Budaya versus Agama
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya ingin membicarakan tentang budaya versus Islam atau agama. Sebetulnya topik ini sangat beragam mengingat realitas kaum Muslimin di seluruh dunia. Bahkan kaum Muslimin baru saat mereka masuk Islam pula berhadapan dengan masalah ini, "Apakah Islam bakal merangkul budayaku?" Maka pertanyaannya apakah Islam mengadopsi budaya lain alias adakah ruang budaya lain dalam Islam?
Ada sebuah konsep yang dibahas oleh para ulama dengan menggunakan kata ‘urf, yang secara harfiah berarti adat. Al-Qur`an di beberapa tempat berbicara tentang melakukan sesuatu bil ma'ruf, dan ma'ruf dalam bahasa Arab terkait dengan kata ‘urf, yang berarti adat. Jadi, ma'ruf bisa berarti, di satu sisi, kebaikan, yang tidak terkait dengan adat di sini, atau bisa juga berarti adat, yang justru intinya. Penggunaan istilah ini dalam Al-Qur`an agaknya menegaskankan bahwa banyak hal yang perlu diperbuat, tidak hanya terkait kebaikan tetapi juga sesuai dengan adat istiadat.
Adat istiadat yang hadir dalam suatu komunitas lazimnya tegak lewat akumulasi kearifan kolektif yang tumbuh dari generasi ke generasi. Kearifan ini lahir sebagai pengalaman hidup masyarakat dalam menghadapi pelbagai tantangan dan situasi yang khas di tempat mereka. Namun, perlu dicermati bahwa kearifan kolektif ini tidak bersifat universal, karena setiap tempat mempunyai perbedaan ciri khas dan dinamika sosial.
Kearifan kolektif yang telah hidup dalam komunitas tersebut merupakan dasar bagi praktik-praktik yang dianggap paling efektif dan bermanfaat dalam menyikapi tantangan keseharian. Ketika Islam muncul, ia tidak serta merta membuang atau menggantikan kearifan lokal tersebut, melainkan menyerap dan menyempurnakannya. Islam mengadopsi nilai-nilai positif sebelumnya dalam budaya masyarakat, memperbaiki hal-hal yang tidak senada dengan ajaran Islam, dan menyempurnakannya dengan nilai-nilai universal yang dibawa oleh agama.
Namun, ada pemikiran yang menandaskan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengangkut tata cara hidup yang sempurna melalui Islam, sehingga Islam meliputi segenap aspek kehidupan manusia. Pandangan ini bisa melahirkan pertanyaan, apakah kita harus menghapus sebagian budaya kita karena Islam telah menyuguhkan panduan yang lengkap dalam segala hal, termasuk budaya?
Pada hakikatnya, hanya sebagian kecil dari budaya yang mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Perlu diingat bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah agama yang anti budaya. Sebaliknya, Islam justru mengadopsi banyak aspek budaya yang sudah ada pada masa itu, termasuk dalam hal ibadah. Beberapa praktik budaya tersebut bahkan diintegrasikan ke dalam ajaran Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama.
Sebagai contoh, pelaksanaan ibadah haji pada awalnya perlu mengalami beberapa penyesuaian. Pada masa sebelum Islam, terdapat berhala-berhala yang ditempatkan di Ka'bah, padahal bangunan suci tersebut didirikan oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Keberadaan berhala-berhala tersebut jelas bertentangan dengan tujuan awal pembangunan Ka'bah dan prinsip tauhid dalam Islam yang menolak segala bentuk penyembahan selain kepada Allah SWT. Oleh karena itu, berhala-berhala tersebut dihancurkan, namun Ka'bah tetap dipertahankan sebagai tempat ibadah dan menjadi salah satu pusat utama dalam ajaran Islam hingga saat ini.
Jadi, apakah kita bisa mengatakan bahwa kita dapat memasukkan unsur-unsur budaya ke dalam praktik keagamaan selama sesuai dengan prinsip-prinsip syariah? Ya, pada dasarnya, Islam tidak menolak hal-hal baik yang sudah ada dalam suatu budaya. Islam justru memberikan pengakuan dan penguatan terhadap nilai-nilai positif yang telah berkembang dalam masyarakat, seperti kebiasaan makan, tidur, berpakaian, dan berinteraksi sosial yang baik. Hal ini sejalan dengan fitrah manusia yang diciptakan Tuhan dengan kecenderungan alami untuk berbuat baik dan mengembangkan hal-hal yang bermanfaat.
Kitab suci yang diturunkan kepada seorang nabi berfungsi untuk memperkuat dan menyempurnakan nilai-nilai kebaikan yang sudah ada dalam masyarakat, bukan untuk menghapusnya sepenuhnya. Wahyu tidak datang untuk mengajarkan segala hal dari nol, seolah-olah manusia tidak memiliki pengetahuan atau nilai-nilai sebelumnya. Sebaliknya, wahyu justru mengukuhkan praktik-praktik budaya yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip agama, seperti yang tercatat dalam Tafsir Ibnu Katsir, yang menyebutkan bahwa banyak aspek budaya pada masa Nabi Muhammad SAW tetap menjadi bagian dari Islam, kecuali jika terdapat dalil yang secara khusus melarangnya.
Praktik-praktik yang sudah ada dalam masyarakat Arab pada masa awal Islam, seperti tradisi sosial, adat istiadat, dan kebiasaan sehari-hari, tetap menjadi bagian dari kehidupan umat Islam, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menghapuskan seluruh budaya yang sudah ada, melainkan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Islam, sehingga membentuk identitas Islam yang kaya dan beragam.
Lantas, bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap ketika berhadapan dengan budaya yang berbeda? Apakah cukup dengan melihat apakah suatu praktik budaya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, lalu kita bisa menerimanya begitu saja? Mari kita ambil contoh Muslim yang tinggal di Kanada. Bagaimana mereka menyikapi budaya Kanada yang berbeda dengan budaya asal mereka?
Sebagai contoh, ketika Muslim bermigrasi ke Kanada, mereka akan mengamati dan mempelajari budaya setempat. Mereka akan melihat bahwa masyarakat Kanada telah mencapai tingkat peradaban yang maju. Namun, ada beberapa aspek budaya yang mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, umat Islam akan menghindari praktik-praktik tersebut, sementara aspek budaya lainnya yang tidak bertentangan dengan Islam akan diterima sebagai bagian dari kehidupan mereka di Kanada. Pada dasarnya, budaya lokal dianggap Islami selama tidak ada dalil yang secara jelas melarangnya.