Belajar Memaknai Hidup Cukup dari Adat Baduy

Publish

27 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
133
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Muchamad Arifin, Mahasiswa S3 Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang

Bagi masyarakat adat Baduy, cukup bukan sekadar kata, melainkan hukum hidup yang dijaga dengan kesadaran penuh. Ia hidup dalam pikukuh adat—aturan luhur yang tidak tertulis namun mengikat kuat—menjadi penuntun cara mereka berpikir, bertindak, dan memaknai kehidupan. Di Tanah Baduy, hidup cukup adalah bentuk ketaatan pada keseimbangan semesta, sebuah kesadaran bahwa hidup tidak dijalani untuk menumpuk, melainkan untuk menjaga.

Orang Baduy tidak diajarkan untuk mengejar lebih, tetapi untuk menahan diri agar tidak berlebih. Apa yang diambil dari alam harus secukupnya, apa yang dimiliki dijaga agar tidak melampaui batas. Dalam pandangan adat, lebih sering kali bukan berkah, melainkan awal dari rusaknya harmoni. Karena itu, hidup cukup dipahami sebagai jalan keselamatan—bagi diri, komunitas, dan alam—sekaligus bentuk tanggung jawab moral kepada kehidupan itu sendiri.

Mengucapkan kata cukup adalah perkara mudah. Namun menjalaninya sebagai laku hidup membutuhkan keteguhan batin. Dalam adat Baduy, rasa cukup diwariskan dari generasi ke generasi, hadir dalam rumah yang sederhana, pakaian yang apa adanya, dan ritme hidup yang pelan namun pasti. Tidak ada perlombaan untuk menjadi paling kaya atau paling menonjol. Yang dijaga adalah ketentraman bersama dan keselarasan dalam hidup.

Saya tidak memotret kehidupan Baduy dari kejauhan. Saya tinggal sejenak bersama para tokoh adat Baduy dalam rangka turun lapangan untuk kepentingan penelitian disertasi. Dalam kebersamaan itulah saya belajar bahwa filosofi hidup cukup bukan sekadar nilai budaya, tetapi sistem pengetahuan yang hidup dan dipraktikkan secara konsisten. Kesederhanaan mereka bukan keterpaksaan, melainkan pilihan sadar yang dijaga dengan penuh keyakinan.

Saya menyaksikan bagaimana masyarakat Baduy tidak pernah merasa kekurangan, meski hidup dalam keterbatasan materi. Standar kecukupan mereka tidak diukur dari banyaknya kepemilikan, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan dasar yang selaras dengan adat dan nurani. Hidup terasa utuh karena tidak dibebani oleh keinginan yang melampaui batas, tidak digerakkan oleh hasrat untuk terus menambah.

Dalam pandangan adat Baduy, manusia bukan penguasa alam, melainkan bagian darinya. Maka hidup cukup menjadi bentuk penghormatan—kepada alam yang memberi, kepada leluhur yang mewariskan nilai, dan kepada generasi yang akan datang. Mengambil lebih dari yang dibutuhkan dipahami sebagai pelanggaran terhadap keseimbangan hidup yang telah dijaga turun-temurun.

Hidup cukup juga mengajarkan manusia untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Ketika kebutuhan dibatasi, hati menjadi ringan. Tidak ada kegelisahan untuk mengejar apa yang belum dimiliki, tidak ada iri terhadap milik orang lain. Dalam batas itulah, manusia belajar menerima hidup apa adanya, menemukan ketenangan dalam kesederhanaan.

Di Baduy, waktu tidak dikejar, tetapi dijalani. Mereka tidak terburu-buru menumpuk hasil, karena yang dijaga bukan kecepatan, melainkan keberlanjutan. Dari sana saya belajar bahwa hidup yang terlalu cepat sering kehilangan makna, sementara hidup yang cukup justru menemukan kedalaman dalam setiap langkah.

Filosofi hidup cukup membentuk hubungan sosial yang sehat. Ketika manusia tidak sibuk mengejar lebih, ia memiliki ruang untuk peduli. Gotong royong tumbuh bukan sebagai slogan, melainkan sebagai kebutuhan bersama. Dalam kecukupan, tidak ada dominasi; yang ada adalah kebersamaan dan saling menjaga.

Di tengah dunia modern yang dipenuhi kompetisi dan hasrat tak berujung, adat Baduy hadir sebagai cermin sunyi. Ia mengingatkan bahwa tidak semua kemajuan harus diukur dengan pertumbuhan materi. Ada kemajuan batin yang lahir dari kesanggupan untuk berhenti, membatasi, dan mensyukuri.

Akhirnya, hidup cukup adalah pelajaran tentang kebebasan. Bebas dari ketergantungan pada berlebih, bebas dari tekanan untuk selalu tampil, dan bebas dari rasa kurang yang tak pernah selesai. Dari Tanah Baduy, kita diajak untuk merenung: barangkali bukan hidup kita yang kurang, melainkan hati kita yang belum belajar merasa cukup.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Karakteristik Ayat-ayat Puasa (2) Membangun Semangat Menaklukkan Tantangan Berat Ust. Rifqi Rosyidi....

Suara Muhammadiyah

23 March 2024

Wawasan

Sangkan Paran Dumadi  Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Salah satu sifat manusia....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia Alhamdulill....

Suara Muhammadiyah

4 January 2024

Wawasan

Mobil BMW, Sepeda Butut, dan Motor Tua AR Fahruddin Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah, A....

Suara Muhammadiyah

1 December 2025

Wawasan

Religius tapi Berperangai Jahat Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas....

Suara Muhammadiyah

19 July 2024