Bunuh Diri, Kecemasan, dan Upaya Kembali pada Iman

Publish

14 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
139
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Bunuh Diri, Kecemasan, dan Upaya Kembali pada Iman

Oleh: Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD 

Bunuh diri menjadi masalah serius bagi umat manusia saat ini. Jika dicermati dari berbagai kasus bunuh diri di media, kita segera tahu bahwa siapapun dapat menjadi bagian darinya. Dari seorang dokter, pengusaha, polisi, mahasiswa, hingga orang biasa. Meskipun sebagian besar kasus bunuh diri tersebut memiliki motif, namun secara subtansif kita perlu bertanya, di antara berbagai alternatif, mengapa manusia memilih bunuh diri? Suatu tindakan yang seharusnya menjadi batas akhir dari pilihan yang dibuat manusia.

Ramalan Baudrillard mengenai ‘hiperrealitas’, memberikan pemahaman lebih konkrit dalam menghadapi kerancuan metaverse. Apakah masih ada yang otentis dalam pergerakan ruang digital? Sebab pada akhirnya, perasaan alpa dan kekosongan terhadap ‘aktivitas virtual yang serba cepat’ itu menjadi awal bagi keterpurukkan manusia. Bagaimana ini terjadi?

Rollo May dalam Mans Search for Himself (1981), menjelaskan bahwa satu kenyataan yang dihadapi oleh manusia modern adalah ‘kecemasan’. Alih-alih absurditas, psikolog eksistensial ini mengatakan bahwa manusia modern memiliki potensi kehampaan dan kesepian yang luar biasa, namun keduanya tidak lebih mengancam jika dibandingkan dengan kecemasan. Dengan demikian, kecemasan menjadi dasar bagi konflik-konflik individu dan bangsa, yang bukan hanya disebabkan karena ketakutan perang dan ketidakpastian ekonomi, melainkan manusia cemas karena kebingungan tentang peran-peran apa yang hendak diperjuangkan dan prinsip-prinsip apa yang hendak diyakini dalam tindakan. Singkatnya, manusia cemas karena mengalami distorsi orientasi, “ke mana kita hendak menuju?”

Pandangan Rollo May memang sebatas potret realitas psikis manusia menjelang akhir abad ke-20. Tentu saja masyarakat saat itu, belum memiliki kompleksitas hidup sejauh mengalami distorsi terhadap realitas. Dengan demikian, manusia hari ini justru menghadap situasi yang kian pelik. Suatu kondisi yang akan membawa abad kecemasan ini sampai pada batas-batasnya. 

Untuk membedah skema itu, kita dapat menarik pemikiran Heidegger mengenai ‘Dasein’ di sini. Secara orisinil, ‘Dasein’ berkaitan dengan cara ber-ada dari manusia di dunia. Setiap manusia Ada-di-dalam-dunia (In-der-Welt-Sein), terjebak dan merasa 'kerasan' di dalamnya. Rasa 'kerasan' inilah yang membuat manusia tenggelam begitu dalam pada kehidupan. 

Namun, hari ini 'dasein' mengalami keterbatasan. Sebab, jika kita cermati melalui simulakra, manusia tidak hanya bermukim dalam satu dunia saja; dunia realitas, melainkan juga hanyut dalam dunia ‘digital’. Untuk alasan inilah, manusia telah mengalami faktisitas kedua, sebuah keterlemparan yang lebih berbahaya dan mematikan, suatu labirin digital yang begitu subtil dan samar, ruang di mana realitas mengalami kerancuan. Maka jika 'dasein' cenderung terbatas pada korporeal, kita perlu memperluas ‘dasein’ Heidegger menuju pada konteks 'digisein' (digital sein).

Sebagai ‘digisein’, manusia yang terlempar pada ruang virtual tidak lagi bermukim di dunia. Atensi dan aksentuasi pikiran manusia terjebak dalam pattern simulakra. Konsekuensi yang nyata, manusia hidup melalui suatu relasi tanda, atas penanda yang tak lagi memiliki petanda. Sebagai penanda, ia bahkan tak mengacu pada dunia di luar dirinya, ia adalah realitas itu sendiri. Lalu karena terjebak di dalamnya, manusia perlahan menjadi lupa, tanpa intensional, telah hanyut pada kompleksitas, ambiguitas, dan kecepatan ruang digital. Manusia makan seperti anjing kelaparan, menelan peristiwa sebanyak-banyaknya melalui telepon pintar. Akhirnya, sesuatu dalam diri kita tak lagi mampu menampungnya, absurditas perlahan mencapai puncaknya dalam mekanisme 'kecemasan' yang tak terhingga. 

Maka menjadi terang ketika kita kembali pada pertanyaan kelam sebelumnya, mengapa keputusan paling ekstrem dalam tindakan bunuh diri menjadi pilihan manusia? Kecemasan. Itulah jawabannya. 

Dekonstruksi ‘Kebutuhan untuk Percaya’ dan Pilihan Lompatan ke dalam Iman

Di titik inilah, dalam lumpur hiperrealitas, kubangan 'kecemasan' dan latensi bunuh diri menjadi sangat nyata. Dalam konteks inilah 'digisein' mesti berpikir, bagaimana cara manusia harus ber-Ada? 

Marilah kita tilik kembali 'kebutuhan untuk percaya' Nietzsche. Jika genealogi Nietzsche diperuntukkan untuk membedah 'idee fixe' atas kepercayaan fanatik, termasuk di dalamnya juga ‘agama’, baginya manusia sejatinya tidak membutuhkan pegangan, maka saya hendak mendekonstruksi logika ini. Bagaimana jika hari ini, langkah terbaik menghadapi 'absurditas' & 'kecemasan' adalah dengan meletakkan 'kebutuhan untuk percaya' kembali dalam diri manusia? Hanya dengan cara inilah, jalan pembebasan itu dapat dimaknai.

Dalam anasir ini, penulis justru berpijak pada pemikiran Kierkegaard mengenai subjektivitas. “Menjadi subjektif adalah tugas yang dihadapkan pada setiap manusia,” begitulah ucapnya. Subjektivitas Kierkegaard justru mengintegrasikan diri dengan agama. Sebuah upaya penerimaan Tuhan sebagai pegangan bagi “diri”. Sebab di dalam mekanisme realitas yang semakin rancu dan rumit, ‘diri’ harus sadar terhadap eksistensinya, kemudian bertindak melalui pegangan moral. Akhirnya, di antara gurun nihilisme, kehadiran tuhan justru peneguhan bagi eksistensi ‘aku’ dalam mekanisme ‘digisein’. 

Demikian, dalam keadaan semacam ini, dalam lautan simulakra, melompat ke dalam iman adalah pilihan terakhir. Ia seperti perahu kecil. Meski terhuyung, tapi di sanalah otentisitas yang primordial dapat dilayarkan.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah  (29) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tingga....

Suara Muhammadiyah

21 March 2024

Wawasan

Oleh: Dr. Nasrullah, M.Pd Tanggal 27 Rajab diperingati umat Islam sebagai hari Isra Miraj. Hari di ....

Suara Muhammadiyah

14 February 2024

Wawasan

Melangkah di Jalur Keadilan: Ekonomi Syariah, SGIE, dan Harapan Umat Oleh: Bagus Ardeni, Sekretaris....

Suara Muhammadiyah

25 March 2024

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (28) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

14 March 2024

Wawasan

Dzikir, Tazkiyatun Nafs, Tasawuf, dan Muhammadiyah Oleh: Kumara Adji Kusuma, Dosen Universitas Muha....

Suara Muhammadiyah

20 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah