Bukan Gagal Prinsip, Tapi Gagal Interpretasi: Menyelami Keadilan Perempuan dalam Al-Qur'an dan Dinamika Fikih (Bagian 1)

Publish

22 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
65
Sumber foto : pinterest

Sumber foto : pinterest

Bukan Gagal Prinsip, Tapi Gagal Interpretasi: Menyelami Keadilan Perempuan dalam Al-Qur'an dan Dinamika Fikih (Bagian 1)

Oleh:Donny Syofyan,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 

Pertanyaan yang sering muncul adalah: "Benarkah hukum Islam terlihat tidak adil bagi perempuan?" Mari kita selami dasar-dasar hukumnya untuk memahami mengapa pandangan ini muncul. Hukum Islam—dikenal sebagai Syariah—berakar pada empat sumber otoritatif yang telah ditetapkan oleh para ulama klasik. Mengenali sumber-sumber ini sangat penting sebelum menilai penerapannya. 

Pertama, Al-Qur'an (Firman Tuhan). Ini adalah sumber utama dan tak terbantahkan. Al-Qur'an adalah wahyu murni dari Allah SWT, yang menjadi fondasi dan rujukan pertama untuk semua penetapan hukum. Kedua, Sunnah (Teladan Nabi Muhammad). Ini mencakup tindakan, ucapan, dan persetujuan Nabi Muhammad ṣallallāhu 'alayhi wasallam (saw), yang direkam dalam sīrah (biografi) dan Hadis (kumpulan riwayat). Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap praktis atas ajaran Al-Qur'an. Ketiga, Ijmā' (Konsensus Ulama). Secara otoritas, ini sering ditempatkan lebih tinggi daripada penilaian ulama individu. Ijmā' adalah kesepakatan kolektif para ulama Muslim terkemuka mengenai suatu masalah hukum. Keempat, Qiyās atau Ijtihād (Penalaran dan Upaya Hukum). Ini adalah upaya penalaran atau analogi hukum (qiyās) yang dilakukan oleh ulama (ijtihād) untuk menurunkan hukum baru atau menemukan penerapan yang relevan dari hukum yang sudah ada untuk situasi kontemporer yang terus berubah.

Dengan memahami kerangka kerja sumber-sumber ini, kita dapat melangkah ke inti permasalahan: hak-hak perempuan. Untuk menilai keadilan hukum dalam Al-Qur'an, kita harus meletakkannya dalam konteks sejarah, sosial, dan politik saat wahyu diturunkan.

Ketika Al-Qur'an pertama kali diwahyukan sekitar 1.400 tahun yang lalu di Arab, orang yang melihat ketentuannya mungkin langsung menyimpulkan, "Ini terlihat tidak adil bagi perempuan." Namun, penilaian tersebut harus didahului dengan melihat kondisi masyarakat sebelum Islam dan membandingkannya dengan arah baru yang revolusioner yang dibawa oleh Al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an sering kali memberikan peningkatan hak yang signifikan, bukan mempertahankan status quo.

Penting untuk dipahami bahwa Al-Qur'an tidak hanya memberikan hak; ia meluncurkan revolusi sosial yang mengejutkan pada masanya. Secara mendasar, Al-Qur'an menyatakan perempuan sebagai mitra setara dengan laki-laki dalam masyarakat.

Gagasan ini menantang narasi yang ada di mana perempuan seolah-olah hanya "pikiran kedua" dalam penciptaan. Berbeda dengan pandangan tertentu yang menyiratkan bahwa perempuan diciptakan hanya sebagai pelengkap bagi kebahagiaan Adam—hanya seorang 'penolong' alih-alih individu yang memiliki kedudukan sendiri—Al-Qur'an menegaskan kemanusiaan yang utuh dan setara.

Al-Qur'an juga secara tegas menghapus mitos historis tentang kesalahan Hawa. Dalam kisah penciptaan, pandangan lain sering menimpakan kesalahan utama kejatuhan manusia di Taman Eden pada perempuan, yang konon mendekati suaminya, lalu sang suami menyalahkan perempuan yang diberikan Tuhan. Namun, Al-Qur'an menawarkan pembaruan teologis yang radikal. Setan membisikkan godaan kepada Adam dan istrinya secara bersamaan. Keduanya bertanggung jawab atas tergelincirnya mereka dari keadaan bahagia. Bahkan, di satu titik (Surah Thaha: 121), Al-Qur'an dengan jelas menimpakan kesalahan langsung pada Adam (Fa ‘ashâ Âdamu Rabbahū fa ghawá - "Dan Adam mendurhakai Tuhannya, maka sesatlah dia").

Secara ringkas, Al-Qur'an tidak sekadar memperbaiki kondisi yang ada, tetapi menciptakan arah baru. Perempuan dibebaskan dari beban kesalahan teologis abadi. Laki-laki didorong untuk memikul tanggung jawabnya sendiri. Di hadapan Tuhan, tanggung jawab dan martabat kita semua setara.

Meskipun dalam tatanan masyarakat masa lalu perempuan belum memegang peran otoritas yang sentral dalam keluarga—dengan kekuasaan formal sering berada di tangan laki-laki—Al-Qur'an secara radikal mengubah fokus dari otoritas menjadi penghargaan dan kebaikan.

Al-Qur'an menekankan kewajiban fundamental suami: perlakuan Baik: "Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik," (wa 'āshirūhunna bil-ma'rūf, Surah An-Nisa ayat 19) dan saling melengkapi: Al-Qur'an menggunakan metafora yang indah untuk mendefinisikan hubungan suami-istri: "Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka," (Hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunn, Surah Al-Baqarah ayat 187). Pakaian menunjukkan kemuliaan, perlindungan, dan kesalinglengkapan.

Hubungan pernikahan ditegaskan sebagai komitmen yang kuat (mîtsâqan ghalîdhâ), sebuah perjanjian suci yang harus diambil dengan sangat serius. Al-Qur'an bahkan secara tegas memperingatkan laki-laki agar takut kepada Tuhan dan mengingat perjanjian sakral ini, melarang segala bentuk penyalahgunaan atau perlakuan tidak adil terhadap istri. Secara keseluruhan, wahyu Al-Qur'an membawa status perempuan ke tingkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum Islam.

Salah satu pertanyaan paling sering tentang ketidakadilan adalah ketentuan tentang kesaksian perempuan: Mengapa dibutuhkan dua saksi perempuan, sementara satu laki-laki cukup?Ayat yang disorot (Surah Al-Baqarah ayat 282) sebenarnya berkaitan secara spesifik dengan transaksi utang. Al-Qur'an mengizinkan satu laki-laki dan dua perempuan untuk menggantikan dua laki-laki, yang sering disalahartikan sebagai penilaian bahwa kesaksian perempuan bernilai separuh.

Namun, teks aslinya mengungkapkan nuansa psikologis dan sosial yang dalam: "Sehingga jika salah satu dari perempuan itu menyimpang [atau lupa], maka yang lain akan mengingatkannya tentang apa yang mereka saksikan." (an taḍilla iḥdāhumā fa tudhakkira iḥdāhumā al-'ukhrā).

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ambillah Tuah Pada yang Menang dan Ambil Pelajaran pada yang Sudah Oleh Dr Masud HMN Karena tuah (....

Suara Muhammadiyah

6 November 2023

Wawasan

Muhammadiyah; Merdeka Memajukan Bangsa Oleh: Prof. Dr.H. Muh. Hizbul Muflihin, M.Pd, Wakil Ketua PD....

Suara Muhammadiyah

1 August 2025

Wawasan

Merdeka: Ketika Kita Menjadi Mahardika Seutuhnya Oleh: Agus setiyono Merdeka adalah nyanyian jiw....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

"Mencari Simpati Hati dan Suara Pemilih" Oleh: Rumini Zulfikar Pemilu Tahun 2024 saat ini memasuk....

Suara Muhammadiyah

1 December 2023

Wawasan

Keunggulan Membuat Amal Usaha Persyarikatan Bertahan dan Berkembang  Oleh Amidi, Dosen Fakulta....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024