Fathimah Az-Zahra
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Fathimah adalah putri Nabi Muhammad SAW dan Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Nabi yang merupakan satu-satunya ibu dari anak-anak nabi yang masih hidup. Anak-anak Nabi dari istri lainnya tidak hidup untuk waktu yang lama. Satu-satunya pengecualian adalah Maria, seorang wanita Koptik yang melahirkan Ibrahim, tetapi dia juga meninggal sewaktu masih kecil.
Fathimah adalah salah satu dari empat putri yang lahir dari Khadijah, seorang wanita yang dinikahi Nabi sebelum menjadi seorang nabi. Fatimah lahir sekitar lima tahun sebelum Nabi menerima wahyu. Demikian pandangan dari sumber-sumber Sunni. Beberapa sumber Syiah menyebutkan kelahiran Fathimah sekitar lima tahun setelah wahyu pertama turun. Ini berarti bahwa Fathimah 10 tahun lebih muda.
Bagaimanapun, Fathimah sangat sedih sekaligus bingung ketika saudara-saudaranya yang lain meninggal. Beberapa anak laki-laki juga dilahirkan dari istri-istri Nabi, tetapi mereka tidak bertahan hidup. Kebanyakan meninggal saat masih bayi. Fathimah, menurut sumber Sunni, berusia 15 tahun ketika ibunya wafat. Itu menjadi momen yang sangat sulit untuk hidupnya juga.
Seringkali tahun wafatnya Khadijah digambarkan sebagai tahun kesedihan. Tetapi kita sering memahami ini sebagai masa kesedihan yang dialami Nabi Muhammad. Sangat sedikit kisah yang diceritakan dari sudut pandang seorang Fathimah muda. Menarik ini untuk dibahas lebih lanjut. Apa dampak meninggalnya Khadijah bagi seorang Fathimah?
Dalam beberapa tahun setelah wafatnya Khadijah, Nabi SAW hijrah ke Madinah. Segera setelah hijrah ini, tepatnya setelah perang Badar pada tahun 623, Nabi menikahkan Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Ali bukan orang asing bagi Fathimah sebab Ali adalah sepupu Nabi. Jadi Fathimah menikah dengan seseorang yang dia kenal dan hormati. Mereka menjalani kehidupan yang bahagia bersama, meskipun keadaan mereka cukup miskin. Banyak riwayat yang mengutarakan bagaimana Fathimah dan Ali menjalani hidup prihatin.
Ada kisah populer saat Fathimah menemui ayahnya Nabi SAW untuk meminta bantuan. Fathimah berharap ayahnya berkenan memberinya seorang pelayan atau asisten untuk membantunya di rumah. Mengapa Fathimah mengajukan permintaan ini? Terus terang karena dia melakukan banyak pekerjaan, tugas-tugas rumah tangga, dan sebagainya. Tentu saja ini dilakukan dengan suaminya, Ali. Fathimah berpikir dia bisa mendapatkan asistensi rumah tangga lewat jalur ayahnya.
Namun Nabi SAW lebih memperhatikan kepentingan umat, di antaranya ada juga orang-orang fakir dan miskin. Alih-alih memberikan privilege kepada keluarganya sendiri, Nabi menyerahkan beberapa orang pelayan kepada orang-orang lain di dalam masyarakat Muslim. Tetapi di sisi lain, Nabi mengajarkan Fathimah doa atau zikir untuk dibaca di malam hari guna mengurangi kelelahannya. Diriwayatkan Fathimah tidak lagi merasa lelah setelah dia mulai mewiridkan bacaan ini.
Sampai hari ini, kaum Muslimin mempraktikkan bacaan yang sama. Segera setelah shalat, umat Islam akan melafalkan Subhanallah (33 kali), Alhamdulillah (33 kali) dan Allahu Akbar (33 kali). Kemudian diikuti dengan, “Lailahaillallah wahdahula syarikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumitu wahuwa ala kulli syai-in qadir (Tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian). Fathimah selalu hidup dalam ingatan kita.
Ada perbedaan antara tradisi Sunni dan Syiah mentangkut Fathimah. Ini terkait dengan kronologi ketika dia dilahirkan. Jika kita mengikuti lintasan Sunni, maka Fatimah berusia sekitar 20 tahun ketika dia menikah. Jika kita mengikuti lintasan Syiah, dia berumur 10 tahun saat menikah.
Isu ini juga bakal menyinggung sosok Aisyah sebab dia juga menikah pada usia yang masih muda. Sebetulnya ini tidak hanya berkaitan dengan Aisyah, tetapi ini adalah sesuatu yang agaknya menjadi ciri khas zaman. Saat itu orang tidak ingat persis masa seseorang dilahirkan karena semuanya dilihat dalam lensa retrospeksi. Masyarakat menilai seseorang berdasarkan ingatan saja. Seringkali orang hanya menerka-nerka ke belakang kapan si fulan atau fulanah dilahirkan.
Meskipun demikian, perpecahan tumbuh lebih dalam dari sekadar soal disparitas usia. Di kedua sumber Sunni dan Syiah kita menemukan banyak pujian untuk Fathimah. Menurut sumber Sunni, misalnya, kita menemukan hadits Bukhari dan Muslim ucapan Nabi SAW,
“Fathimah adalah bagian dari diriku barang siapa yang menyakitinya maka ia telah menyakitiku.” Kita tidak akan menemukan posisi Sunni yang memusuhi Fathimah. Namun di sisi lain, kita mendapati dalam sumber-sumber Syiah bahwa Fathimah dianiaya dan bahkan dizalimi oleh sementara pemimpin terkemuka umat yang kemudian dikenal sebagai pendukung tradisi Sunni.
Jadi ada perbedaan pendapat seperti ini. Semua diskusi ini menyoroti perlunya kita saling memahami. Penting bagi kita untuk kembali ke sejarah, melihat sumber-sumbernya, dan mengakui ada hal-hal yang masih agak kabur. Beberapa hal dilakukan oleh orang-orang yang sudah tiada. Kita memohon agar Allah mengampuni siapa pun yang melakukan kesalahan dan mendamaikan hati semua Muslim.
Kita adalah salah satu tubuh umat Islam di seluruh dunia, dan kita melihat betapa Muslim hari ini terbelenggu dan terkepung. Jalan ke depan adalah kebutuhan persatuan bagi umat Islam, tidak lagi berperang sesama Muslim, dan untuk membela daerah perbatasan negara-negara Muslim dari serangan pihak luar. Agar itu bisa menjadi nyata, kita harus kembali ke sumber kita. Pahami akar perpecahan, lihat di mana perpecahan terjadi dan cobalah untuk memperbaiki keretakan atau kerusakan itu sebaik mungkin.
Sosok Fathimah sangat penting bagi Sunni dan Syiah dan dia adalah salah satu faktor penyatuan antara kedua aliran ini. Dia adalah ibu dari Hasan dan Husain, dua cucu Nabi SAW yang paling menonjol. Nabi SAW sebetulnya memiliki cucu-cucu lain juga, tetapi Hasan dan Husainlah yang sangat menonjol, dihormati dan dicintai.