Cinta Guru Kita
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Profesi guru sangat mulia. Melalui profesi itu, guru mempunyai kesempatan mencerdaskan anak secara utuh, yang menurut Howard Gardne terdiri atas sembilan kecerdasan. Kesembilan kecerdasan tersebut adalah: (1) kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence), (2) kecerdasan linguistik (verbal-linguistic intelligence), (3) kecerdasan interpersonal atau kecerdasan dalam bergaul (interpersonal intelligence), (4) kecerdasan intrapersonal atau kecerdasan diri (intrapersonal intelligence), (5) kecerdasan musikal (musical intelligences), (6) kecerdasan visual-spasial (spatial-visual intelligence), (7) kecerdasan kinestetik tubuh (bodily-kinesthetic intelligence), (8) kecerdasan naturalis (naturalist intelligence), dan (9) kecerdasan eksistensial (existential intelligence).
Jika merujuk kepada teori tersebut, sungguh besar jasa guru bagi siswa. Mereka menggali berbagai potensi siswa. Bahkan, mereka mengembangkannya!
Lebih dari itu, mereka memprediksi kesesuaian karier bagi siswa. Orang tua yang sadar akan jasa guru, pasti mengapresiasi guru. Mereka menyadari bahwa guru berjasa luar biasa tidak hanya kepada anaknya, tetapi juga kepada dirinya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa sebagian amanah yang menjadi tanggung jawabnya telah dilaksanakan oleh guru.
Makin besar lagi jasa guru jika kita merujuk kepada tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Mendikdakmen. Di dalam pidato Peringatan Hardiknas 2025, Mendikdasmen menyatakan, antara lain, bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah proses membangun kepribadian yang utama, akhlak mulia, dan peradaban bangsa. Secara individual, pendidikan adalah proses menumbuhkembangkan fitrah manusia sebagai makhluk pendidikan (homo educandum) yang dengannya manusia menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, dan berbagai kecerdasan yang memungkinkan mereka meraih kesejahteraan dan kebahagiaan material dan spiritual. Dalam konteks kebangsaan, pendidikan adalah sarana mobilitas sosial politik yang secara vertikal mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Kesejahteraan dan kebahagiaan Material dan Spiritual
Untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan material dan spiritual, guru diberi amanah tidak sekadar mentransfer ilmu sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing (misalnya fisika, biologi, matematika, geografi, bahasa dan sastra), tetapi juga mentransfer nilai-nilai spiritual. Berkenaan dengan itu, mereka mendidik siswa agar mempunyai profil pelajar Pancasila, yakni (1) dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, (2) dimensi berkebhinekaan global, (3) dimensi mandiri, (4) dimensi bergotong royong, (5) dimensi bernalar kritis, dan (6) dimensi kreatif.
Dengan memperhatikan keenam dimensi tersebut, semestinya orang tua siswa merasa bersyukur dan berterima kasih kepada guru. Orang tua yang beragama Islam jika anaknya (yang beragama Islam juga) dididik rajin salat oleh guru Pendidikan Agama Islam, bahkan, ditegur atau dihukum (dalam rangka mendidik) ketika bermalas-malasan, semestinya mendukung sepenuhnya. Ketika anaknya berpikir kritis, tetapi berakhlak buruk (misalnya merundung temannya lebih-lebih merundung guru), orang tuanya menegurnya.
Pendidikan Tanpa Dimensi Iman dan Takwa
Pendidikan yang mengabaikan dimensi iman dan takwa menyebabkan kehampaan jiwa. Akibatnya, ketika otaknya tidak mampu lagi menyelesaikan masalah, mereka frustrasi.
Sekurang-kurangnya ada sepuluh ilmuwan jenius yang mati dengan cara bunuh diri, yaitu, (1) Yoshiki Sasai, ahli biologi Jepang (2) Wallace Hume Carothers, ahli kimia Amerika, (3) Viktor Meyer, pakar kimia Jerman, (4) David Christopher Kelly, pakar senjata biologi Inggris, (5) Ludwig Eduard Boltzmann, ahli fisika Austria, (6) Valeri Alekseevich Legasov, ilmuwan Uni Soviet, (7) Hans Berger ilmuwan Jerman, (8) Edwin Armstrong, insinyur listrik Amerika Serikat, (9) Nicolas Leblanc, ahli kimia dan ahli bedah Prancis, dan (10) George Eastman, ilmuwan Amerika, penemu roll film yang membantu mengangkat derajat dunia fotografi dan memudahkan pembuatan film.
Mereka mempunyai kecerdasan intelektual, tetapi tidak mempunyai kecerdasan spiritual sehingga mati bunuh diri. Tentu tidak ada orang tua (beragama apa pun) yang bangga dengan kematian anaknya seperti itu - meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Na’uzubillah!
Melalui pendidikan yang memadukan iptek dan agama, terbuka lebar dihasilkan ululalbab sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat Ali 'Imran (3): 190 dan 191.
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ وَا خْتِلَا فِ الَّيْلِ وَا لنَّهَا رِ لَاٰ يٰتٍ لِّاُولِى الْاَ لْبَا بِ
"Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang berakal,"
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَا مًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَا طِلًا ۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَا بَ النَّا رِ
"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya, Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka."
Menghukum karena Cinta
Hingga tahun 70-an guru menghukum siswa yang melanggar tata tertib sekolah kiranya merupakan hal sangat biasa. Tidak ada siswa yang mengadu kepada orang tuanya apalagi melaporkannya kepada polisi. Hukuman itu sangat efektif. Siswa menjadi taat pada tata tertib.
Ada guru SMP yang menghukum siswa satu kelas. Hukuman itu diberikan karena menurut guru itu ada siswa yang melemparkan “takir” (Bahasa Jawa: wadah atau tempat makanan dari daun pisang dan sebagainya yang disemat dengan lidi pada kedua sisinya) lewat jendela. Sebelum menghukum, guru itu sampai tiga kali bertanya kepada siswa, “Siapa yang melakukannya? Kalau tidak ada yang mengaku, semua saya hukum!”
Meskipun diancam, tidak ada seorang pun siswa yang merasa melakukannya. Kemudian, guru itu meninggalkan kelas. Selama beliau tidak berada di kelas, siswa saling bertanya, tetapi tidak ada seorang siswa yang merasa melakukannya. Beberapa saat kemudian, beliau kembali masuk kelas sambil membawa kayu penggaris lurus berukuran panjang 1 meter, yang biasa digunakan oleh guru ilmu ukur dan guru menggambar.
Suasana kelas tegang. Guru tersebut bertanya lagi, “Siapa yang melakukannya?” Namun, siswa tetap diam.
“Kalau begitu, semua … di tempat duduk, siap!” Demikian aba-abanya. Aba-aba itu dipatuhi.
Beliau memberikan aba-aba berikutnya, “Semua … bungkukkan badan!” Lagi-lagi, aba-aba itu dipatuhi juga.
Guru itu masih memberikan kesempatan kepada siswa. “Saya beri kesempatan lagi.” Sesaat kemudian, “Karena tidak ada yang mengaku, berarti kalian siap menerima hukuman.”
Semua siswa dihukum. Punggungnya dipukul dengan kayu, tetapi tidak keras. Pukulan itu tidak mengakibatkan sakit apalagi menimbulkan bekas.
Sampai lulus, tidak ada seorang pun siswa yang merasa melemparkan takir. Namun, tidak ada seorang pun siswa yang mengadu kepada orang tuanya. Pada hari-hari berikutnya, guru itu tetap mengajar dengan aman, padahal ada siswa yang bertubuh kekar. Ada di antara mereka yang orang tuanya menjadi polisi! Ada yang kakaknya yang menjadi dosen atau menjadi pejabat lainnya.
Masih ada lagi macam hukuman yang diberikan oleh guru misalnya menyuruh siswa berdiri di depan kelas, menyuruh siswa keluar dari kelas, atau menyuruh siswa menulis pernyataan bersalah dan berjanji tidak akan mengulang dan pernyataan itu ditandatangani oleh orang tua/wali siswa. Penyebabnya bermacam-macam. Di antaranya adalah: (1) siswa "ngobrol" atau bermain-main ketika guru menyampaikan pelajaran, (2) sering membolos, (3) merundung teman, dan/atau (4) dengan sengaja merusak barang milik teman.
Hukuman itu dijalaninya. Bahkan, setelah lulus, mereka berterima kasih kepada guru. Ada di antara mereka yang berkirim surat dan di dalam suratnya ditulis, “Kalau tidak ditegur, mungkin saya tetap bandel sehingga tidak lulus. Akibatnya, saya tidak mendapat pekerjaan seperti sekarang ini.”
Masyaallah!


