Apa Gunanya Hadits? (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan
Hadits adalah sumber penjelasan Al-Qur’an, namun ada versi riwayat hadits yang berbeda. Maka wajar saja jika para ulama berusaha menyelamatkan semua hadits tersebut dengan memberikan tafsir yang akan memadukannya atau memberi ruang satu sama lain. Misalnya dalam hal ini wudhu—apakah sekali, dua kali, atau tiga kali. Dalam konteks ini, ulama lazimnya akan berkata, "Boleh jadi pada beberapa kesempatan, Nabi SAW berwudhu satu kali. Kadang beliau berwudhu dua kali, kadang tiga kali. Semua itu diperbolehkan bagi umat Islam." Kita umumnya berwudhu tiga kali, tapi kalau hanya sekali juga tidak apa-apa. Jadi kita bisa menghasilkan penafsiran seperti ini.
Terkadang kita menemukan penafsiran yang relatif rigid. Orang-orang mempunyai ingatan yang berbeda, dan ingatan mereka saling bertentangan. Tidak ada penafsiran rasional yang benar-benar dapat menyelamatkan semua riwayat tersebut. Kita harus mengakui bahwa ada kesalahan dengan ingatan manusia dan hal itu tidak salah. Itu sangat manusiawi, menunjukkan bagaimana kita adanya. Kita tidak bisa mengingat semuanya dengan tepat. Kita mempunyai ingatan yang sangat berbeda.
Ada kalanya orang-orang ingin menekankan hadits-hadits tertentu yang berdampak merugikan Al-Qur’an. Mereka mengklaim bahwa hadits tertentu sangat akurat, orang-orang yang meriwayatkannya penghafal yang sangat baik. Imam Bukhari sangat ahli dalam menyaring hadits sehingga apa yang telah dia nyatakan sahih sehingga banyak orang menerimanya. Tapi kita bisa melihat bahwa masyarakat sebenarnya salah mengingat beberapa hal. Yang harus dipahami juga adalah bahwa riwayat-riwayat ini umumnya ditransmisikan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda dengan maksud untuk meminimalkan rantai perawi. Semakin banyak perawi yang kita miliki, semakin besar kemungkinan adanya kesalahan. Semua orang menyadari hal ini.
Inilah sebabnya mengapa ulama menyebut sanad mata rantai emas (silsilah dzahabiyah), yang hanya terdiri dari tiga orang, yang berakhlak paling lurus. Karena semakin sedikit orang yang meriwayatkan, semakin kecil kemungkinan kesalahannya. Tetapi bagaimana cara mendapatkan orang yang sedikit ini? Yaitu ketika anak muda menemui orang tua untuk mendapatkan informasi.
Sebagai contoh, seorang pemuda memperoleh riwayat dari kakeknya di saat kakeknya sudah berusia lanjut. Pemuda ini juga hidup sampai usia lanjut. Dia kemudian mewariskannya kepada cucunya. Jadi beginilah cara kita mendapatkan lebih sedikit orang. Si kakek menjalani seluruh hidupnya bersama Nabi SAW, boleh jadi sejak dia masih muda. Dia hidup sampai usia lanjut. Di usianya yang sudah lanjut, dia mengatakan sesuatu yang sudah diketahui masyarakat; hal-hal yang dibicarakan, diperdebatkan, didiskusikan di kalangan masyarakat. Ada situasi di mana satu orang mengetahui satu aspek, dan orang lain mengetahui aspek lainnya. Dan seringkali, apa yang kita dapatkan dalam hadits adalah dua riwayat yang saling bertentangan. Untuk menyatukannya, kita harus berasumsi bahwa satu orang menginformasikan satu aspek dan orang lain memberitahukan aspek lainnya.
Kita bisa bertanya, "Mengapa ketimpangan atau kekurangan riwayat ini tidak dibereskan di saat kakek masih hidup ketika dia meneruskan riwayat ini kepada cucunya? Mengapa seorang kakek hanya menceritakan satu aspek dan kakek lainnya meriwatkan hal lainnya kepada cucunya?" Kedua kakek tersebut seharusnya mengetahui keseluruhan riwayat dan menceritakan keseluruhannya kepada cucunya, bahkan dalam bentuk ringkasan. Seharusnya orang tidak terlibat konflik seperti yang sering terjadi dalam banyak periwayatan hadits.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas