YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Busyro Muqoddas, M.Hum., menegaskan bahwa pembenahan menyeluruh terhadap sistem politik nasional merupakan prasyarat utama untuk menghentikan praktik korupsi sumber daya alam (SDA) yang selama ini berujung pada krisis ekologis dan bencana kemanusiaan di berbagai wilayah Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Busyro dalam konferensi pers bertajuk Korupsi Sumber Daya Alam dan Bencana Kemanusiaan yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (19/12). Dalam forum tersebut, ia mendorong pengarusutamaan gerakan masyarakat sipil untuk melakukan judicial review sekaligus mendorong revisi total Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Pilkada.
Menurut Busyro, ketiga undang-undang tersebut merupakan hulu persoalan korupsi struktural yang selama ini membajak demokrasi dan memengaruhi arah kebijakan publik, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Desain politik yang tidak transparan serta minim akuntabilitas dinilai membuka ruang ketergantungan elite politik terhadap pemodal, yang kemudian “dibayar” melalui kebijakan pembangunan yang bersifat ekstraktif.
“Korupsi sumber daya alam tidak lahir secara tiba-tiba. Ia merupakan produk dari sistem politik yang memungkinkan terjadinya state capture corruption, ketika kebijakan negara dikendalikan oleh kepentingan ekonomi segelintir pihak,” ujar Busyro.
Ia menjelaskan bahwa korupsi tidak dapat dipahami semata-mata sebagai pelanggaran hukum individual, melainkan sebagai persoalan struktural yang telah terinstitusionalisasi. Ketika relasi antara kekuasaan dan modal menjadi fondasi utama politik elektoral, kebijakan pembangunan cenderung mengabaikan prinsip keberlanjutan lingkungan dan keselamatan warga.
Busyro menilai kondisi tersebut menjelaskan mengapa banyak wilayah yang kaya sumber daya alam justru mengalami kerusakan ekologis, konflik agraria, hingga bencana kemanusiaan. Fenomena ini, menurutnya, merupakan manifestasi dari resource curse, yakni situasi ketika kekayaan alam tidak membawa kesejahteraan, melainkan melahirkan kerentanan sosial dan ekologis.
“Bencana kemanusiaan yang kita saksikan hari ini merupakan hilirisasi dari kebijakan politik pembangunan yang koruptif. Ini bukan semata-mata persoalan alam, tetapi akibat langsung dari keputusan politik yang mengabaikan daya dukung lingkungan,” imbuhnya.
Dalam paparannya, Busyro juga menegaskan bahwa pembiaran terhadap sistem politik yang bermasalah hanya akan terus melahirkan kebijakan publik yang destruktif. Karena itu, upaya koreksi tidak cukup dilakukan di tingkat teknis atau sektoral, melainkan harus menyentuh fondasi demokrasi itu sendiri.
“Muhammadiyah memandang peran masyarakat sipil, kampus, dan media sebagai kekuatan penting dalam mendorong pembaruan sistem politik secara konstitusional. Penguatan nalar publik dan kebebasan akademik merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya menjaga demokrasi agar tidak dikuasai oleh kepentingan modal,” tegasnya.
Busyro menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa tanpa keberanian melakukan koreksi terhadap undang-undang politik, Indonesia berisiko terus mengulang siklus korupsi, kerusakan lingkungan, dan tragedi kemanusiaan.
Hilirisasi Kebijakan PSN Dinilai Abaikan Lingkungan dan Hak Masyarakat Lokal
Berbagai tragedi kemanusiaan dan kerusakan ekologis yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dinilai sebagai dampak langsung dari hilirisasi kebijakan pembangunan nasional, khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek-proyek tersebut dianggap dijalankan tanpa kontrol lingkungan, demokrasi, dan perlindungan hak masyarakat yang memadai.
Busyro Muqoddas menyebut kebijakan pembangunan yang bersifat top-down telah melahirkan konflik agraria, degradasi lingkungan, serta penderitaan masyarakat di tingkat lokal. Menurutnya, pola pembangunan semacam ini menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan subjek pembangunan.
Busyro menjelaskan bahwa sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, arah kebijakan pembangunan nasional difokuskan pada percepatan proyek infrastruktur dan industri ekstraktif yang kemudian ditetapkan sebagai PSN. Namun, dalam praktiknya, kebijakan tersebut kerap mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan, hak-hak masyarakat lokal, serta mekanisme partisipasi publik yang bermakna.
“Apa yang terjadi di daerah-daerah itu bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Itu adalah hilirisasi dari kebijakan nasional, terutama Proyek Strategis Nasional,” ujar Busyro.
Ia menegaskan bahwa berbagai konflik dan bencana di daerah tidak dapat dilepaskan dari keputusan politik pembangunan di tingkat pusat. Busyro mencontohkan sejumlah kasus konflik agraria dan kerusakan lingkungan yang telah dikaji langsung oleh Muhammadiyah bersama kalangan akademisi melalui riset multidisipliner. Kasus-kasus tersebut antara lain terjadi di Wadas, Rempang, Banyuwangi, Banten, Halmahera Tengah, hingga Morowali.
Dalam berbagai kasus tersebut, masyarakat lokal dinilai menjadi pihak yang paling terdampak akibat kebijakan pembangunan yang ditetapkan secara sentralistik. Negara, kata Busyro, cenderung memaksakan agenda ekonomi tanpa kesiapan tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Pola pembangunan berbasis PSN juga menunjukkan kecenderungan melemahnya kontrol publik terhadap kebijakan negara. Proses pengambilan keputusan yang terpusat dinilai membuka ruang lebar bagi kepentingan modal untuk mempengaruhi arah pembangunan, sementara suara masyarakat terdampak justru terpinggirkan.
“Hilirisasi kebijakan pembangunan ini berujung pada tragedi kemanusiaan dan ekologis. Ketika negara memprioritaskan kepentingan investasi tanpa perlindungan yang memadai, masyarakatlah yang menanggung dampaknya,” imbuh Busyro.
Ia menyebut kondisi tersebut sebagai manifestasi dari resource curse, yakni situasi ketika wilayah yang kaya sumber daya alam justru mengalami kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan kemiskinan struktural. Fenomena ini, menurutnya, semakin diperparah oleh kebijakan pembangunan nasional yang tidak sensitif terhadap daya dukung lingkungan dan keadilan sosial.
Busyro menegaskan bahwa koreksi terhadap kebijakan PSN tidak cukup dilakukan di tingkat teknis atau sebatas evaluasi proyek per proyek. Ia menilai diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap arah politik pembangunan nasional agar tidak terus melahirkan dampak destruktif bagi manusia dan lingkungan.
“Jika arah kebijakan pembangunan nasional tidak dikoreksi secara mendasar, maka tragedi kemanusiaan dan ekologis ini akan terus berulang,” pungkasnya. (ID/Riz)

