Antara Tawakal dan Ikhtiar

Publish

6 February 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
462
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Antara Tawakal dan Ikhtiar

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Tawakal merupakan ibadah hati yang sangat penting dalam Islam. Seorang mukmin yang bertawakal memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan dan ketetapan Allah SwT. 

Dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Anfal [8]: 61)

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Al-Maidah [5]: 23)

Tawakal mencakup seluruh aspek kehidupan seorang hamba, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Dalam konteks sosial, ekonomi, dan spiritual, tawakal menjadi pilar yang menguatkan hati dan menjadikan seorang Muslim lebih tenang dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). (QS. At-Talaq [65]: 3)

Tawakal bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Tawakal bukanlah sikap pasif atau menyerah tanpa usaha. Inti dari tawakal adalah penyandaran hati kepada Allah SwT bersamaan dengan melakukan sebab (ikhtiar atau usaha) dan rida kepada keputusan yang Allah SwT tetapkan. 

Ibnu Taimiyah mengatakan, "Tawakal yang benar adalah menyandarkan hati kepada Allah dalam meraih sesuatu yang bermanfaat dan menolak sesuatu yang membahayakan, dengan tetap mengambil sebab yang diperintahkan oleh syariat." (Majmu’ al-Fatawa, Jilid 8, hlm. 528)

Tawakal yang benar adalah kombinasi antara usaha maksimal dan kepasrahan total kepada Allah SwT.

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah [62]: 10)

Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya, "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya, niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah [5]: 23)

Tawakal dan usaha harus berjalan beriringan. Islam mengajarkan bahwa manusia wajib berusaha dengan sebaik-baiknya, tetapi hasil akhirnya tetap diserahkan kepada Allah SwT. Jika seseorang hanya mengandalkan tawakal tanpa usaha, itu bisa menjadi bentuk kemalasan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Sebaliknya, jika seseorang hanya mengandalkan usaha tanpa menyerahkan hasilnya kepada Allah, itu bisa menjadi bentuk kesombongan dan keangkuhan.

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal. (Ali 'Imran [3]: 159)

Ayat ini menunjukkan bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, melainkan datang setelah seseorang berusaha dengan maksimal dan membulatkan tekad. Islam menanamkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal agar manusia tidak terjebak dalam dua ekstrem: terlalu mengandalkan usaha hingga lupa kepada Allah atau hanya berserah diri tanpa berbuat apa-apa.

Nabi Muhammad SaW adalah manusia yang paling bertawakal kepada Allah, tetapi beliau juga tetap berusaha dan mengambil langkah-langkah nyata dalam setiap urusannya. Hal ini sesuai dengan konsep tawakal yang benar, yaitu berserah diri kepada Allah setelah berikhtiar secara maksimal.

Dari Zubair bin ‘Awwam raḍhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakai dua (lapis) baju besi ketika perang Uhud, lalu beliau bangkit hendak naik ke atas batu besar, namun tidak bisa. Lantas beliau memerintahkan Ṭalhah duduk di bawahnya dan beliau naik di atasnya hingga berdiri tegak di atas batu besar tersebut.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menggambarkan dua aspek penting dalam konsep tawakal dalam Islam, yaitu usaha dan berserah diri kepada Allah SwT setelah berikhtiar. Pada Perang Uhud, Nabi Muhammad SAW mengenakan dua lapis baju besi sebagai bentuk ikhtiar untuk melindungi dirinya dalam pertempuran. Meskipun beliau sudah berusaha keras dengan mempersiapkan perlindungan, pada saat yang sama beliau tetap mengandalkan Allah dalam setiap tindakannya.

Ketika Nabi SAW menghadapi kesulitan untuk naik ke atas batu besar, beliau tidak hanya diam atau pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, beliau mencari solusi dengan memerintahkan  Thalhah untuk duduk sebagai tumpuan agar beliau bisa naik dan memimpin pasukan. Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SaW dalam posisi yang sulit, beliau tetap berusaha untuk mengatasi rintangan, dan usaha tersebut merupakan bagian dari tawakal yang sejati.

Dalam suatu hadits, Umar bin Khattab RA mengatakan bahwa Nabi SAW juga mencontohkan bagaimana tawakalnya seekor burung dengan menempuh usaha.

“Seandainya kalian betul-betul bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad.

Allah SwT telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, tetapi rezeki itu tidak akan datang begitu saja tanpa usaha. Sebagaimana burung harus keluar sarang, manusia juga harus berusaha dengan cara yang halal dan penuh semangat.

Hadis ini memberikan pelajaran mendalam tentang hakikat tawakal yang sejati. Tawakal bukan berarti berpangku tangan dan menunggu rezeki datang begitu saja, tetapi usaha yang sungguh-sungguh disertai keyakinan penuh kepada Allah SwT. Burung yang dijadikan perumpamaan dalam hadits ini tidak tinggal diam di sarangnya, melainkan terbang mencari makan sejak pagi hari dan kembali dalam keadaan kenyang.

Dalam Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Al-Utsaimin menegaskan bahwa seseorang yang hanya pasrah tanpa usaha tidak bisa disebut bertawakal. Ia menjelaskan:

"Burung tidak tinggal di sarangnya lalu berkata, ‘Saya bertawakal kepada Allah.’ Tetapi ia terbang, keluar mencari makanan, dan ini adalah bukti nyata bahwa tawakal tidak cukup hanya dengan bersandar kepada Allah tanpa usaha." (Syarh Riyadhus Shalihin, Jilid 1, hlm. 637)

Al-Munawi mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki." (Tuhfatul Ahwadzi bi syarh Jami’ At Tirmidzi, 7/7-8)

Tawakal dan ikhtiar adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam keseharian seorang Muslim.Ikhtiar dalam Islam adalah bentuk nyata dari usaha dan kerja keras yang dilakukan seorang Muslim. Tanpa ikhtiar, tawakal menjadi tidak bermakna. Diantara yang menunjukkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya RA, ia berkata:

“Seseorang berkata kepada Nabi SAW, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah“ (HR.  Ath-Thabrani)

Dan dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan.

“Amr bin Umayah Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah !!, Apakah aku ikat dulu unta (tunggangan)-ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal ? ‘Beliau menjawab, ‘Ikatlah kendaraan untamu lalu bertawakkallah“ .

Tawakal dalam Islam bukan sekedar pasrah tanpa usaha, melainkan bersandar sepenuhnya kepada Allah SwT setelah melakukan ikhtiar yang benar dan sesuai dengan syariat. Jika seseorang mengklaim bertawakal tetapi menempuh jalan yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka hal itu bukanlah tawakal yang hakiki, melainkan bentuk penyimpangan.

Misalnya, seseorang yang ingin memperoleh rezeki tetapi memilih cara-cara haram seperti menipu, mencuri, atau melakukan riba, lalu mengatakan bahwa ia bertawakal kepada Allah, maka ini bertentangan dengan makna tawakal yang sebenarnya. Sebab, Islam mengajarkan bahwa usaha yang dilakukan haruslah halal dan sesuai dengan syariat.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Muhammadiyah Buat Bank Secara Gradual Oleh: Syafrudin Anhar, Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaa....

Suara Muhammadiyah

28 November 2024

Wawasan

Oleh: Bobi Hidayat Pendidikan akan selalu berkembang secara dinamis dari masa ke masa. Perkembangan....

Suara Muhammadiyah

18 October 2023

Wawasan

Tiga Pilar Hidup Berumah Tangga Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok Modern Muhammadiya....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Memilih Kebaikan dan Menjauhi Keburukan Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta Kehidupan dunia....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Wawasan

Oleh: Prof Dr Muhadjir Effendy, MAP Kader Muhammadiyah punya tanggung jawab tidak hanya pada umat, ....

Suara Muhammadiyah

3 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah