Bahaya Perangai “Feodal” dalam Tubuh Persyarikatan
Oleh: Revvina Agustianti Subroto, Ketua Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Brebes
Persyarikatan Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern terbesar di Indonesia yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sekitar 112 tahun yang lalu di Yogyakarta. Besarnya Persyarikatan Muhammadiyah tidak lepas dari budaya yang dibangun dan diwariskan oleh pendiri dan para penerusnya sebagai organisasi pelopor modernisasi, inklusivitas, gerakan tajdid (pembaharuan) dalam dunia keislaman, serta organisasi yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarian dan demokratis. Budaya baik tersebut pun turun dan menyebar ke tubuh organisasi otonom (ortom) persyarikatan, seperti Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan lainnya, yang tidak hanya menjadi spirit dalam kehidupan berorganisasi, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan umat dan bangsa.
Namun demikian, di balik semangat tajdid yang terus berkembang pesat, terdapat suatu tantangan serius dan berpotensi merusak ruh kolektivitas dalam tubuh persyarikatan, yakni perangai “feodal”, terlebih jika perangai tersebut menimpa pimpinan persyarikatan ataupun ortomnya.
Perangai Feodal: Antitesis Pembaruan
Feodalisme sering diasosiasikan dengan praktik yang melanggengkan hierarki tanpa dasar meritokrasi, memuja figur pemimpin secara berlebihan, serta menghambat dinamika organisasi yang sehat. Dalam konteks Persyarikatan, jika perangai ini berkembang, ia dapat mengganggu nilai-nilai dasar persyarikatan yang menjunjung musyawarah, egalitarianisme, dan keberanian berpikir progresif. Hierarki dalam Muhammadiyah seharusnya menjadi alat untuk melayani umat, bukan sarana untuk unjuk kekuasaan sehingga dapat bertindak sewenang-wenang.
Perangai feodalisme akan menjadi momok yang serius di tubuh persyarikatan jika tidak ditangani dan disadari secara kolektif. Hal ini dapat berimplikasi pada stagnasi pemikiran, ketimpangan dalam pengambilan keputusan, dan reduksi semangat kolektif. Feodalisme sering kali menghambat kritik konstruktif. Ketika sebuah organisasi terlalu berfokus pada figur sentral atau “orang tua” dalam struktur, ide-ide baru dari generasi muda sering kali terpinggirkan. Hal ini bertentangan dengan semangat Muhammadiyah sebagai pelopor pembaruan Islam yang inovatif dan adaptif. Selain itu, jika keputusan organisasi lebih didasarkan pada kedekatan personal daripada kapasitas atau kompetensi, hasilnya adalah ketimpangan dalam distribusi peran strategis. Hal ini dapat menciptakan ketidakpuasan di kalangan kader dan melemahkan soliditas internal. Feodalisme juga mengikis semangat gotong royong dan kerja sama kolektif. Ketika loyalitas kepada individu mengalahkan komitmen terhadap tujuan bersama, Muhammadiyah berisiko kehilangan kekuatannya sebagai organisasi yang mengakar pada nilai keumatan.
Sebagai organisasi Islam modern, “egalitarian” menjadi salah satu kultur dalam mengembangkan spirit tajdid persyarikatan tanpa mengabaikan pentingnya menjunjung tinggi akhlaqul karimah. Egalitarian sendiri merupakan sebuah pandangan atau prinsip yang menekankan persamaan derajat, hak, dan kewajiban di antara semua orang tanpa memandang status sosial, ekonomi, gender, atau latar belakang lainnya. Dalam konteks persyarikatan, prinsip ini tercermin pada struktur organisasi yang demokratis, di mana keputusan diambil melalui musyawarah mufakat; kepemimpinan yang selalu mengedepankan semangat kolektivitas dan menghindari sikap otoritarianisme; kaderisasi yang inklusif, memungkinkan siapa pun yang berkompeten untuk berkontribusi tanpa melihat latar belakang sosial atau ekonomi; serta pemberdayaan umat, dengan memberikan akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
Melawan Perangai Feodal
Untuk mencegah infiltrasi perangai feodal, Persyarikatan perlu menguatkan nilai-nilai organisasi yang telah menjadi pilar perjuangannya. Kaderisasi yang berbasis meritokrasi harus terus dikembangkan untuk memastikan bahwa setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuan mereka. Proses pengambilan keputusan di semua tingkatan harus transparan dan berbasis musyawarah mufakat, bukan keputusan sepihak dari elite tertentu. Selain itu, Persyarikatan perlu memberikan ruang yang lebih luas bagi generasi muda untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan, mengingat generasi muda adalah ujung tombak keberlanjutan organisasi.
Sebagai organisasi yang memiliki peran strategis dalam membangun umat dan bangsa, Muhammadiyah harus waspada terhadap perangai feodal yang berpotensi merusak fondasi nilai-nilainya. Menjaga spirit egalitarianisme, meritokrasi, dan keterbukaan adalah di antara kunci agar Muhammadiyah tetap relevan dan mampu menghadapi tantangan zaman. Feodalisme bukan hanya ancaman bagi organisasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap misi suci Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang progresif.