Memahami Poligami dalam Islam: Keadilan sebagai Syarat Utama

Publish

7 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
150
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Memahami Poligami dalam Islam: Keadilan sebagai Syarat Utama

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kita masih membahas ayat-ayat dalam Al-Qur`an yang sering disalahpahami, dan kali ini kita akan mendalami ayat tiga dari surat An-Nisa. Ayat ini berbunyi, "Jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Seringkali, ayat ini ditafsirkan sebagai pembenaran praktik poligami dalam Islam. Namun, perlu dipahami bahwa istilah "poligami" memiliki dua makna: seorang pria memiliki banyak istri (poligini) dan seorang wanita memiliki banyak suami (poliandri). Dalam fikih Islam klasik, poliandri dilarang, sementara poligini diperbolehkan dengan batasan maksimal empat istri. Meskipun poligami adalah istilah yang lebih umum digunakan, dalam konteks Islam, poligini adalah istilah yang lebih tepat.

Ayat ini sendiri tidak memberikan izin tanpa syarat untuk praktik poligini. Hukum Islam klasik memang memperbolehkan poligini, tetapi tidak hanya berdasarkan ayat ini saja, melainkan juga mempertimbangkan hadits dan tafsir ulama sepanjang sejarah. Ayat ini justru memberikan syarat penting, yaitu kemampuan untuk berlaku adil terhadap semua istri,  

Ayat ini, "Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat," memiliki konteks sejarah dan sosial yang penting. Seperti yang dijelaskan oleh Safi Kaskas, ayat ini lebih tepat dipahami sebagai anjuran untuk menikahi ibu-ibu dari anak yatim.

Pada masa awal Islam, ketika belum ada sistem kesejahteraan sosial yang mapan, anak yatim seringkali menghadapi kesulitan hidup. Banyak Muslim saat itu adalah imigran yang meninggalkan Mekah dengan harta benda yang minim, bahkan terkadang hanya dengan pakaian di badan, untuk menghindari penganiayaan. Ketika mereka tiba di Madinah, di mana Nabi Muhammad membangun komunitas Muslim pertama, mereka menghadapi tantangan dalam merawat anak yatim yang rentan. Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya melindungi dan merawat anak yatim, dan ayat ini menawarkan solusi praktis dalam konteks sosial saat itu.

Dengan menikahi ibu dari anak yatim, seorang pria tidak hanya memberikan perlindungan dan dukungan finansial kepada sang ibu, tetapi juga secara otomatis menjadi wali bagi anak yatim tersebut. Ini memastikan bahwa anak yatim tersebut memiliki figur ayah yang bertanggung jawab untuk membimbing dan merawat mereka. Penting untuk diingat bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, dan tidak dapat dilepaskan dari situasi tersebut. Meskipun poligini diperbolehkan dalam Islam, ayat ini menekankan bahwa tujuan utamanya adalah untuk melindungi dan merawat anak yatim, bukan sekadar memenuhi keinginan pribadi. 

Salah satu cara untuk memastikan kesejahteraan anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh para syuhada - mereka yang gugur dalam membela agama - adalah dengan menikahi ibu mereka. Ayat ini menawarkan solusi yang cerdas dan komprehensif, memenuhi dua kebutuhan sekaligus: memberikan perlindungan bagi para janda dan memastikan anak-anak yatim mendapatkan pengasuhan yang layak.

Mungkin saja pada masa itu, ada para janda yang enggan menikah lagi karena ingin fokus merawat anak-anak mereka. Namun, ayat ini dengan bijak menempatkan kepentingan anak-anak sebagai prioritas utama. Ayat ini menyatakan, "Jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja." Dengan demikian, keadilan tetap menjadi prinsip utama, bahkan dalam konteks pernikahan poligami.

Jika kita mengikuti alur ayat ini, kita harus memahami konteksnya terlebih dahulu. Pada masa itu, terdapat anak-anak yatim yang terlantar dan masyarakat belum mampu memberikan perlindungan yang memadai. Sebagai solusi, seorang pria dapat menikahi ibu dari anak-anak yatim tersebut, sehingga ia tidak hanya memberikan dukungan kepada sang janda, tetapi juga secara otomatis menjadi wali bagi anak-anak yatim tersebut. 

Dengan demikian, ayat ini bukan sekadar memberikan izin untuk poligini, tetapi juga menekankan tanggung jawab sosial untuk melindungi dan merawat mereka yang membutuhkan, terutama anak-anak yatim yang kehilangan ayah mereka dalam perjuangan membela agama. Dengan demikian, ayat ini bukan sekadar memberikan izin untuk poligini, tetapi juga menekankan tanggung jawab sosial untuk melindungi dan merawat mereka yang membutuhkan, terutama anak-anak yatim yang kehilangan ayah mereka dalam perjuangan membela agama. Tetapi jika Anda takut dengan melakukan itu, Anda tidak akan berlaku adil 

Safi Kaskas menerjemahkannya sebagai "Anda tidak akan bisa berurusan secara adil dengan semua istri" — itu bisa menjadi salah satu aspek ketidakadilan. Tapi itu juga bisa berarti ketidakadilan terhadap dirimu sendiri. Karena sebanyak kita didorong untuk melakukan hal-hal baik, bahkan beribadah, melakukan sholat tambahan, dan sebagainya, kita juga diingatkan untuk menjaga diri kita sendiri, tubuh kita, kesehatan mental, dan kesehatan fisik kita. Kita tidak bisa berlebihan dengan satu tindakan baik apa pun.

Jadi, mengambil tanggung jawab tambahan dengan memiliki istri kedua, ketiga, atau keempat untuk mengurus para wanita ini dan anak-anak mereka akan menjadi tanggung jawab tambahan. Tidak semua orang akan mampu menangani itu. Anda harus mempertimbangkan apakah Anda akan berlaku adil terhadap diri sendiri, terhadap semua wanita ini, dan menjaga hubungan yang wajar dengan mereka semua.

Merawat anak dalam satu rumah tangga saja sudah cukup menantang. Bayangkan jika harus mengurus anak-anak dari dua, tiga, atau bahkan empat rumah tangga! Dengan berbagai kebutuhan seperti kunjungan dokter dan perhatian individual, seorang ayah bisa kewalahan dan kesulitan membagi waktu berkualitas untuk semua anaknya. 

Inilah mengapa ayat tersebut memberikan solusi bijak: jika Anda khawatir tidak bisa berlaku adil dalam situasi poligami, maka sebaiknya tetaplah monogami. Kesimpulan ayat tersebut menegaskan pentingnya menghindari ketidakadilan.

Jika kita amati lebih dalam, ayat ini sebenarnya berpusat pada konsep keadilan. Kata "keadilan" disebutkan tiga kali dalam terjemahan bahasa Inggris, menggunakan berbagai istilah dalam bahasa Arab. Keadilan adalah kunci utama dalam memahami ayat ini.

Sayangnya, banyak ulama yang salah menafsirkan ayat ini sebagai izin tanpa syarat bagi pria untuk berpoligami hingga empat istri, tanpa mempertimbangkan syarat dan ketentuan, terutama pentingnya keadilan. Mereka mengabaikan klausul "jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim". Akibatnya, praktik poligami seringkali menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi istri pertama. Kita sering menyaksikan luka dan kesulitan yang dialami oleh para istri dalam pernikahan poligami.

Oleh karena itu, kita harus selalu mengingat prinsip keadilan dan memahami bahwa izin poligami dalam ayat ini diberikan dalam konteks sosial tertentu, yaitu ketika ada kebutuhan mendesak untuk melindungi dan merawat anak yatim akibat banyaknya pria Muslim yang gugur dalam pertempuran. Kita perlu membaca ayat ini dengan teliti dan menghindari kesalahpahaman. Poligami bukanlah hak mutlak, melainkan pilihan yang harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesejahteraan semua pihak yang terlibat. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Memahami Poligami dalam Islam: Keadilan sebagai Syarat Utama Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakult....

Suara Muhammadiyah

7 March 2025

Wawasan

Memaknai Hari Guru Nasional 2024: “Guru Hebat Muhammadiyah untuk Indonesia Kuat” Oleh: ....

Suara Muhammadiyah

25 November 2024

Wawasan

Selamat Milad Muhammadiyah ke 112: Selalu Bersyukur dan Tidak Berhenti Bergerak Oleh: Nur Ngazizah ....

Suara Muhammadiyah

19 November 2024

Wawasan

Nyadran, Sadranan dan Ziarah Oleh: Khafid Sirotudin, LP UMKM PWM Jawa Tengah Selasa pagi, 11 Febru....

Suara Muhammadiyah

14 February 2025

Wawasan

Meraih Gelar Kehormatan  Oleh : Dr. Amalia Irfani, M.Si., Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP ....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah