UM Bandung Menjadi Tuan Rumah Milad ke-113 Muhammadiyah: Cahaya yang Tak Pernah Padam
Oleh: Dr. H. Ijang Faisal, S.Ag., M.Si., Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Bandung
Universitas Muhammadiyah Bandung melalui Surat Nomor: 1137/II.0/A/2025 telah resmi ditunjuk oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai tuan rumah Resepsi Milad ke-113 Muhammadiyah. Penunjukan yang penuh kehormatan ini menjadi momentum berharga sekaligus amanah besar bagi seluruh sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Bandung.
Tentu, kepercayaan ini tidak hanya menjadi kebanggaan institusional, tetapi juga menjadi penyemangat baru untuk memperkuat peran universitas dalam mengembangkan ilmu, amal, dan peradaban Islam berkemajuan. Momentum Milad ke-113 ini menjadi ruang reflektif bagi UM Bandung untuk meneguhkan jati diri sebagai kampus dakwah dan peradaban, sekaligus memperluas kontribusi nyata di bidang pendidikan, riset, inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat.
Amanah ini kami pandang bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan sebagai wujud pengabdian intelektual dan spiritual dalam menghidupkan nilai-nilai dasar Muhammadiyah yakni; keikhlasan, keilmuan, dan kemajuan. Oleh karena itu, seluruh unsur universitas berkomitmen untuk menjalankan amanah ini dengan penuh kesungguhan, profesionalitas, dan semangat kebersamaan, agar pelaksanaan Milad ke-113 tidak hanya berjalan sukses secara teknis, tetapi juga memberi makna mendalam bagi gerakan pencerahan yang telah diwariskan oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Seratus tiga belas tahun yang lalu, dunia mencatat dua peristiwa besar yang sama-sama mengguncang, namun amat kontras dalam maknanya. Di tengah samudra Atlantik nan jauh di sana, kapal megah Titanic tenggelam di kedalaman laut yang gelap gulita, menjadi simbol keangkuhan peradaban modern yang takluk oleh kekuatan alam.
Pada waktu yang hampir bersamaan, di tanah nusantara yang masih terbelenggu penjajahan dan kegelapan, datanglah seorang ulama sederhana dari Kauman Yogyakarta yang bernama K.H. Ahmad Dahlan beliau menyalakan obor pencerahan yang kelak dikenal dengan nama Persyarikatan Muhammadiyah.
Satu peristiwa berakhir dalam duka dan kehancuran, sementara peristiwa lainnya menjadi awal dari kebangkitan dan harapan. Jika Titanic karam diterjang gelombang laut, Muhammadiyah justru berlayar menembus gelombang zaman, berpijak pada wahyu Ilahi, berlayar dengan layar ilmu, dan berdayung dengan amal saleh.
Angka 113 tahun bukan sekadar hitungan kronologis, tetapi simbol dari daya tahan, keikhlasan, dan kontinuitas sebuah gerakan tajdid (pembaruan) yang berakar kuat pada tauhid dan berbuah dalam amal nyata. Di tengah arus perubahan sosial, politik, dan teknologi yang kian deras, Muhammadiyah tidak sekadar hadir sebagai organisasi keagamaan, tetapi tumbuh sebagai gerakan peradaban yang menegakkan Islam dalam wujud amal sosial, pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan.
Sebagaimana firman Allah SWT: “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 257)
K.H. Ahmad Dahlan pernah menyampaikan pesan sederhana namun sarat makna teologis dan intelektual: “Ngaji sing tenanan, aja mung nurut karo omongan wong liya. Amal tanpa ngerti iku ora bener.” (Belajarlah agama dengan sungguh-sungguh, jangan hanya ikut-ikutan. Amal tanpa pengetahuan itu tidak benar.)
Pesan ini bukan sekadar nasihat pribadi, melainkan fondasi ideologis yang membentuk karakter gerakan Muhammadiyah. Ia menegaskan bahwa keberagamaan sejati harus dibangun di atas ilmu yang melahirkan amal, dan amal yang berpijak pada ilmu.
Dalam pandangan Kiai Dahlan, ilmu dan amal adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu tanpa amal hanya akan melahirkan kesombongan intelektual, sementara amal tanpa ilmu akan tersesat dalam kejumudan dan fanatisme buta. Dari sinilah Muhammadiyah membangun paradigma Islam berkemajuan dengan mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam praksis dakwah yang nyata.
Persyarikatan Muhammadiyah hadir bukan hanya untuk mengajarkan agama secara dogmatis, tetapi ia hadir untuk menafsirkan nilai-nilai Islam secara rasional, ilmiah, dan kontekstual dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan semangat itu, gerakan ini tumbuh menjadi kekuatan moral, intelektual, dan sosial yang berupaya mewujudkan ajaran Islam dalam realitas kemanusiaan.
Kini, ketika dunia menghadapi era disrupsi digital, globalisasi nilai, dan krisis moral, tantangan dakwah dan tajdid semakin kompleks. Namun sejarah membuktikan bahwa Muhammadiyah selalu mampu beradaptasi tanpa kehilangan arah, memperbarui diri tanpa tercerabut dari akar tauhid. Nilai-nilai dasar Islam yang diajarkan Kiai Dahlan seperti; ketulusan, kerja keras, rasionalitas, dan kepedulian sosial yang akan tetap menjadi kompas moral dalam menavigasi perubahan.
Milad ke-113 ini menjadi saat yang tepat untuk merenungkan kembali ruh gerakan ini. Muhammadiyah bukan gerakan yang hidup karena figur, tetapi karena nilai. Ia tidak bertahan karena kekuasaan, tetapi karena keikhlasan. Ia tidak besar karena fasilitas, tetapi karena dedikasi para kader yang menyalakan lilin-lilin cahaya di tengah kegelapan zaman.
Selama masih ada manusia yang mau beramal dengan ilmu, berjuang dengan keikhlasan, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah akan terus menjadi lentera yang tak pernah padam untuk menerangi jalan umat, membimbing bangsa, dan menuntun peradaban menuju cahaya wahyu Ilahi. Wallāhu a‘lam
                            
                                    
                                                                                    
                                    
                                    