Cita-cita Haji Hisyam Terwujud Setelah 43 Tahun: Inilah Universitas Muhammadiyah Pertama

Publish

11 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
2119
Foto Dok SM

Foto Dok SM

Cita-cita Haji Hisyam Terwujud Setelah 43 Tahun: Inilah Universitas Muhammadiyah Pertama

Oleh: Mu’arif

Bercita-cita mendirikan sebuah universitas pada saat ini jelas suatu gagasan yang sangat masuk akal, karena komponen-komponen pendukungnya telah tersedia. Tetapi bercita-cita mendirikan sebuah universitas pada zaman kolonial Belanda ketika komponen-komponen pendukunya belum tersedia, hampir seperti ’mimpi di siang bolong.’ Apalagi sistem pendidikan level dasar pada waktu itu masih segregatif, terpisah-pisah secara sistemik, bahkan beberapa lembaga pendidikan yang diselenggarakan kaum bumiputra umumnya mentok, tidak memiliki formula sambungan yang dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, inilah fakta historis gerakan Muhammadiyah pada periode awal yang sangat visioner.

Terhitung sejak 1920, Muhammadiyah Bagian Sekolahan di bawah kepemimpinan Haji Hisyam telah menginisiasi gagasan besar mendirikan universitas. Dengan kerja keras dan cerdas, gerak sistemik Muhammadiyah mampu menghasilkan amal usaha perguruan tinggi pertama pada tahun 1963 di Padang Panjang. Selama 43 tahun, sejak pertama kali digagas pada 1920 hingga memasuki alam kemerdekaan (1963), Muhammadiyah baru bisa mewujudkan impian mendirikan universitas pertama di Padang Panjang yang semula bernama Akademi Kulliyatul Muballighin. Selama seabad lebih berjuang tanpa kenal lelah, kini Muhammadiyah-’Aisyiyah yang telah memiliki 164 Perguruan Tinggi (PTM/PTA) tersebar di seantero Indonesia.  

Impian Mendirikan Universitas

Malam 17 Juni 1920 adalah “malam yang diberkati Allah SWT” sebagaimana Haji Syuja merekam peristiwa ini dalam bukunya, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: Pimpinan Pusat Majelis Pustaka, 1989). Rapat anggota Muhammadiyah di Gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah di Jalan Djagang West Kauman (kini Jalan Kauman no. 44) dipimpin langsung oleh KH. Ahmad Dahlan. Masuk dalam agenda rapat adalah prosesi pelantikan empat tokoh muda yang telah siap mengisi jajaran HB Muhammadiyah. Mereka adalah Haji Hisyam (Ketua Bagian Sekolahan), Haji Syuja (Ketua Bagian PKO), Haji Fachrodin (Ketua Bagian Tabligh), dan Haji Mochtar (Ketua Bagian Taman Pustaka). Setelah prosesi pelantikan, Hisyam mendapat kesempatan pertama untuk berpidato.  

Dalam pidatonya, Hisyam menyampaikan visi dan misi sebagai Ketua HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan pertama. ”Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya, demikian Haji Syuja merekam momentum historis ini.

Subtansi gagasan Hisyam sebagaimana tersirat dalam pernyataan pidatonya mengisyaratkan empat hal. Pertama, diksi ”memajukan pendidikan dan pengajaran” mengisyaratkan adanya praktik pendidikan dan pengajaran yang tidak maju (tradisionalis), sehingga Muhammadiyah berusaha merespon dengan cara memajukannya. Cukup menarik pemikiran ideologis Siti Bariyah ketika menafsirkan tujuan Muhammadiyah tahun 1923 bahwa yang dimaksud dengan memajukan pendidikan dan pengajaran adalah praktik ”pengadjaran diatoer jang menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean. Demikian tulis Siti Bariyah dalam artikelnya, “Tafsir Maksoed Moehammadijah” sebagaimana dimuat di majalah Soewara Moehammadijah nomor edisi 9 tahun ke-4 bulan September 1923. Diksi ”menoeroet pada peratoeran dan tjara menoeroet zaman kemadjoean” mengisyaratkan mode adaptasi kemodernan pandangan Muhammadiyah dalam mengelola pendidikan.

Pandangan Siti Bariyah tersebut sejalan dengan pemikiran kakak kandungnya, Haji Fachrodin, ketika memahami Islam sebagai agama yang selaras dengan akal (rasional) dan dapat menyertai dinamika zaman. Tetapi Fachrodin, dalam artikelnya, ”Agama Islam Njawa Kemadjoean” (Soewara Moehammadijah no. 3-4/Th ke-3/1322) menggenapi serpihan konsep pendidikan berkemajuan dengan prinsip kemanusiaan, kemuliaan, dan anti diskriminasi berdasarkan sumber Al-Qur’an. Dengan demikian, konsep Pendidikan Islam Berkemajuan tidak sekedar modernis, tetapi juga humanis dan religius (bersumber dari ajaran Islam).         

Kedua, impian mendirikan universitas. Pemikiran Hisyam yang hendak mendirikan universitas lewat program HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan sebenarnya telah melampaui zamannya. Fakta historis sekolah-sekolah Muhammadiyah pada tahun-tahun awal berdiri Muhammadiyah masih dalam bentuk Volkschool (Sekolah Desa 3 tahun). Volkshool ini jenis pendidikan dengan jenjang yang metok, karena jenjang di atasnya sudah tidak ada lagi. Para lulusan Volkschool yang hendak melanjutkan studi lebih tinggi harus melewati proses pendidikan lain di Scakelschool (dikenal dengan nama “Sekolah Sambungan”) dengan masa studi 5 tahun (H.Mh. Mawardi, 1977). Sistem pendidikan kolonial pada waktu Hisyam menginisiasi berdirinya universitas masih segregatif, terpisah-pisah secara sistemik, sehingga tidak memungkinkan untuk menggagas pendidikan tinggi. Fakta historis berikutnya, ketika Hisyam menyampaikan gagasannya, keberadaan perguruan tinggi di tanah air masih sangat langka.

Sejarawan M.C. Ricklefs (2005: 330) mencatat, terhitung sejak tahun 1900 pemerintah kolonial Belanda telah memiliki tiga Hoofdenscholen (Sekolah Para Kepala) di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Abendanon menyusun kebijakan baru mengubah tiga sekolahan ini menjadi institusi pendidikan tinggi yang mampu menyiapkan tenaga pejabat bagi kaum pribumi. Oleh karena itu, ia mengubah Hoofdenscholen menjadi Opleidingscholen voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Pada tahun 1902, Abendanon memelopori perubahan sekolah Dokter-Jawa di Weltervreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto) menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Dengan demikian, apa yang digagas oleh Hisyam telah melampaui zamannya karena infrastruktur maupun suprastruktur yang dimiliki Muhammadiyah pada waktu itu belum sampai pada niatan atau gambaran bagaimana mendirikan sebuah universitas.

Ketiga, mencetak para sarjana dan guru besar. Gagasan ini masih relevan dengan konteks kedua, yaitu setelah berhasil mendirikan universitas, HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan akan mencetak para sarjana dan guru besar. Gagasan ini pun dinilai telah melampaui zamannya. Sebab, para sarjana pada zaman kolonial hanya berasal dari kalangan bangsa Belanda maupun kaum elit bumiputra, khususnya dari kasta bangsawan. Dengan menginisiasi tercetaknya para sarjana dan guru besar di sekolah-sekolah Muhammadiyah sebenarnya menjadi semacam blueprint pertumbuhan hingga perkembangan pendidikan Islam, tidak hanya bagi warga Muhammadiyah tetapi juga bagi bangsa ini. Muhammadiyah telah memimpikan terbentuknya masyarakat dengan kultur yang melek literasi (high literacy).    

Keempat, seluruh upaya yang dilakukan oleh HB Muhammadiyah Bahagian Sekolahan adalah untuk kepentingan Muhammadiyah dan umat Islam. Dalam konteks gerakan internal Muhammadiyah, fungsi lembaga pendidikan sebagai amal usaha unggulan pada waktu itu memang berperan ganda: sebagai sarana pembelajaran dan sekaligus media dakwah. Artinya, seluruh amal usaha pendidikan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari fungsinya sebagai syi’ar Islam. Sedangkan dalam konteks dinamika kebangkitan nasional, gagasan ini dapat diletakkan dalam kerangka pembentukan nasionalisme Indonesia lewat jalur pendidikan. Yaitu, upaya Muhammadiyah menyiapkan kader atau generasi penerus yang berkualitas agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Fakta historis memang menunjukkan bahwa kaum bumiputra pada waktu itu berada di urutan terbawah dalam stratifikasi masyarakat kolonial. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan Islam, Muhammadiyah telah menempatkan kaum bumiputra atau umat Islam setara dengan bangsa-bangsa lain.

Universitas Muhammadiyah Pertama

Impian Haji Hisyam mendirikan universitas pada zaman kolonial memang hampir mustahil. Sekalipun kerja keras dan cerdas jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah Bagian Sekolahan telah menghasilkan banyak sekolahan, tetapi belum cukup untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bahkan, sampai masa kepemimpinan KH. Ibrahim habis (1934), mimpi tersebut belum sempat terwujud. Tetapi momentum penting nan strategis kembali hadir ketika dalam kongres akbar XXIII pada tahun 1934, jajaran HB Muhammadiyah telah diisi oleh kader-kader ideologis KH. Ahmad Dahlan seperti: MJ. Anies, Hisyam, Mochtar, Hadjid, Syujak, Faried Ma’ruf, Hadjam, Siradj Dahlan, dan M. Amjad (lihat Boeah Congres XXIII, h. 7). Haji Hisyam mendapat amanat sebagai president HB Muhammadiyah yang memungkinkan baginya untuk mewujudkan cita-cita mendirikan universitas.        

Masa kepemimpinan Haji Hisyam (1934-1936) memang dinilai sebagai puncak kemajuan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Djarnawi Hadikusuma dalam buku Matahari-matahari Muhammadiyah (t.t.) mencatat bahwa program-program HB Muhammadiyah memang lebih fokus pada pengembangan pendidikan, tetapi di sisi lain sangat lemah dalam menjalankan program-program dakwah. Pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Haji Hisyam sangat pesat dan banyak mendapat subsidi dari pemerintah kolonial. Sebagai bentuk apresiasi pemerintah kolonial atas usaha Muhammadiyah memajukan pendidikan, sang president bersama tokoh-tokoh bumiputra lainnya mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda. Sampai akhir masa kepemimpinan Haji Hisyam, impian mendirikan Universitas Muhammadiyah belum sempat terwujud. Bahkan, sampai akhir hayat, mimpi Haji Hisyam belum sempat terwujud. 

Akan tetapi, setelah komponen-komponen pendukung telah tersedia, yaitu setelah memasuki alam kemerdekaan Republik Indonesia, pada masa kepemimpinan KH. Ahmad Badawi, Muhammadiyah baru berhasil mewujudkan impian besar universitas pertama. Dengan demikian, impian tersebut baru terwujud setelah melewati masa sekitar 43 tahun atau lima periode kepemimpinan di Muhammadiyah, dimulai dari KH. Mas Mansur (1937-1941), Ki Bagus Hadikusuma (1942-1952), AR. Sutan Mansur (1953-1958), Yunus Anis (1959-1962), hingga KH. Ahmad Badawi (1962-1967).

...sesudah tahun 1950, Muhammadiyah dapat memusatkan perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan SD, SMP, SGA (SPG), PGA dapat pulih kembali, bahkan bertambah jumlahnya tersebar di seluruh Indonesia. Ditambah adanya SMEP, SMEA dan Sekolah Perawat Bidan. Demikian pula mulai tumbuhnya Perguruan Tinggi. Dimulai dari Padang Panjang berdirinya Universitas Muhammadiyah,” tulis H.Mh. Mawardi dalam artikelnya, ”Perkembangan Perguruan Muhammadiyah,” (Suara Muhammadiyah no. 10 Th. Ke-58/1978).

Apa yang dimaksud Mawardi dengan pertumbuhan Universitas Muhammadiyah di Padang Panjang adalah proses transformasi sebuah lembaga pendidikan bernama Tabigh School yang berdiri sejak 1935 kemudian berubah menjadi Kulliyatul Muballighin pada 1941 dan kemudian menjadi akademi lewat keputusan Konferensi Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran Daerah Sumatra Barat yang diselenggarakan pada 30 Mei-2 Juni 1964. Tanggal 1 September 1964 dimulai kuliah perdana Akademi Kulliyatul Muballighin dengan 28 mahasiswa (Hasan Ahmad, ”Kulliyatul Muballighin Padang Panjang Zaman Kemerdekaan Hingga Sekarang”, Suara Muhammadiyah no. 7/ Th. Ke-66/1986, h. 27).   

Haji Hisyam   

Siapakah Haji Hisyam yang mendapat amanat sebagai Ketua Pertama Bagian Sekolahan? Dialah salah seorang murid ideologis KH. Ahmad Dahlan yang berjuang sampai akhir hayat di persyarikatan Muhammadiyah. Lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tanggal 10 November 1883, dia putra Wedana Haji Hoesni. Hisyam bin Haji Hoesni masih termasuk kerabat jauh KH. Dahlan (Djarnawi Hadikusuma, t.t.: 35). Selain menjabat sebagai abdi dalem, Hisyam muda seorang pengusaha batik (batikhandel) di Kauman. Dalam iklan hari raya Idul Fitri yang dimuat di Soeara Moehammadijah nomor 5 dan 6 tahun 1925 disebutkan nama-nama tokoh Muhammadiyah, salah satunya ialah istri Haji Hisyam. Dalam iklan tersebut disebutkan identitas istri Haji Hisyam sebagai lid (anggota) ’Aisyiyah dan batikhandel Kauman, Yogyakarta.

Menurut sumber Djarnawi Hadikusuma (t.t.: 35), Haji Hisyam dikenal sebagai seorang pakar hukum Islam. Dia juga memiliki keahlian dalam manajemen dan administrasi. Keahliannya boleh dikata cukup mahir untuk ukuran zamannya. Perhatiannya terhadap dunia pendidikan diterapkan dalam keluarga. Semua putra dan putri Haji Hisyam mendapat pendidikan formal, baik pendidikan umum dan agama. Muhammad Ziad, putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Europes Kweekschool di Surabaya. Muhammad Hadjam, juga putra Haji Hisyam, mendapat pendidikan Hogere Kweekschool di Purworejo.

Karir organisasi Haji Hisyam dimulai ketika dia bersedia bergabung dengan KH. Ahmad Dahlan membentuk kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Hisyam termasuk salah satu di antara murid-murid inti yang mendapat pengajian dan pengajaran langsung dari K.H. Ahmad Dahlan. Selagi mudah, Hisyam sudah terlihat sebagai pemuda cakap yang mementingkan pengajaran bagi generasi muda. Ketika Muhammadiyah dideklarasikan (1912), Hisyam berumur sekitar 29 tahun. Ketika HB Muhammadiyah membentuk empat unsur pembantu pimpinan, Haji Hisyam mendapat amanat sebagai ketua Bagian Sekolahan. Jabatan ketua pertama unsur pembantu pimpinan ini diamanatkan kepada Haji Hisjam yang berumur sekitar 37 tahun.

Haji Hisyam adalah satu-satunya murid inti hasil didikan KH. Ahmad Dahlan yang berhasil menduduki posisi sebagai president HB Muhammadiyah. Pasca wafat KH. Ibrahim (1934), dalam Congres Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta, Haji Hisyam terpilih sebagai president HB Muhammadiyah. Bersama Djiwosewojo, Haji Hisyam telah mendapat anugrah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Ratu Belanda. Anugrah ini diberikan kepada para pejabat, priyayi atau orang-orang yang dianggap berjasa kepada pemerintah Belanda dan masyarakat pada waktu itu.

Kepemimpinan Haji Hisyam berlangsung sejak tahun 1934-1937. Dalam Congres Muhammadiyah ke-26, kelompok pemuda, M. Basiran, Abdul Hamid, Farid Ma’ruf, dan lain-lain, menolak kepemimpinan kelompok tua, Haji Hisyam, Haji Mochtar, dan Haji Syujak. Ki Bagus Hadikusumo menjembatani konflik antara kubu kaum muda dan kaum tua ini. K.H. Mas Mansur, Konsul Muhammadiyah Surabaya, kemudian diminta untuk menjabat sebagai president HB Muhammadiyah.

Selain menjabat sebagai president HB Muhammadiyah, Haji Hisyam juga pernah menjabat sebagai Penghulu di kabupaten Magelang pada tahun 1937. Haji Hisyam meninggal dunia pada 20 Mei 1945. Mimpi Haji Hisyam mendirikan Universitas Muhammadiyah baru terwujud kira-kira 19 tahun pasca wafatnya. []


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Al Muwaththa’ dan Identitas Sunni Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas....

Suara Muhammadiyah

16 January 2024

Khazanah

Masyarakat Global Memerlukan Visi Ulang Kemanusiaan Oleh: Sudibyo Markus Setelah tertunda selama e....

Suara Muhammadiyah

17 May 2024

Khazanah

Wasiat KH Ahmad Dahlan: Muhammadiyah Harus Taklukkan Dunia! Oleh Mu’arif “Moehammadija....

Suara Muhammadiyah

22 November 2023

Khazanah

Pemikiran Hasan Al-Banna (Bagian ke-2) Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas A....

Suara Muhammadiyah

5 March 2024

Khazanah

Oleh Sudarnoto Abdul Hakim* Israel benar-benar sudah menjadi kekuatan politik yang bermasalah. Geno....

Suara Muhammadiyah

24 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah