Dahlan Menjawab Zamannya
Oleh: Saidun Derani
Dalam bukunya ”Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda (Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist under Dutch Kolonialism), karya Dr. Alfian, terbitan tahun 2010, menyimpulkan studinya bahwa Dahlan berhasil menjawab zamannya melalui ormas Islam Persyarikatan Muhammadiyah.
Alfian menyebutkan bahwa tantangan dan dasar lahirnya kelompok modernis di Indonesia adalah kemunduran Islam sebagai agama dan secara sosiologis keterbelakangan para pengikutnya, dua hal penyebab utama lahir dan perkembangan modernism Islam di Indonesia.
Sedangkan gelombang invasi intelektual, budaya dan politik Barat, serta masuknya gagasan-gagasan modernisme Islam dari luar negeri, terutama yang datang dari Mesir, menjadi faktor ketiga dan keempat. Indikasi ini terlihat dari tujuan, program kerja, dan akivitasnya di tengah-tengah rakyat Indonesia (hal.92).
Tampaknya yang menjadi persoalan pokok kelompok modernis Muslim di Indonesia adalah keinginan kuat mereka untuk membersihkan agama Islam dari semua unsur keagamaan yang tidak murni dan yang dari masa ke masa telah tersinkretisasikan ke dalamnya, dan untuk membebaskannya dari kekakuan mazhab sehingga ia sesuai dengan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dunia moderen yang maju.
Peran Muhammadiyah
Sekurang-kurangnya penelitian Alfian menyimpulkan bahwa ada tiga peran yang dimainkan Persyarikatan Muhammadiyah, yaitu 1. Sebagai reformis keagamaan, 2. Sebagai pelaku perubahan sosial,3. Sebagai kekuatan politik.
Sebagai reformis keagamaan, Muhammadiyah bertujuan memurnikan agama Islam dengan memberantas praktek-praktek takhayul dan bid’ah-bid’ah. Tetapi ketika Dahlan berdakwah di tengah-tengah masyarakat, beliau tidak pernah ”menghujat” perilaku ritual keagamaan masyarakat Muslim yang dipandang ”belum murni” itu. Jadi berbeda dengan cara dakwah penerus Dahlan sekarang yang cendrung ”rigid dan menghujat”.
Argumennya cukup sederhana. Kemurniaan itu lahir dan riil seiring dengan tingkat kemajuan pendidikan yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Sebab itu bagi Dahlan peningkatan kualitas SDM Muslim menjadi prioritasnya. Dengan cara-cara ini maka rakyat Indonesia tertarik bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah.
Sebagai pelaku perubahan sosial, Muhammadiyah bertujuan memodernisasi umat Muslim Indonesia agar terangkat dari ketertinggalannya mencapai tempat terhormat di dunia moderen. Untuk itu dia meningkatkan pendidikan Umat Muslim dengan menerapkan metode-metode dan sistem-sistem baru, dan merintis pekerjaan-pekerjaan dalam kesejahteraan sosial, seperti dalam bidang-bidang kesehatan dan penyantunan anak-anak yatim. Hal-hal ini mengindikasikan bahwa upaya Muhammadiyah untuk memainkan peranan pelaku perubahan sosial di Indonesia.
Sebagai kekuatan politik, peranan Muhammadiyah dapat dianalisis dari (1) pandangan filosofis Islam sebagaimana yang telah dianut oleh Muhammadiyah, (2) perkembangan Muhammadiyah sebagai sebuah kelompok kepentingan besar dalam politik Indonesia.
Secara filosofis, umat Muslim terutama kalangan reformis, diharapkan yakin bahwa Islam tidak memisahkan antara agama dan politik. Ia dipandang sebagai konstitusi yang tidak memisahkan antara bidang kekuasaan Tuhan (Allah) dan kekuasaan Kaisar, atau dalam hal itu antara bidang etika dan bidang hukum. Muhammadiyah berpegang teguh dengan pandangan ini.
Sebab itu berbicara dari aspek filosofis, Muhammadiyah sama sekali tidak dapat memisahkan dirinya dengan masalah-masalah politik sebagaimana yang ditunjukkannya oleh tujuan-tujuan dan kegiataan-kegiatannya yang nyata-nyata non-politik. Persoalannya bagaimana mengetahui Muhammadiyah benar-benar terlibat dalam politik. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisis perkembangan Muhammadiyah sebagai ”kelompok kepentingan”.
Latar Sosio-Politik Kelahiran
Barangkali sangat signifikan memperhatikan kejadian-kejadian penting di Indonesia menjelang kelahiran gerakan Persyarikatan Muhammadiyah 18 Nopember 1912 M di bumi Yogyakarta, Jawa tengah, pusat kejawen Jawa, yang mengkondisikan peranan Islam. Muhammadiyah salah satu di dalamnya, dalam politik Indonesia.
Pertama, berakhirnya Perang Aceh, yang dipandang Belanda perang yang paling lama dan banyak menghabiskan dana serta menimbulkan kerugian besar di kalangan meliter Belanda. Dengan demikian, penghentian Perang Aceh mengindikasikan kekuasaan Belanda secara aktual dan kuat di seluruh Indonesia.
Kedua, Perang Aceh yang berdarah-darah serta memakan waktu yang cukup lama itu menimbulkan peristiwa penting lain, yaitu datangnya seorang ahli Islam bernama Christian Snouck Hurgronje (1857-1936 M), seorang dan satu-satunya orang, yang bertanggungjawab sebagai arsitek Kebijakan Politik Islam Hindia Belanda yang terhadap koloni ini.
Tujuan utamanya adalah membentuk ”modus vivendi” abadi antara bangsa Indonesia yang umumnya Muslim dan penguasa kolonial mereka, sehingga penguasa itu dapat memerintah koloni ini dengan damai. Dapat dikatakan, bahwa hal ini dilakukan dengan menyenangkan para pemimpin mereka dan, pada saat yang sama, berupaya membujuk sebagian di antara mereka secara berangsur-angsur agar menghargai kebaikan-kebaikan peradaban Barat.
Melalui proses yang berangsur-angsur ini mereka diharapkan akan melepas diri dari kotak-kotak dogma dan sistem Islam yang ”sempit”, dan dengan menawarkan kepada mereka pilihan yang lebih baik dalam sistem nilai Barat sekular. Jadi target akhir kebijakan ini adalah menghancurkan akar-akar pengaruh Islam di kalangan masyarakat Indonesia secara evolusioner dan damai.
Sebenarnya kata Alfian, kebijakan Politik Islam ini merupakan kelanjutan dari kebijakan umum kolonial Belanda dikenal dengan ”Politik Etis”, yaitu untuk mendorong budaya Barat lebih lanjut ke dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ide dasarnya menurut inisiator dan pendukung gagasan ini adalah perlunya perubahan masyarakat Indonesia dari ciri-ciri statis, Islam, dan tradisional menjadi ciri-ciri yang dinamis, sekular, dan kebaratan.
Hal ini dipandang paling logis dan satu-satunya solusi yang menguntungkan demi tujuan mengamankan kolonialisme Belanda di Indonesia. Bagi mereka inilah cara terbaik untuk mempercepat proses perubahan untuk mengasosiasikan secara berangsur-angsur semakin banyak rakyat Indonesia dengan peradaban Barat itu sendiri. ”Gagasan Asosiasionis” inilah secara langsung terkait dengan kedua keabijakakn politik itu.
Di tengah percaya diri begitu tinggi akan keberhasilan kebijakan Politik Islam Hindia Belanda, namun hasil pahit yang tidak dibayangkan dan diharapkan, yaitu lahirnya nasionalisme Indonesia moderen, yang menimbulkan serangan yang mematikan terhadap harapan besar dibalik gagasan yang bersifat asosiasionis ini.
Jadi menjelang tahun 1912 kekuasaan Belanda yang terlihat kokoh atas seluruh kepulauan Indonesia, ternyata masih menghadapi musuh paling ditakutkan yakni munculnya nasionalisme Indonesia. Timbul pertanyaan, siapa yang menjadi pelopor kebangkitan kesadaran nasional Indonesia?
Dengan mengutip Indonesianis kelahiran Amerika, George McTurner Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, 1970, Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, jilid I, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, cet.ke-2, Oktober 2009, hal.335-336, mengatakan bahwa Kahin lebih menekankan faktor utama penyebabnya adalah Islam sebagai agama yang dianut mayoriti rakyat Indonesia. Dijelaskannya bahwa terbentuknya integritas nasional dan tumbuhnya kesadaran nasional di Indonesia dipengaruhi faktor utama berikut ini.
Pertama, terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia. Agama Islam dianut oleh 90 % penduduk dan tidak hanya dianut penduduk pulau Jawa, tetapi juga dipeluk oleh penduduk luar Jawa. Kesamaan keyakinan Islam ini menjadi dasar terbentuknya solidaritas perlawanan terhadap Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda sebagai penjajah yang melancarkan Politik Kritenisasi.
Kedua, Islam tidak hanya sebagai agama yang mengajarkan perlunya membangun jamaah. Islam juga sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah asing Barat. W.F. Wertheim mengatakan bahwa ketika terjadi penetrasi imprialis Katholik Portugis di Indonesia, hal ini mendorong raja-raja Hindhu dan Buddha, masuk Islam. Faktor imprialis Katholik Portugis atas India, merusak kekhidupan masyarakat Hindhu dan Buddha. Seterusnya proses pengaruh Islam semakin kuat dan meluas ketika terjadi penindasan imprialis Protestan Belanda menggantikan imprialis Katholik Portugis.
Ketiga, faktor lain yang mendorong terbentuknya integritas nasional adalah adanya perkembangan Bahasa Melayu Pasar berubah menjadi Bahasa Persatuan Indonesia. Perubahan ini terjadi sebagai akibat kebijakan Kerajaan Protestan Belanda dalam upaya melestarikan penjajahannya dengan menciptakan rasa rendah diri (inferiority) umat Islam Indonesia.
Kahin mengutip Bousquet mengatakan ”The real truth is that the Dutch desired and still desire to establish their superiority on a basis of native ignorance” (Sebenarnya dari Belanda adalah masih tetap berkeinginan untuk mempertahankan superioritas atas kebodohan pribumi).
Bousquet menambahkan bahwa guna menciptakan kondisi umat Islam tetap dalam kondisi inferiority pra kebangkitan kesadaran nasional, pemerintah kolonial Belanda melarang umat Islam menggunakan bahasa Belanda. Akibatnya umat Islam menjadikan bahasa Indonesia sebagai the terrible psychological weapon (senjata kejiwaan yang sangat ampuh) untuk mengekspresikan aspirasi perjuangan nasionalnya.(Kahin, 38-39; Ricklefs, 242)
Akan tetapi kata Ahmad Mansur Suryanegara, ketiga faktor utama tersebut dalam penulisan Sejarah Indonesia Periode Gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional, akibat deislamisasi sistem penulisannya, Islam tidak diakui sebagai pembangkit gerakan nasional. Dan hal-hal yang Ahmad MS sebutkan di atas luput dari pengamatan Alfian dalam bukunya itu.
Sebab itulah, baik Mohammad Natsir, Deliar Noer, maupun Ahmad MS, mengajak dan mengingatkan kaum akademisi Muslim untuk mempertimbangkan penulisan ulang sejarah Indonesia ataupun penulisan sejarah Islam Indonesia, yang di dalamnya termasuk sejarah Persyarikatan Muhammadiyah dalam konteks peranannya mengisi dinamika rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa sampai sekarang.
Domestikasi Islam Indonesia
Pad abad 18 Islam Indonesia mendapat dorongan kuat karena adanya peningkatan hubungan pusat-pusat Islam di Timur Tengah, terutama ribuan jamaah haji Indonesia ke Mekah. Sebagian mereka menetap ”muqimin” dan belajar di sana.
Demikianlah kota suci Mekah berfungsi ganda selain tujuan ibadat, ia juga menjadi sarana komunikasi lintas budaya, pusat studi ilmu keagamaan, dan wahana politik bagi jamaah haji Indonesia. Alfian menyimpukan bahwa mereka inilah yang paling bertanggungjawab atas revivalism Islam Indonesia dimulai pada abad itu.
Akan tetapi pendapat Alfian ini direvisi hasil penelitian Azyumardi Azra ”Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualauan Nusantara Abad 17-18, Akar Pembaharuan Islam Indonesia,Edisi Revisi, terbitan tahun 2004, yang menyebutkan bahwa benih-benih pembaharuan Islam di Indonesia sudah dimulai ulama Nusantara sejak abad 17 Masehi. Kemudian daya dorongnya atau akselerasinya semakin dipercepat dengan dibukannya terusan Suez pada abad 18.
Sejalan dengan perkembangan revivalisme ini militansi umat Muslim Indonesia semakin meningkat. Ini artinya, bahwa unsur santri dalam masyarakat Indonesia segera dilihat sebagai ancaman bagi kekuatan dan posisi tokoh tradisional sebagai pembela adat lokal dan membahayakan rezim kolonial Belanda.
Pada abad 19 para santri menunjukkan ”perlawanan” mereka dengan melancarkan sejumlah perang dan pemberontakan melawan para tokoh adat maupun Belanda, misalnya Perang Padri (1821-1838), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Cilegon tahun 1888, dan Perang Aceh (1873-1904).
Bahwa benar semua perlawanan yang dipelopori ulama ini berhasil dihancurkan Belanda (maksudnya kekalahan secara perang fisik), tetapi dibalik keberhaslan itu timbul kepedulian dan ketakutan kalangan birokrat Belanda yang pada akhirnya mereka sadar ketidaksiapan dalam menghadapi Umat Islam.
Dalam konteks menghadapi umat Muslim Indonesia, sikap para pejabat Belanda dibentuk oleh ketakutan mereka yang berlebihan dan harapan yang timbul dari pengetahuan mereka yang kurang memadai tentang masalah-masalah Islam. Belanda menganggap Islam dalam banyak hal sama dengan Katolik Romawi, yang ketat berhirarki (klarikal, ada tokoh tunggal semacam Paus di Vatikan yang perintahnya wajib ditaati bawahannya tanpa argumen).
Sebab itu dalam ketakutan semacam ini akhirnya mereka mengambil kebijakan beraliansi dengan para penguasa adat lokal (aristokrat: bangsawan, priyayi di Jawa), raja-raja tradisional, di seluruh wilayah koloni (Teuke di Aceh).
Terkadang berlebihan pula harapan akan dapat mmenghilangkan pengaruh Islam dan fanatismenya (rasa memiliki keagamaannya), sehingga mereka dapat secara cepat melakukan Kristenisasi sebagian besar rakyat Indonesia.
Bagi Harry Julian Benda, harapan berlebihan ini karena mereka yakin akan keunggulan agama Kristen terhadap Islam, selain bahwa hakikat sinkretik Islam Indonesia pada tingkat desa akan melahirkan konversi kepada agama Kristen. Ini asumsi yang salah kata Benda. Pada abad ke-19 kepercayaan semacam ini semakin didorong Partai-partai Kristen dalam Parlemen Belanda.
Segera pemerintah mengizinkan misi-misi Kristen-baik Katholik maupun Protestan untuk beroperasi di Indonesia, dan dana pemerintah disediakan untuk mensubsidi pekerjaan mesionari mereka (Harry JB, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada masa Pendudukan Jepang,Pustaka Jaya, 1980).
Kegagalan Politik Islam Snouck
Barangkali dalam konteks inilah memahami lahirnya kebijakan Politik Islam Hindia Balanda Konsepsi Christian Snouck Hurgronje (Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Tahun1985). Akan tetapi kebijakan politik Islam ala Snouck ini berhasil digagalkan KH. Ahmad Dahlan dengan brilian melalui aktivitas dan gerakan Persyarikatan Muhammadiyah.
Penutup
Membaca studi Alfian untuk mendapatkan gelar doktor politik di Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat (1969) di atas, hemat penulis, dapat diambil beberapa natijah, antara lain;
Pertama, para pendiri awal Persyarikatan Muhammadiyah terutama Dahlan sebagai tokoh panutannya, sangat memahami ”jiwa zaman” yang menjadi tantangan yang dihadapi, tempat mereka beramal. Jadi tidak sekedar hanya keinginan untuk beramal, tetapi benar-benar tahu ”karekteristik dan sosiologis” masyarakat yang menjadi ”objek” dakwahnya. Mereka paham betul hadits Nabi yang berbunyi ”ajari anak-anakmu untuk zaman mereka mendatang” dan ”berbicaralah dengan masyarakat sesuai alam pikiran mereka”. Ini artinya, ukuran keberhasilan amal usaha Persyarikatan Muhammadiyah yang dikelola penerus Dahlan sekarang adalah keberhasilan (out putnya) menjawab ”jiwa zamannya” atau ”tantangan zamannya”, suatu konsepsi yang dipopulerkan alm. Prof. Kuntowijoyo.
Kedua, para pendiri awal melihat Persyarikatan Muhammadiyah bukan merupakan tujuan akhir. Sebagai sebuah nilai instrumental fokus utama para pengelolanya mengangkat harkat dan martabat komunitas Muslim sebagai warga bangsa yang terhormat, yang mampu menghidupi diri sendiri tetapi juga ikut menghidupi organisasi tanpa kehilangan jati dirinya, ya sebagai muslim, ya sebagai bangsa Indonesia.
Ini artinya, out put amal usaha yang dikelola penerus Dahlan mampu menjadi pengarah gerak langkah dinamika bangsa Indonesia mau ke mana bangsa ini dibawa. Dalam konteks inilah Nusantara dilihat sebagai sebuah arena pertarungan ide, yang mengharuskan komunitas muslim dan anggota Persyarikatan Muhammadiyah di dalamnya memiliki ”kesadaran sejarah” seperti yang dikatakan Alfian di atas tadi dengan istilah ”kelompok kepentingan”.
Implikasi dari cara pandang yang cerdas para pendiri awal persyarikatan ini, para penerus Dahlan harus mafhum betul memetakan mana kawan dan mana lawan, dan menghilangkan atau menghiraukan perbedaan-perbedaan yang tidak prinsip serta sebanyak mungkin merangkul teman-teman yang seiring jalan dalam ”perahu” menuju titian seribu jalan Tuhan, Allah swt dan Rasul-Nya, Muhmmad saw.
Cara berpikir penerus Dahlan yang bersifat sektoral dan parsial akan tergilas roda zaman yang bersifat mondial (global) sekarang ini. Kamus Muhammadiyah mampu sendiri menyelesaikan persoalan bangsa Indonesia penulis pikir bertolak belakang dengan ajaran-ajaran yang dititipkan pendiri awal organisasi ini.
Ketiga, kunci pokok keberhasilan para pendiri awal Persyarikatan Muhammadiyah menjawa ”jiwa zamannya” adalah kesamaann persepsi dan pola pikir dalam langkah geraknya menggelinding roda organisasi yang bersifat prinsip (fundamental). Sedangkan yang bersifat instrumental (kasuistis) sangat bergantung kondisi di lapangan. Demikian allah ’alam bishshawab.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UM-T dan aktivis PWM Banten Tahun 2022-2027