Oleh: Donny Syofyan
Islam terhubung dengan keimanan dan kitab suci sebelumnya. Ini memberikan umat Islam perasaan lega bahwa dengan memeluk Islam, kita dengan sendirinya mengikuti semua kebaikan yang terungkap dalam semua kitab suci oleh semua nabi sebelumnya. Kita memiliki rasa dan spirit konektivitas dengan seluruh sistem wahyu Allah kepada semua umat manusia sepanjang masa dan tempat, melalui banyak nabi dan pelbagai kitab suci.
Dalam konteks yang lebih luas, kita melihat beragam masalah yang berhubungan dengan agama. Kepelbagaian agama-agama membuat dunia terkoyak oleh banyak faksi dan orang-orang yang melakukan tarik-menarik pengikut. Satu agama tampak terpisah dengan agama lain mengingat setiap agama mengklaim kebenaran masing-masing sehingga menolak atau mengabaikan kebenaran yang diyakini agama lain.
Karenanya kita melihat kurang atau lemahnya interkoneksi antara agama-agama. Masing-masing terikat dengan gelembungnya sendiri dan apa pun yang diungkapkan sebagai kebenaran suatu agama tampak terisolasi dari kebenaran apapun yang disampaikan oleh agama lain. Orang-orang yang mengikuti salah satu agama bakal bertanya-tanya, “Apa yang dipikirkan penganut agama lain? Apa yang mereka percayai? Bagaimana keimanan saya terhubung dengan orang lain?” Bagaimana Islam terhubung dengan agama lain?
Ada di antara kita yang memiliki teman sekelas atau tetangga dari agama lain. Jika seseorang mengikuti agama yang begitu terisolasi dalam gelembungnya sendiri, dia akan merasa sulit untuk berbicara dengan orang lain, melakukan dialog yang bermakna dengan teman dan rekan kerjanya tentang hal-hal yang diyakininya, misalnya tentang keyakinan kepada Tuhan, kitab suci, nabi, sejarah, dan apa pun itu.
Terkait dengan etika—hal-hal yang membimbing kehidupan kita sehari-hari tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang boleh kita lakukan dan apa yang tidak boleh kita perbuat—banyak pengikut agama menghubungkan nilai-nilai dan prinsip -prinsip etika tersebut dengan agama yang mereka ikuti. Seringkali kita tidak dapat melakukan dialog yang bermakna tentang nilai-nilai etika, prinsip-prinsip moral dan kebiasaan disebabkan ada agama terisolasi, tidak terhubung. Mereka kelihatan paralel, baik-baik saja dan bertujuan untuk mencapai kebaikan. Sayangnya para pemeluk agama ini tidak saling bertemu, menyapa atau menemukan intersection.
Lalu, bagaimana Islam menyelesaikan masalah tersebut bagi umat Islam? Islam adalah sistem keyakinan yang memiliki talian dengan realitas dan sejarah. Bagi Muslim, Islam adalah puncak dan kelanjutan dari pesan semua nabi sebelumnya. Al-Quran menegaskan, “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS 5: 3). Lewat pesan ini, Al-Qur’an menunjukkan bahwa pesan ini, yang diungkapkan kepada Nabi Muhammad SAW, adalah kulminasi dan penutup risalah yang telah diberikan kepada para nabi dan rasul sebelumnya.
Jadi dari perspektif Al-Qur’an tersebut, kita bisa menemukan tiga prinsip kesatuan. Pertama, Tuhan adalah satu. Dia Maha Esa. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang merupakan objek penyembahan dan peribadatan segenap manusia secara universal ketika mereka bermaksud untuk menyembah satu pencipta yang menguasai langit dan bumi. Kedua, hanya ada satu kemanusiaan. Tuhan satu yang sama menciptakan kita semua. Jadi, setiap kita adalah penganut dan pengikut satu Tuhan, tetapi secara realitas kita adalah umat manusia yang saling berhubungan. Ketiga, Tuhan telah mengirim para nabi dan rasul-Nya kepada semua manusia sepanjang masa. Mereka berkomunikasi dan berdialog dengan umat berbilang bahasa sehingga setiap orang akan mendengar pesan dalam bahasa masing-masing. Umat ini tegak dan bersatu menuju panggilan Tuhan.
Ketika melihat berbagai agama di masyarakat, kita menduga kuat bahwa agama-agama itu bergantung kepada ajaran-ajaran para nabi atau rasul yang diutus Allah sepanjang sejarah untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia. Maka, ketika kita juga menemukan sebuah tulisan suci yang dikatakan sebagai kitab suci yang sakral, posisi default umat Islam adalah memperlakukan kitab suci tersebut penuh takzim dengan keyakinan bahwa Tuhan telah menurunkan kitab suci tersebut yang ditransmisikan dari waktu ke waktu dan menjadi tulisan suci yang sekarang dipegang dan diyakini banyak orang.
Dengan wawasan universalitas demikian dalam pemikiran seorang Muslim—bahwa Islam terhubung dengan agama-agama lain—Muslim mampu memafhumi bahwa jika ada hal yang baik dalam agama-agama lain, maka Islam juga melestarikan dan menerapkan hal yang sama. Jika ada sesuatu, seiring dengan peredaran masa, telah mempenetrasi agama-agama lain yang tidak diinginkan dari sudut pandang Allah, maka Islam hadir melanjutkan dan meluruskan pesan dari para nabi dan rasul guna mengembalikan pesan-pesan Allah yang kini sudah tercukur kemurnian atau keasliannya. Dengan pemahaman seperti ini, umat Islam tidak hanya antusias untuk menjalani ajaran-ajaran agamanya sebab Islam merangkum semua kebaikan yang terungkap dalam kitab suci sebelumnya oleh para nabi Allah sebelumnya. Tak kalah pentingnya, pemahaman ini juga membekali umat Islam dengan keyakinan bahwa mereka dapat melakukan dialog yang bermakna dengan komunitas lain; teman, rekan kerja, kawan sekelas, dan tetangga.
Konektivitas Islam berkontribusi buat terciptanya dunia yang lebih baik. Ini memberi kita rasa kepuasan dan keutuhan. Ini menaburi rasa dan semangat kepada kita untuk berprestasi atau berlomba dalam kebaikan dalam mengikuti ajaran Islam. Selanjutnya hal ini mendorong kita berdialog sarat makna dengan orang-orang dari agama lain, lebih-lebih di tengah dunia yang terkoyak dengan banyak faksi yang saling menarik ke segala arah. Luar biasa faedahnya bahwa Islam memiliki unsur pemersatu secara doktrinal. Ini bakal membantu umat Islam untuk berdialog dan bersahabat dengan orang lain terkait dengan keimanan mereka, kitab suci mereka, dan orang-orang sakral atau suci mereka dengan penghormatan. Fakta bahwa Islam adalah sistem keyakinan yang terkoneksi dengan agama-agama lain dan merupakan kelanjutan serta puncak dari pesan-pesan ilahiyah sebelumnya sejatinya menjadi salah satu hal rasional nikmatnya menjadi seorang Muslim hari ini.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas