diingat kalau manusia juga memiliki peluang untuk turut menentukan pasangan yang akan menjadi jodoh sepanjang hidupnya. Bahkan ada yang dijodohkan orang lain. Ada yang merasa jodoh tapi tidak direstu. Bukankah itu artinya ada campur tangan manusia? Maksud saya, manusia boleh memilih, bisa menentukan pasangannya. Selebihnya tentu saja kuasa Tuhan. 

Beda dengan anak. Anak tidak bisa memilih bakal lahir dari keluarga siapa, kaya atau miskin, dan sebagainya, dan sebagainya. Orang tua tidak bisa memilih seperti apa anaknya.” paparan lebih mendalam sang ustaz. Sugeng dan Salamah merasa cocok dengan ceramah-ceramah di kanal YouTube itu. Mereka menemukannya saat pandemi Covid-19. Seluruh tayangan sudah ditonton, bahkan ada yang diulang-ulang. 

Bicara rumah tangga mereka berdua tentu tidak semata-mata tentang keharmonisan. Orang-orang di sekeliling sudah meramalkan kalau rumah tangga mereka bakal retak. Sugeng sudah mendapat bujukan untuk cerai dari keluarganya. Salamah bahkan rela dimadu. Tapi, Sugeng bergeming. Setiap kali terbersit pikiran untuk berpisah, pada saat itu pula di hadapannya hanya ada perjuangan dan pengorbanan Salamah. Dari situ Sugeng berkesimpulan kalau keutuhan rumah tangga tergantung pada setiap pasangan, sedangkan kehancuran disebabkan oleh hal lain di sekitar keduanya. 

*** 

“Kalau saja setelah menikah langsung diberi momongan, semestinya anak kita sudah SD sekarang. Mungkin malah sudah lebih dari satu...” kata Salamah kepada suaminya yang sedang mengelus-elus alis putrinya. 

“Ssttt... Jangan lanjutkan! Tidak elok!” jawab Sugeng yang segera mengentikan usapan jemarinya. 

Keduanya kemudian saling diam. Salamah menyesal telah berkata begitu. Sugeng mencoba tetap tenang. Keduanya kembali menatap langit-langit kamar yang kusam tapi bersih tanpa sulur-sulur sarang laba-laba. 

Bicara tentang rumah itu, meskipun tidak besar tapi rumah itu adalah hasil kerja keduanya sembari menunggu hadirnya seorang anak. Sesuai rencana, mereka punya rumah sebelum usia 40 tahun. Usaha di bidang kuliner berhasil. Warung soto dan sop di dekat Kampus UAD laris manis. 

“Aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang memilih childfree. Bisa-bisanya ada orang yang tak mau punya anak. Atau pasangan yang sudah dikaruniai anak tapi memilih berpisah. Melihat berita semacam itu di medsos, aku merasa perjuangan kita untuk punya anak dan mempertahankan pernikahan jadi sangat-sangat berarti dan berharga,” Salamah kembali membuka pembicaraan. 

“Itu urusan masing-masing. Mereka pasti punya alasan,” 

“Ternyata, berumah tangga memang tidak gampang.” 

“Itulah mengapa menikah disebut ibadah. Ibadah selalu seiring dengan godaan untuk membatalkannya.” 

Sejenak Sugeng dan Salamah bersitatap. Secara bersamaan masing-masing menghela napas panjang lalu mengembuskannya lembut. Sejenak kemudian pandangan mereka beralih pada bayi mungil di antara keduanya. 

“Kenapa dulu Ayah tidak mau menikah lagi demi memiliki seorang penerus, demi punya seorang pewaris! Seperti Nabi Ibrahim...” Ujar Salamah. “Seperti Sarah, aku rela dimadu karena selama pernikahan kita belum juga dikaruniai anak.” 

“Tapi, aku bukan Nabi Ibrahim. Ibu juga bukan Sarah. Tidak ada Hajar. Tidak ada Ishaq. Tidak ada Ismail.” 

“Tapi, bukankah kita bisa belajar dan meneladani keluarga Ibrahim? Ishaq dan Ismail adalah sepasang mata Nabi Ibrahim, dan masing-masing tetap menjadi anak semata wayang ibunya!” 

“Memiliki seorang anak tanggung jawabnya sama dengan punya satu istri. Jika poligami syaratnya adil, dan apabila tidak mampu maka kita tidak berani poligami, semestinya demikian pula soal anak. Bahwa, kalau tidak bisa adil, maka janganlah punya anak lebih dari satu.” 

Salamah memperhatikan setiap perkataan Sugeng. 

“Tidak sedikit anak-anak yang saling cemburu karena perlakuan yang berbeda dari kedua orang tuanya. Entah saling dibandingkan, entah tidak menerima kasih sayang yang sepadan, entah tidak mendapat perhatian secara total. Dulunya cuma bertengkar tangis-tangisan karena rebutan mainan, kelak bertengkar habis-habisan karena rebutan warisan!” 

“Jadi, satu anak cukup?” 

“Cukup! Anak ini adalah keajaiban. Anak ini dikirim Tuhan untuk mengeratkan hubungan kita berdua!” 

“Tapi...” 

“Sudahlah! Mari tidur. Sudah larut malam.” 

*** 

“Anak ini cantik ya, Yah?” 

“Iya, Bu. Cantik seperti ibunya.” 

“Memangnya Ayah tahu siapa ibunya?”• 

 

Yogyakarta, 25 Juni 2023.

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Cerpen: Suratini Eko Purwati Ada tetangga, penduduk asli kampung menjual rumah keluarga dan ada pen....

Suara Muhammadiyah

8 September 2023

Humaniora

Cerpen Ashari REJEKI sering diidentikkan dengan harta. Boleh saja. Silahkan. Sah-sah saja. Namun da....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Humaniora

Milad ke-66 Oleh : ESu Setahun usiakudi atas usiamuaku lahir lima enamengkau didirikan lima tujuht....

Suara Muhammadiyah

18 November 2023

Humaniora

Ustad Hima, sebutan akrab yang melekat pada pria kelahiran 1 November 1967 ini. Dia bukan seorang us....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Humaniora

Oleh: Ahmad Azharuddin Menemukan kedamaian di dalam hati merupakan sebuah konsep yang sangat pentin....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah