Oleh: Wildan dan Nucholid Umam Kurniawan
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia,
untuk memajukan kesejahteran umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial."
(Alinea keempat Pembukaan UUD 1945)
“Seorang politisi berpikir tentang pemilu berikutnya. Negarawan berpikir generasi berikutnya. A politician thinks of the next election. A stateman of the next generation”, demikian kata James Freeman Clarke (1810 – 1888). Hidup itu pilihan, menjadi hanya sekedar politisi atau menjadi negarawan. Manusia diciptakan Tuhan untuk bebas membuat pilihan (free choice), bebas berkehendak (free will), dan bebas bertindak (free act). Bebas mau beriman atau kafir, mau beramal saleh atau beramal salah. Iman diterjemahkan dengan percaya yang berasal dari kata cahaya. Maka orang yang beriman mukanya bercahaya, memancarkan cahaya perdamaian. Damai dengan Tuhan, damai dengan diri sendiri, damai dengan sesama manusia, damai dengan lingkungan alam.
Oleh karena itu, Pemilu 2024 mendatang, mestinya Pemilu Perdamaian, jika para politisi mengaku dan merasa orang yang beriman. Mereka berlomba-lomba menebar perdamaian, dan siap membangun peradaban guna mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, bukan Indonesia Cemas 2045, apalagi Indonesia Campuran Anxietas dan Depresi 2045.
Siapakah yang pertama kali cemas? Kakek-nenek moyang kita Adam dan Hawa. Mengapa mereka cemas? Karena sadar hidup di dunia ini penuh dengan kesulitan, tantangan dan ujian. Jadi rasa cemas itu berkaitan dengan masa depan. Jika kecemasan menimbulkan kualitas hidup dan produktivitas menurun, itu namanya anxietas (patologik). Sedih juga dialami kakek-nenek moyang kita, karena teringat masa lalu betapa nyaman, sejahteranya ketika hidup di surga. Jadi sedih itu berkaitan dengan masa lalu. Jika kesedihan itu menyebabkan kualitas dan produktivitas hidup menjadi menurun, disebut dengan depresi (patologik).
Manusia memang memiliki kecerdasan (akal budi) yang lebih daripada makhluk lain di muka bumi ini, yang karena kecerdasannya (akal budi) manusia bisa memilih baik-buruk dan benar-salah, yang jika berhasil ia bisa berkedudukan lebih tinggi daripada malaikat. Namun yang sering kurang disadari ialah bahan dasar kejadian manusia lebih rendah daripada bahan dasar setan dan malaikat. Kegagalan mengembangkan kearifan hidup inilah yang menyebabkan manusia berada posisi lebih rendah daripada binatang dan berkedudukan sebagai setan (Mulkhan, 2007).
Menurut Nurcholish Madjid (1998), manusia tidak tahan menderita meski di belakang hari akan ada kebahagiaan yang besar, karena ia diciptakan sebagai makhluk yang lemah (QS An-Nisa [4] : 27). Kelemahan itu ialah kecenderungannya untuk mengambil hal-hal jangka pendek karena daya tariknya, dan lengah terhadap akibat buruk dalam jangka panjang (QS Al-Qiyamah [75] : 20). Karena fitrahnya, manusia adalah makhluk kebenaran dan kebaikan sehingga akan merasa bahagia dengan kebenaran dan kebaikan. Tetapi karena cenderung lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera, maka manusia adalah makhluk yang lemah, yang gampang tergoda dan jatuh ke dalam perbuatan dosa. Sebab semua perbuatan yang dalam agama diistilahkan sebagai dosa itu tidak lain ialah apa saja yang jangka pendek membawa kesenangan, namun dalam jangka panjang membawa kesengsaraan.
Dosa adalah juga sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Karena iktu dosa juga disebut munkar (mufrad) atau munkarat (jamak), artinya sesuatu yang diingkari atau ditolak, yakni diingkari atau ditolak oleh hati nurani. Hati nurani adalah locus kesadaran kesucian manusia karena fitrahnya. Maka ia bersifat terang atau bercahaya (perkataan Arab “nurani” berasal dari perkataan “nur”, artinya “bersifat terang”), karena hati kita yang masih bersih menerangi jalan hidup kita menuju kepada yang benar dan baik. Inilah modal primordial hasil karunia Tuhan untuk menjadi obor atau petunjuk dalam perjalanan hidup kita.
Tetapi karena kelemahannya tadi, maka manusia senantiasa terancam, dan punya potensi untuk menyimpang dari hati nuraninya, disebabkan perbuatan dosa. Jika seseorang banyak berbuat dosa, karena tidak tahan terhadap derita sementara sehingga ia tidak mampu menahan godaan hal-hal jangka pendek yang kemilau dan sepintas menarik hati, maka lama-kelamaan hatinya mengalami kegelapan (zhulm) dan ia sendiri menjadi “manusia gelap” atau zalim (zhalim). Karena itu hatinya tidak lagi bersifat nurani, melainkan telah berubah menjadi zhulmani (artinya, bersifat gelap; sayangnya istilah ini tidak masuk ke dalam kosa kata Indonesia). Dalam keadaan hati yang telah kehilangan sinarnya dan menjadi gelap, orang akan kehilangan kesadaran tentang baik buruk, benar dan salah. Semuanya menjadi sama baginya, sehingga ia terjerebab ke dalam lembah jalan hidup kesesatan.
Oleh karena itu, siapapun manusia yang menggunakan akal budinya sesuai dengan kehendak Tuhan, ia akan dihargai Tuhan maupun sesama manusia. Buktinya? Datanglah ke Makkah Al-Mukarramah. Hijr Isma’il, bangunan berbentuk tapal kuda, dinilai Allah bagian dari rumah-Nya, yang arti harifiahnya adalah pangkuan Isma’il. Di sanalah Isma’il putera Nabi Ibrahim pernah berada dalam pangkuan ibunya Hajar, seorang budak, kulit hitam, .... konon kuburannya di tempat itu (Shihab, 1998).
Seorang budak, miskin, perempuan, kulit hitam, asal dari Ethiopia, Afrika, dimakamkan di halaman rumah Tuhan. Padahal Nabi Ibrahim, Bapak Monoteisme, Tuhan seru sekalian alam, yang dihormati oleh para pemeluk agama Abrahamik, Yahudi, Nasrani, dan Islam dimakamkan di kota Hebron, Palestina, berjarak kira-kira 1.200 km dari Kab’ah seperti makna harfiahnya adalah satu bangunan berbentuk kubus yang terbuat dari batu berwarna biru, terletak ditengah-tangah Masjidil Haram. Itulah lambang “kehadiran Ilahi” yang merupakan rumah peribadatan pertama yang dikenal oleh umat manusia.
Ka’bah yang dikunjungi itu mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Namun budak perempuan kulit hitam ini dikebumikan oleh Allah di sana, atau katakanlah “peninggalannya diabadikan Tuhan”, untuk menjadi pelajaran bagi setiap insan bahwa Allah Swt. menganugerahkan derajat tinggi untuk seseorang, bukan karena keturunan atau status sosialnya, tetapi karena kedekatannya kepada Allah Swt. dan usahanya untuk menjadi hajar (hijrah) dari kejahatan menuju kebaikan, dan dari keterbelakangan menuju peradaban.
Selain daripada itu, Hajar juga dapat “bonus” harkat martabatnya ditambah menjadi ibu seorang nabi, yaitu Nabi Isma’il. Melalui sa’i, diperagakan pengalamannya mencari air untuk puteranya. Jiwanya penuh dengan rahmat dan kasih sayang ketika hilir mudik antara bukit Shafa dan Marwah. Harapkan bantuan Ilahi serta rahmat dan kasih sayangnya kepada seluruh makhluk-Nya.
Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian” dan “ketegaran”. Ini merupakan lambang untuk mencapai hidup, seseorang harus berusaha, dan usahanya harus dimulai dengan kesucian dan ketegaran, dan harus diakhiri di Marwah yang berarti “kepuasan, penghargaan, dan murah hati”.
Adakah makna yang lebih agung berkaitan dengan pengamalan kemanusiaan dalam mencari kehidupan duniawi melebihi makna-makna yang digambarkan di atas ?
Hal-hal yang bersifat kebetulan dalam kacamata manusia. namun sebenarnya merupakan rencana Tuhan, banyak terjadi sepanjang sejarah manusia, seperti peristiwa dibuangnya Nabi Isma’il bersama ibunya Siti Hajar ke Makkah, yang kemudian menemukan sumur Zam-Zam. Sumur itu ternyata dibuat oleh Nabi Adam dan Siti Hawa. Dengan demikian, kejadian tersebut merupakan kejadian yang bersifat kebetulan, namun memiliki arti karena sebenarnya sudah menjadi rencana Tuhan – seperti nilai kesinambungan risalah Ilahi (Madjid, 1998).
Hajar dalam bahasa aslinya Ethiopia, berati kota. Kota adalah simbol peradaban (Syari’ati, 2003). Oleh karena itu, siapapun yang Nyapres maupun Nyaleg setelah pulang dari sono yang “berjuang” dan hanya mengejar harkat “martabak” semata, bercerminlah kepada Hajar ! Siapkah untuk membangun peradaban? Kata Gandhi (1998, dalam Hatsin, 2007), menjadi manusia humanistik atau homo humanus, bukan manusia biadab atau homo barbarus?
Menurut Ikrar Nusa Bhakti (2023) dalam tulisannya yang berjudul “Kuasa Memanggul Lupa”, dalam filosofi Jawa ada nasihat bagi para penguasa yang berbunyi, “Kuoso nggendong lali” (kuasa memanggul lupa). Inti ajaran tersebut adalah “ketika kekuasaan didapat, maka kekuasaan yang dimiliki bisa membuat yang berkuasa menjadi lupa”.
Lupa dalam hal ini bisa lupa asal usul, lupa teman, lupa keluarga, lupa kolega, lupa pada proses awal kekuasaan didapat, lupa pada kegunaan kekuasaan itu untuk apa, lupa pada hakikat kekuasaan bermakna untuk apa. Bisa juga lupa cara berterima kasih. Lupa menempatkan diri dan lupa pada sangkan paraning dumadi (manusia asalnya dari mana dan akan ke mana).
Ajaran filsafat Jawa tersebut masih relevan hingga saat ini karena para penguasa negeri yang bernama Indonesia ini sering lupa bahwa konsepsi Indonesia modern, Indonesia berbentuk republik dan bukan kerajaan.
Pada konsepsi Indonesia baru/ modern, kekuasaan itu terbagi-bagi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi ada check and balances antara eksekutif dan legislatif serta kekuasaan yudikatif yang menjaga tatanan kekuasaan di negeri ini. Persamaan pada dua konsepsi ini (Jawa dan Indonesia Baru) adalah bahwa seorang penguasa haruslah bijaksana dalam membuat keputusan.
Pengambilan keputusan tidaklah atas dasar sabda pandita ratu (ucapan penguasa adalah hukum), tertutup, terbatas, dan atas dasar bisikan-bisikan terhadap penguasa seperti pada konsepsi court-politics dalam sistem di Eropa sebelum masa pencerahan.
Indonesia akan menggelar pemilu tahun depan, yakni pada Februari 2024. Presiden baru jelas akan tampil karena Presiden Joko Widodo telah berkuasa dua periode. Ratusan anggota DPR ikut ditentukan dalam salah satu pemilu terbesar di dunia tersebut.
Para politikus seharusnya menempatkan isu substansial dalam agenda politik mereka, terutama di era media sosial sekarang. Seharusnya gelisah karena kualitas pendidikan buruk yang ditandai pencabulan di sekolah, perundungan, kemampuan literasi rendah, rakyat justru dihasut agar gelisah karena identitas primordial. Narasi primordial memang gampang dijual. Kenyataan saat tantangan utama adalah kualitas udara yang buruk dan layanan kesehatan yang tak memadai, mereka malah tak menyuarakan isu tersebut. Bisa jadi, politikus bersikap demikian karena pemilih memang tidak peduli dengan isu-isu substansial. Mekanisme demokrasi cukup menjadi mainan para elite. Pemilu akhirnya menjelma sebagai pesta dalam arti sebenar-benarnya : hura-hura (Trinugroho, 2023).
Semua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden seharusnya menjadikan tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai visi dan misi yang hendak dilaksanakan ketika terpilih. “yang perlu dilakukan calon adalah bagaimana menurunkan tujuan tersebut ke dalam langkah-langkah menuju cita-cita ideal yang lebih konkret”, ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, Sabtu, 30/9/23, dalam acara Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di Batam, Kepulauan Riau.
Politik Kesehatan dan Membangun Peradaban
Memang, “Kesehatan bukan segala tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, Health is not everything but without it everything is nothing”, demikian kata Schopenhauer.
Kata Kirschner, “Kita korbankan kesehatan untuk mendapatkan kekayaan. Kita berencana, bekerja, dan menumpuk simpanan. Kemudian kita korbankan kekayaan untuk memperoleh kembali kesehatan. Dan sering yang kita dapat hanyalah kuburan. Kita hidup dan bangga atas harta simpanan. Kita mati, dan hanya mendapatkan batu nisan. We squander health in search of wealth. We scheme, and toil and save. Then squander wealth in search of health. And all we get a grave. We live and boast ot what we own. We die, and only get a stone”.
Merujuk pada salah satu tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, yaitu Memajukan Kesejahteraan Umum, bahwa tidak ada kesejahteraan tanpa kesehatan. Sebaliknya, tidak ada kesehatan tanpa kesejahteraan. Kesejahteraan dan kesehatan bagaikan dua sisi dari koin sebuah mata uang. Pelayanan kesehatan merupakan upaya menyejahterakan rakyat Indonesia, maka bersifat sosial bukan industri kesehatan atau komersial.
Oleh sebab itu, politik kesehatan pemerintah RI, membentuk Kementerian Kesehatan sebagai wujud nyata kewajiban negara untuk melayani kebutuhan kesehatan warga negara, baik pelayanan prevensi & promosi kesehatan, pelayanan kurasi, dan pelayanan rehabilitasi. Pelayanan kesehatan bukan komoditas, bukan sebagai sumber pendapatan negara, baik pusat maupun daerah. Tetapi investasi negara kepada rakyatnya. Jika rakyat hidup sehat. maka kualitas hidup dan produktivitas rakyat meningkat. Dengan demikian rakyat dapat memberikan sumbangan kepada negara berupa pembayaran pajak. Jika rakyat sakit dengan adanya BPJS Kesehatan membuat rakyat jadi BPJS Bikin Pasien Jadi Senang, tapi jangan BPJS Bikin Pasien Jadi Susah, dengan Gotong Royong Semua Tertolong, tapi jangan membuat Faskes (Fasilitas Kesehatan) dan Nakes (Tenaga Kesehatan) melolong-lolong ! Bersatu kita teguh, bercerai rujuk lagi.
“Rakyat sehat negara kuat”, demikian kata pepatah. Maka, pejabat bejat rakyat sekarat ! “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”, demikian pesan perintis kemerdekaan WR Supratman, 1928, dalam lirik lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Sayang, bahasa Indonesia kita miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Akibatnya, pasien penderita gangguan jiwa terutama yang menderita gangguan jiwa berat (psikosis) dianggap dan dikatakan sakit rohani. Pasien gangguan jiwa mendapat stigma (cap buruk) dan mengalami diskriminasi!
Padahal sesungguhnya kesehatan itu meliputi, sehat jasmani, sehat nafsani (jiwa atau mental), sehat rohani, dan sehat mujtama’i (sosial). Oleh karena itu pasangan capres & cawapres calon pemimpin Bangsa Indonesia, harusnya sehat jasmani, sehat nafsani, sehat rohani dan sehat mujtama’i. Tidak sekedar dinyatakan sehat jasmani dan sehat rohani semata, padahal yang sebenarnya hanya sehat jasmani dan nafsani belaka.
Adapun yang tidak sehat rohani sebenarnya adalah para koruptor ! Akibat perbuatan para koruptor membuat rakyat menderita dan sengsara, termasuk para pasien yang menderita gangguan jiwa ! “Gangguan jiwa identik dengan penderitaan manusia (human suffering) dan gangguan psikotik merupakan puncak penderitaan manusia”, demikian kata Kusumanto Setyonegoro, Guru Besar Psikiatri FK-UI. Para koruptor menambah penderitaan pasien gangguan jiwa ! Padahal pasien dengan gangguan psikotik tidak dapat membela diri dan memperjuangkan nasibnya. Jadi, para koruptor sebenarnya adalah homo barbarus !
“Kekuasaan itu cenderung korup dan semakin absolut kekuasaanya semakin absolut korupsinya. Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutey”, demikian kata Lord Acton (1834 – 1902). Bung Karno mengatakan, bahwa tantangan yang dihadapi oleh generasi semasa beliau masih hidup lebih mudah dihadapi, karena musuhnya jelas, yaitu penjajah Belanda dan Jepang. Sedangkan tantangan yang dihadapi generasi sesudah beliau lebih sulit, karena musuh yang dihadapi adalah bangsa sendiri, yang melakukan korupsi.
Zaman Orde Baru korupsi tersentralisasi. Zaman reformasi korupsi mengalami desentralisasi, korupsi terjadi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, pusat maupun daerah. Mahfud MD, Menko Polhukam mengatakan, hukum telah menjadi industri. Uang telah menjadi panglima. Hukum tergantung pada kekuatan kapital. Di darat, di laut, dan di udara ada korupsi. Bung Hatta mengatakan, bahwa kurang pandai dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat diperbaiki dengan latihan. Tapi, kurang jujur susah diperbaiki. Kita bangsa Indonesia jadi bangsa yang “aneh”, mengaku taaf beragama nyatanya korupsi merajalela, saleh ritual tapi tidak saleh esensial !
Sehat rohani atau sehat spiritual, kata spiritual dari bahasa Latin spiritus, artinya menyalakan atau membuat terang. Dengan demikian, jika Capres dan Cawapres dinyatakan sehat rohani, maka mereka harusnya adalah “manusia terang” bukan “manusia gelap” yang membuat kegelapan bangsa Indonesia.
Sehat rohani dalam bahasa Persia adalah sehat maknawi. Oleh karena itu, mereka hidupnya mestinya bermakna bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang akan mereka pimpin. Demikian pula harusnya hidupnya bermakna di hadapan Tuhan. Hidup mereka mestinya penuh makna (meaningful) bukan tanpa makna (meaningless), tidak hanya sekedar saleh ritual tetapi juga saleh esensial. Mampu membangun interaksi dengan Tuhan (hablun minallah), dengan diri sendiri (hablun minafsihi), seperti menjaga kesehatan, dengan sesama manusia (hablun minannas), dan dengan lingkungan alam (hablun minal alam).
Masalah polusi udara bukan hal baru. Kondisi masyarakat yang terancam polusi udara sudah lama terjadi. Kesehatan menjadi salah satu aspek yang paling terdampak dari polusi udara. Ancaman kesehatan tersebut terjadi di seluruh siklus kehidupan manusia, mulai dari dalam kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia.
Anak-anak termasuk kelompok rentan terhadap penyakit terkait polusi udara. Polusi udara turut menyebabkan penyakit dan kematian anak. Dampak polusi terhadap kesehatan dalam jangka pendek dapat menyebabkan batuk, nyeri tenggorokan, hidung berair, mata merah, serta sesak napas. Sementara dampak jangka panjang bisa menyebabkan asma, pneumonia, tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronik, serta kanker.
Risiko penyakit tidak menular lain bisa terjadi akibat polusi udara, seperti jantung, stroke, dan gagal ginjal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 25 – 43 persen kematian dari penyakit tidak menular disebabkan oleh polusi udara.
Berbagai intervensi dan kebijakan pemerintah belum menunjukkan hasil pada perbaikan kualitas udara yang dapat memproteksi masyarakat. Kondisi itu membuat masyarakat akhirnya secara mandiri terpaksa melindungi diri dari dampak dari polusi udara. Dengan situasi seperti sekarang ini, pengendalian polusi harus radikal yang dilakukan secepat mungkin dan serempak supaya segera ada perubahan karena masyarakat tidak pernah berhenti bernapas. Dampak polusi udara terhadap kesehatan berpengaruh signifikan pada biaya sosial dan ekonomi. Hal tersebut termasuk biaya perawatan serta biaya terkait hilangnya produktivitas akibat penyakit yang diderita.
Upaya pengendalian polusi udara perlu dilakukan secara lebih serius dan berkelanjutan. Produktivitas masyarakat yang hilang akibat dampak polusi udara tidak akan ternilai dalam misi pembangunan bangsa.
Drama Politik Usman Ibn Affan dan Drama Politik Anwar Usman
Kata Bung Karno, “Janganlah sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah)”. Menurut Haekal (dalam Audah, 2000), di antara para sahabat Nabi , jelas Umar yang paling banyak dibicarakan, dikutip dan dibahas orang. Allah telah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar (hadis Syarif). Keikhlasan Umar dan integritasnya mengabdi kepada Islam dan kepada umat, pribadinya yang sering disebut-sebut sebagai teladan karena ketegasannya, keadilannya yang benar-benar tanpa pilih bulu dan sikapnya yang sangat anti kolusi dan nepotisme. Semua itu dibuktikan dalam perbuatan. Salah seorang anaknya sendiri, karena melakukan suatu pelanggaran dijatuhi hukuman cambuk dan dipenjarakan, yang akhirnya mati dalam penjara. Menjelang kematiannya Umar menolak usul beberapa sahabat untuk mendudukkan anaknya yang seorang lagi, atau anggota keluarganya untuk dicalonkan duduk dalam majelis syura yang dibentuknya, yang berarti memungkinkan mereka menduduki jabatan khalifah penggantinya. Dimintanya jangan ada dari keluarga dan kerabatnya dicalonkan untuk jabatan itu.
Umar tidak ingin mengangkat pejabat yang tidak mengenal amanat, tetapi karena hanya ambisinya ingin menduduki jabatan itu. Dia juga yang memelopori setiap pejabat yang diangkat terlebih dahulu harus diperiksa kekayaan pribadinya, begitu juga sesudah selesai tugasnya.
Betapa keras keadilan dan disiplin yang dipegangnya, terutama dalam disiplin militer, yang juga telah mengagumkan tokoh-tokoh dunia. Bagaimana disiplin itu terjaga begitu kuat, sehingga seolah-olah tak masuk akal. Sekedar contoh, Khalid bin Walid – jenderal jenius yang sangat menentukan pembebasan Irak, Syam dan sekitarnya dan dengan gemilang telah mengusir Heraklius Kaisar Romawi kembali ke negerinya – mendapat sanksi berat dan diturunkan pangkatnya karena dianggap telah melanggar disiplin militer, malah pernah dibelenggu karena dianggap melanggar hukum yang berlaku.
Tidak heran, begitu perasaan para pemikir dan orang-orang terkemuka. Apalagi kaum duafa dan orang-orang miskin, mereka lebih merasakan lagi, karena musibah itu telah menimpa mereka juga. Ketika Madinah ditimpa kelaparan, ia juga ikut menderita, makan seadanya, sehingga mukanya yang berisi dan putih bersih, tampak cekung dan hitam. Bagi mereka Umar adalah ayah dan saudara, dan dia menjadi benteng mereka, menjadi tempat perlindungan mereka yang dapat dipercaya.
Menurut Harun Nasution (2001), Usman Ibn Affan, khalifah ketiga sesudah Umar, pada masa pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, khalifah yang dikenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.
“What is in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet, Apalah artinya sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar ia tetap akan berbau wangi”, demikian ungkapan sastrawan Inggris yang terkenal, William Shakespeare. Bagi umat Islam nama adalah permohonan. Pemberian nama kepada anak agar ia dikenal dan untuk memuliakannya. Akankah sejarah kembali berulang? Kisah khalifah Usman Ibn Affan dengan “khalifah” Anwar Usman, Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) ?
Budiman Tanuredjo (2023) dalam tulisannya berjudul, Pesan Peringatan “Muazin” Bangsa, kini ada pertarungan antara kaum moralis yang selalu mengedepankan nilai, moral, konstitusi, penegakan hukum, dan politik kekuasaan. Perjuangan politik moral dengan politik kekuasaan seakan tidak bertemu. Kaum moralis menjaga kekuasaan bekerja berdasarkan konstitusi, berdasarkan hukum, berdasarkan kepatutan, kepantasan, dan etika ke-Indonesiaan. Sementara politik kekuasaan berdasarkan pada hasrat berkuasa selama-lamanya. Kekuasaan untuk kekuasaan. Dan segala cara akan dipakai untuk mempertahankan kekuasaan sepanjang dia bisa, sebagaimana pernah didalilkan Machiavelli, filsuf dari abad ke-15.
Panggung politik Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Suasana kebangsaan terasa masygul, tintrim. Tintrim ungkapan dalam bahasa Jawa penuh nuansa, seperti kumpulan perasaan jengkel, marah, tak habis pikir, ada harapan, ada kekecewaan, ada optimisme. Namun lebih banyak pesimisme.
Di MK hampir semua hakim konstitusi dilaporkan telah melanggar etik. Mereka akan “diadili” dalam persidangan etika oleh Majelis Kehormatan MK. Yang paling parah memang keterlibatan Ketua MK Anwar Usman saat mengadili norma yang bakal menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka. Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Joko Widodo. Ia seharusnya mundur saat mengadili perkara yang terkait dengan keponakannya. Namun Anwar Usman membantah telah melanggar etik.
Ada sinyal kuat praktik KKN dilawan dalam gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998, sudah berada di depan mata. Melalui instrumen demokrasi konstitusional, sejenis autocratic legalism atau akal-akalan demokrasi, kehendak politik bisa dilakukan. Praktik penegakan hukum pada era Orde Baru, yakni rule of law, seperti mengarah kembali menjadi rule by law.
Marcus Aurelius hidup di abad ke-2 Masehi adalah filsuf menjadi kaisar. Pada saat fajar merekah, dengan lega ia menyaksikan keberhasilan jenderalnya, Maximus, mengalahkan kaum Barbar di Germania. Namun, bukannya senang, ia malah bertanya kepada Maximus tentang perlu-tidaknya peperangan tadi dilakukan : “Saat orang merasa bahwa akhir hidupnya telah dekat, ia mulai bertanya-tanya apakah hidupnya memiliki tujuan ... Apakah aku akan dikenang sebagai filsuf, prajurit, atau tiran?” (Wibowo, 2023).
Akhirnya, kata pepatah, “Gajah mati meninggal gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama”.
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul, Dosen FK-UAD