Argumentasi Dalam Al-Qur’an tentang Keharusan Beribadah Hanya kepada Allah
Oleh: Rofiq Nurhadi/Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Purworejo
Kajian tafsir Surah al-Baqarah: 21-22
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ٢١ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءًۖ وَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٢
“Hai seluruh manusia, beribadahlah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kamu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan sebagian air dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan air itu buah-buahan sebagai bagian rezeki untuk kamu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22).
Mengapa manusia harus beribadah? Terhadap persoalan ini dapat dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ibadah itu. Ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa dan raga. Penguasaan disini dalam arti penguasaan yang tidak terjangkau, oleh karenanya ketundukan dan kepatuhan pada orang tua tidak bisa disebut ibadah. Jadi syarat tercapainya hakikat ibadah itu adalah; (1) pengabdi mengakui apa yang ada pada dirinya adalah milik Allah (Dzat yang disembah), (2) melaksanakan perintah dan menjahui larangan-Nya, dan (3) mengaitkan apa yang dilaksanakanya itu dengan kehendak Allah (Dzat yang disembah).
Manusia beribadah supaya terhindar dari siksa dan sanksi. Siksa adalah sesuatu yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan. Adapun sanksi adalah hukuman atas pelanggaran. Argumentasi ini dapat dipahami dari ayat 21 surat al-Baqarah yang disampaikan dalam kalimat la’allakum tattaquun (agar kalian menjadi orang yang bertaqwa). La’alla adalah bentuk pengharapan yang terjadi dimasa depan. Harapan disini adalah bagi mitra bicara bukan bagi pembicara (Allah). Karena haparan itu bisa terjadi bisa juga tidak, padahal ketidak pastian itu mustahil bagi Allah. Taqwa adalah terhindar dari segala sesuatu yang menghadirkan siksaan dan sanksi. Maka orang yang bertaqwa adalah orang yang hati-hati. Orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya.
Ibadah itu bukan untuk kepentingan yang diabdi, tetapi untuk kepentingan pengabdi. Yang diabdi itu adalah Rabb, yaitu Pendidik dan Pemelihara. Pendidik dan Pemelihara tidak membutuhkan pengabdian pengabdi. Pengabdilah yang membutuhkan sang Pendidik dan Pemelihara agar diberi didikan dan pemeliharaan. Jiwa yang terdidik dan raga yang terpelihara akan memperoleh keselamatan dan kesejahtetraan. Aspek-aspek kependidikan dan kepemeliharaan yang menghadirkan keselamatan dan kesejahteraan itu banyak sekali, diantarnya adalah pemberian rezeki, kasih sayang dan juga pengampunan. Bagi yang mengimani hari akhirat keselamatan dari siksa dan sanksi yang diharapkan itu tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Kenapa beribadah itu hanya kepada Allah? Ayat 21 dan 22 surat Al-Baqarah ini menjelaskan argumentasinya, yaitu “karena Dia-lah Rabb, yaitu pencipta dan pemelihara yang menciptakan manusia dan menjadikan bumi dan langit beserta segala isinya untuk manusia. Argumentasi ini bisa dipahami dengan pemisalan pada argumentasi anak-anak ketika ditanya oleh gurunya,“ kenapa kamu taat dan patuh pada ibumu?” si anak ini menjawab, “karena ibulah yang melahirkanku, yang mengurusku, memberiku makan, minum, uang jajan dan lain-lain.”
Penciptaan dan pemeliharaan Allah sebagai Rabb ini tidak sama dengan penciptaan dan pemeliharaan manusia. Allah bisa mewujudkan sesuatu melalui bahan yang telah ada sebelumnya maupun belum ada, sedangkan manusia hanya bisa menciptakan sesuatu dari bahan-bahan yang sudah disediakan oleh Allah SWT, misalnya membuat kursi atau almari dari bahan kayu atau besi. Dengan demikian hakekat pencipta segala sesuatu yang dibutuhkan manusia itu adalah Allah SWT, yaitu Rabb-nya manusia. Dalam ayat 22 surat Al-Baqarah ini diilustrasikan kebutuhan yang sangat bermanfaat bagi manusia yang telah disediakan Allah SWT, agar manusia survive hidup di muka bumi.
Pertama, Allah jadikan bumi terhampar. Ini tidak bertentangan dengan hakikat ilmiah bahwa bumi itu bulat. Keterhamparannya tidak bertentangan dengan kebulatannya. Kemanapun manusia melangkahkan kaki mereka akan melihat atau mendapatinya bumi terhampar. Keterhamparan ini menjadikan bumi mudah dan nyaman untuk dihuni oleh manusia, tak ubahnya bagaikan kasur yang terhampar yang siap untuk ditiduri. Apabila Allah mencabut kenikmatan ini niscaya manusia akan mengalami kesulitan hidup.
Kedua, Allah menjadikan langit sebagai atap. Atap selain memiliki fungsi estetis juga menjadi pelindung bagi manusia yang tinggal dibawahnya dari berbagai hal yang membahayakan atau menjadikannya tidak nyaman, misalnya radiasi ultraviolet dan lainnya. Seperti halnya bangunan rumah, ia memiliki atap supaya tanpak indah dan juga melindungi penghuninya dari terik panas matahari, air hujan, debu, kotoran dan bahkan agar tidak terlihat dari atas aib-aib yang selayaknya tertutup. Apabila Allah mencabut kenikmatan ini tentulah manusia akan mengalami kesusahan hidup diatas bumi.
Ketiga, menurunkan hujan. Melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan, Allah menurunkan hujan. Pada gilirannya melalui air hujan itu ditumbuhkan berbagai macam buah-buahan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Tempat-tempat yang tinggipun mendapatkan siraman air sehingga menumbuhkan berbagai macam pepohonan. Kemudian akar pepohonan menghasilkan sumber air dan menjaga kelestarian alam. Bagaimana kalau Allah mencabut kenikmatan ini? Tentu manusia akan mengalami kesulitan hidup.
Akhir ayat menegaskan, “karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22) adalah agar manusia memperoleh kesempurnaan nikmat Allah. Kalau diatas diuraikan berbagai macam nikmat materi, maka ruhanipun memperoleh nikmat ketulusan dan ketenangan jiwa dalam beribadah hanya kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Orang-orang yang mensekutukan Allah (musyrik) tidak lagi mengarah kepada berhala-berhala yang semula mereka sembah jika mereka mengalami kesulitan hidup. Adapun orang-orang kafir baru mau mendekat kepada Allah jika mereka mengalami kesulitan dan segera berpaling dari Allah jika kesulitan sudah teratasi. Orang-orang yang demikian ini jiwanya gelisah terombang-ambing oleh persoalan hidup. Allahu a’lam.