Oleh: Dr Waluyo, Lc., MA, Wakil Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mengajukan satu pertanyaan yang mengguncang kesadaran iman dalam Surah Al-Ḥadīd ayat 16: “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk khusyuk hati mereka dalam mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah diturunkan?” Pertanyaan ini bukan sekadar teguran, melainkan cermin bagi perjalanan spiritual umat beriman sepanjang zaman.
Ibnu Mas‘ūd raḍiyallāhu ‘anhu menuturkan bahwa jarak antara keislaman para sahabat dengan turunnya ayat ini hanyalah sekitar empat tahun. Artinya, generasi terbaik umat Islam—yang iman mereka masih segar dan hidup berdampingan langsung dengan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam—pun tidak dibiarkan merasa aman dari kemungkinan kelalaian. Mereka ditegur agar iman tidak membeku, agar kedekatan dengan wahyu tidak melahirkan rasa puas diri, dan agar perjalanan waktu tidak mengeras-kan hati.
Jika para sahabat saja diperingatkan demikian keras, maka refleksi itu menjadi jauh lebih relevan bagi kita hari ini. Jarak historis kita dengan masa kenabian bukan lagi empat tahun, tetapi lebih dari empat belas abad. Jarak panjang ini, jika tidak diiringi kesadaran spiritual yang serius, berpotensi melahirkan penyakit besar yang disebut Al-Qur’an sebagai qaswatul-qulūb—kerasnya hati.
Kerasnya hati tidak selalu tampak dalam bentuk penolakan terang-terangan terhadap agama. Ia sering hadir dalam wujud yang lebih halus: azan yang tak lagi menggugah, masjid yang kehilangan daya tarik, dan Al-Qur’an yang terasa jauh dari realitas hidup. Fenomena ini makin terasa di era teknologi, ketika arus hiburan, informasi, dan gaya hidup mengalir tanpa batas. Pertanyaan sederhana pun muncul dengan getir: siapa yang mendominasi masjid hari ini? Di mana generasi muda kita berada?
Realitas masjid yang didominasi jamaah berusia di atas empat puluh tahun sejatinya bukan semata persoalan usia, melainkan sinyal peradaban. Secara fitrah, mereka yang telah memasuki usia senja memang mulai memikirkan akhirat. Namun anak-anak dan generasi muda masih memiliki perjalanan hidup yang panjang. Jika sejak hari ini mereka jauh dari masjid, maka itu adalah alarm serius tentang masa depan umat.
Islam tidak membiarkan persoalan ini tanpa arah solusi. Dalam kerangka peradaban Islam, setidaknya ada tiga pilar utama yang harus dibangun secara simultan.
Pilar pertama adalah membangun keluarga sakinah. Keluarga bukan sekadar unit domestik, tetapi sekolah peradaban pertama. Keluarga sakinah tidak cukup diukur dari kehadiran orang tua di masjid, melainkan keterlibatan seluruh anggota keluarga—ayah, ibu, dan anak-anak—dalam kehidupan keimanan. Ukuran keberhasilannya sederhana namun mendalam: ketika masjid dipenuhi oleh lintas generasi, ketika anak muda dan orang tua berdiri sejajar dalam saf yang sama.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menegaskan dalam Surah Ar-Rūm ayat 21 bahwa mawaddah dan raḥmah adalah fondasi rumah tangga. Kasih sayang tidak lahir dari kekerasan, konflik, dan rapuhnya keteladanan. Islam bahkan memandang keluarga dalam tiga dimensi kehidupan sekaligus: dunia, alam kubur, dan akhirat. Di akhirat, salah satu kenikmatan terbesar bukan hanya memandang wajah Allah dan berkumpul dengan para nabi, tetapi juga dikumpulkan kembali dengan keluarga dalam keadaan selamat. Inilah makna kesalehan lintas generasi.
Pilar kedua adalah memakmurkan masjid. Al-Qur’an secara tegas menyebut masjid sebagai satu-satunya bangunan yang diperintahkan untuk dimakmurkan. Kemunduran peradaban Islam salah satunya terjadi ketika masjid direduksi sebatas ruang ritual, bukan pusat pembinaan manusia. Taman Pendidikan Al-Qur’an yang mati, madrasah diniyah yang lesu, serta guru-guru agama yang tidak dihargai adalah gejala dari problem struktural ini.
Masjid seharusnya dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Guru TPQ perlu digaji secara layak, mubalig harus dihormati dan disejahterakan, dan masjid mesti ramah terhadap generasi muda. Di tengah gempuran gawai dan dunia digital, hanya masjid yang mampu menjadi ruang alternatif pembinaan iman, literasi, dan karakter anak-anak kita.
Pilar ketiga adalah memperkuat ekonomi jamaah dan ekosistem ekonomi Islam. Keluarga sakinah dan masjid yang makmur tidak akan berdiri kokoh jika umat berada dalam kondisi ekonomi yang rapuh. Di sinilah wakaf tampil sebagai instrumen strategis peradaban. Wakaf mengajarkan prinsip menahan pokok harta dan mengalirkan manfaatnya secara berkelanjutan. Jika wakaf—termasuk wakaf tunai—dikelola secara kolektif dan profesional, bahkan dari nominal kecil, dampaknya akan sangat besar bagi pendidikan, dakwah, dan kemandirian umat.
Sesungguhnya kemunduran umat Islam bukan karena ketiadaan solusi dalam ajaran Islam, melainkan karena kita meninggalkan sunnah-sunnah besar dalam membangun peradaban. Jalan keluar telah tersedia; yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulai dan konsistensi untuk menapakinya.
Dari masjid, dari keluarga, dan dari penguatan ekonomi jamaah, peradaban Islam dapat kembali bertunas. Pertanyaannya tinggal satu: belum tibakah waktunya bagi kita untuk memulai?

