Mukjizat dan Misi Kenabian
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Kenabian dan kerasulan merupakan dua konsep fundamental dalam ajaran Islam yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan mukjizat. Seorang nabi atau rasul tidak hanya bertugas menyampaikan wahyu, tetapi juga membawa bukti otentik berupa mukjizat yang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar diutus oleh Allah SwT.
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak seorang nabi pun kecuali ia diberi beberapa mukjizat yang tak bisa diserupai oleh apapun sehingga manusia mengimaninya, dan sesungguhnya yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu yang Allah wahyukan kepadaku, maka aku berharap menjadi manusia yang paling banyak pengikutnya di hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Mukjizat bukanlah sekadar peristiwa luar biasa yang menakjubkan, melainkan manifestasi langsung dari kekuasaan Allah SwT yang melampaui hukum-hukum alam. Ia berfungsi sebagai jembatan antara alam fisik dan alam ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Dalam setiap mukjizat yang terjadi, terdapat tanda-tanda kebesaran Tuhan yang menggugah jiwa dan mengarahkan hati manusia kepada kebenaran yang hakiki, yaitu Allah SwT.
Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda (mukjizat), melainkan karena orang-orang dahulu telah mendustakannya. Dan Kami telah memberikan kepada Tsamud unta betina yang nyata sebagai mukjizat, tetapi mereka menzaliminya. Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti. (Al-Isra’ [17]: 59)
Orang-orang yang tidak mengetahui berkata: 'Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kita atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kita?' Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka. Hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami) kepada kaum yang yakin. (Al-Baqarah [2]: 118)
Dan apabila datang kepada mereka suatu ayat (mukjizat), mereka berkata: 'Kami tidak akan beriman hingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang diberikan kepada rasul-rasul Allah.' Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Kelak orang-orang yang berdosa akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena mereka selalu membuat tipu daya. (Al-An'am [6]: 124)
Lebih jauh, mukjizat juga berfungsi sebagai alat untuk membuka mata hati manusia agar tidak hanya terpaku pada logika duniawi yang terbatas. Banyak manusia yang hidup dalam keterbatasan pikiran dan sering kali terjebak dalam penafsiran sempit tentang realitas kehidupan.
Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (Al-Anbiya’ [21]: 69).
Ketika Nabi Ibrahim AS dihukum dibakar hidup-hidup karena menghancurkan berhala-berhala kaumnya, secara logika manusia biasa, ia pasti binasa dalam kobaran api besar. Namun, Api yang panas membara berubah menjadi dingin dan tidak membakar Nabi Ibrahim sama sekali. Mukjizat ini mengguncang cara berpikir manusia yang menganggap hukum alam (api pasti membakar) sebagai satu-satunya realitas. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan Allah melampaui hukum alam dan menumbuhkan kesadaran spiritual bahwa ada kekuatan ilahiyah di balik segala peristiwa.
"...dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah..." (Ali Imran [4]: 49).
Secara ilmu medis, kematian adalah akhir dari kehidupan biologis, dan tidak ada manusia yang mampu menghidupkan kembali orang mati. Namun, dengan izin Allah SwT, Nabi Isa AS menghidupkan orang mati sebagai bukti kenabiannya.
Maka Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu." Maka terbelahlah lautan itu, dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (Asy-Syu’ara [26]: 63)
Peristiwa ini menunjukkan kekuasaan Allah SwT yang tidak dapat dijelaskan dengan logika manusia biasa. Laut yang secara hukum alam tak mungkin terbuka, bisa terbelah atas izin Allah SwT sebagai bukti kenabian Musa dan perlindungan terhadap kaumnya.
Kisah Nabi Shaleh AS juga merupakan contoh kuat dalam Al-Qur’an tentang bagaimana mukjizat digunakan untuk membuka mata hati manusia yang terbelenggu oleh logika duniawi dan tradisi nenek moyang yang keliru.
Mereka berkata, "Sesungguhnya engkau hanyalah salah seorang yang kena sihir. Engkau tidak lain hanyalah manusia seperti kami. Maka datangkanlah suatu tanda (mukjizat) jika engkau termasuk orang yang benar.” (Asy-Syu‘ara [26]: 154–155)
Sebagai jawaban atas tantangan itu, Allah SwT mengabulkan permintaan mereka dengan mengeluarkan seekor unta betina dari batu besar, sebuah peristiwa yang mustahil secara logika dan sains biasa.
Shaleh berkata, "Ini seekor unta betina, dia mempunyai giliran untuk mendapat air minum, dan kamu mempunyai giliran pada hari tertentu untuk mengambil air. Dan janganlah kamu menyentuhnya dengan gangguan apa pun, agar kamu tidak ditimpa azab pada hari yang dahsyat." (Asy-Syu‘ara [26]: 155–156)
Namun, meski telah melihat mukjizat tersebut dengan mata kepala mereka sendiri, kaum Tsamud tetap membangkang dan menyembelih unta tersebut, hingga akhirnya Allah SwT menurunkan azab yang mengerikan.
Lalu mereka menyembelihnya, kemudian mereka menjadi menyesal. Maka mereka ditimpa azab. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan dari mereka tidak beriman. (Asy-Syu‘ara [26]: 157–158)
Dalam konteks inilah mukjizat hadir sebagai sebuah wahyu yang menembus batas pemahaman akal manusia, mengundang manusia untuk berpikir lebih dalam tentang asal-usul kehidupan, tujuan hidup, dan kehidupan setelah mati. Mukjizat mengingatkan bahwa ada dimensi kehidupan yang lebih luas, yaitu kehidupan spiritual yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan akal dan ilmu pengetahuan duniawi semata.
Maka (Musa) melemparkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat itu (berubah menjadi) ular yang nyata. Dan dia menarik tangannya, maka ketika itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya. (Al-A'raf [7]: 107–108)
Kaum Fir'aun pada masa itu sangat menjunjung tinggi ilmu sihir dan rasionalitas yang terikat pada keajaiban buatan manusia. Ketika Nabi Musa menunjukkan mukjizat dari Allah SwT, yang melampaui batas nalar dan kemampuan manusia, mereka tercengang. Bahkan, para pesihir yang sebelumnya menentang Musa akhirnya bersujud karena menyadari bahwa apa yang ditunjukkan Musa bukan sihir biasa, tetapi tanda kekuasaan Tuhan.
Dalam mukjizat, terkandung pesan-pesan spiritual yang dalam, mengarahkan manusia untuk kembali kepada keimanan yang murni dan tulus. Setiap mukjizat mengajak umat manusia untuk menundukkan diri di hadapan kebesaran Allah SwT dan meresapi betapa besarnya kasih sayang-Nya yang tercermin dalam setiap peristiwa yang menakjubkan tersebut. Dengan demikian, mukjizat bukan hanya menjadi pembuktian atas kebenaran risalah kenabian, tetapi juga sebagai panggilan untuk kembali ke jalan yang benar, jalan yang mengarah pada kedamaian, kebahagiaan, dan keselamatan dunia akhirat.
Sejarah kenabian mencatat bahwa para penentang sering kali menggunakan logika rasional untuk meragukan kenabian. Mereka mempertanyakan otoritas kenabian dengan argumen yang berpijak pada akal, kebiasaan sosial, dan tradisi nenek moyang yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Dalam pandangan mereka, seorang nabi hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki keistimewaan jika tidak dibuktikan dengan sesuatu yang luar biasa.
Maka berkatalah pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya, ''Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi lebih mulia daripada kamu. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia menurunkan malaikat. Kami tidak pernah mendengar (yang seperti ini) pada masa nenek moyang kami yang dahulu." (Al-Mu’minun [23]: 24)
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus seorang pemberi peringatan pun sebelum kamu dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Az-Zukhruf [43]: 23)
Di sinilah mukjizat memainkan perannya. Ia hadir untuk melemahkan argumentasi rasional yang dangkal dan membuka pintu pemahaman yang lebih tinggi, yaitu pemahaman spiritual. Mukjizat menjadi bukti yang tidak bisa disangkal oleh akal sehat, sekaligus menunjukkan bahwa ada kekuatan di luar jangkauan logika manusia. Ia memaksa manusia untuk mengakui keterbatasan dirinya dan menerima bahwa kebenaran sejati tidak selalu dapat dijangkau melalui rasionalitas semata.
Para rasul datang membawa mukjizat untuk merombak sistem berpikir yang telah lama menyesatkan manusia. Mereka menghadapi budaya yang dibentuk oleh kepercayaan terhadap dukun, tukang sihir, dan sistem sosial yang penuh dengan penindasan dan ketidakadilan. Mukjizat yang mereka bawa menjadi pemicu perubahan, membongkar tatanan jahiliyah, dan mengembalikan manusia kepada fitrahnya yakni menyembah Tuhan yang Esa dan hidup dalam keadilan serta kasih sayang.
Dalam setiap kisah kenabian, kita melihat bagaimana mukjizat mampu menyentuh hati manusia dan menembus kesadaran kolektif umat. Mukjizat bukan hanya untuk menunjukkan kekuatan, tetapi untuk membimbing, mengarahkan, dan membangkitkan kesadaran spiritual masyarakat. Ia hadir sebagai bentuk kasih sayang Allah SwT kepada umat-Nya agar mereka tidak terus-menerus tersesat dalam kegelapan pikiran dan kesombongan intelektual.
Rasulullah Muhammad SaW diutus dalam konteks masyarakat Arab yang sangat menjunjung tinggi sastra dan kefasihan berbahasa. Di tengah budaya yang mengagungkan puisi dan retorika, mukjizat yang beliau bawa pun hadir dalam bentuk yang paling sesuai dan relevan yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini merupakan mukjizat bahasa yang tidak tertandingi, meski secara lahiriah menyerupai karya sastra, namun isinya jauh melampaui produk intelektual manusia mana pun.
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Al-Isra'[17]: 88)
Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak memenuhi tantanganmu, maka (katakanlah), “Ketahuilah, bahwa (Al-Qur'an) itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (masuk Islam)?” (Hud [11]: 13-14)
Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya? Katakanlah, "Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur'an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (Yunus [10]: 38)
Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah [2]: 23-24)
Al-Qur’an bukan hanya indah dalam susunan katanya, tetapi juga dalam makna dan hikmah yang dikandungnya. Ia menawarkan pandangan hidup yang utuh, mencakup dimensi spiritual (QS. 98: 5), sosial (QS. 76: 8), ekonomi (QS. 2: 275), dan moral (QS. 16: 90).
Di saat masyarakat Arab hanya sibuk dengan keindahan kata dan permainan retorika, Al-Qur’an datang untuk membongkar kejumudan intelektual itu dan memperkenalkan paradigma baru yang lebih mendalam dan visioner.
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Al-Isra'[17]: 36)
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul." Mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya)." Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (Al-Maidah [5]: 104)
Al-Qur’an memainkan peranan penting dalam perubahan intelektual dan peradaban manusia. Ia tidak hanya membawa ajaran spiritual, tetapi juga menjadi sumber pembebasan akal dari belenggu kebodohan dan kesesatan. Dengan kandungannya yang penuh hikmah, Al-Qur’an mengikis penyimpangan pemikiran dan membongkar akar-akar jahiliyah yang telah mengakar kuat dalam masyarakat saat itu.
Transformasi yang ditawarkan Al-Qur’an berlandaskan pada prinsip tauhid dan penghambaan total kepada Allah SwT. Dengan mengajak manusia untuk meletakkan seluruh harapan, ketundukan, dan cita-cita hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Al-Qur’an membebaskan manusia dari dominasi sesama makhluk. Inilah revolusi intelektual dan spiritual yang menjadikan manusia berpikir, merenung, dan menata kembali orientasi hidupnya dengan dasar iman dan akal yang jernih.
Karena itu tepatlah apa yang dikatakan Bertlenley Start Helier, bahwa sesungguhnya Al-Qur'an inilah yang telah meningkatkan akal jutaan manusia, yang selalu meninggalkan intelektualitas bangsa yang terbelakang, mengembangkannya di tengah-tengah mereka akan hakikat yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia pada segi agama, kemasyarakatan, akhlak dan lingkungan.
Lebih dari itu, Al-Qur’an menjadi bukti bahwa mukjizat kenabian tidak selalu harus bersifat fisik. Mukjizat bisa juga hadir dalam bentuk ilmu dan hikmah yang abadi. Bahkan hingga hari ini, Al-Qur’an tetap menjadi sumber inspirasi, pedoman hidup, dan tantangan bagi siapa pun yang mencoba menandinginya. Inilah salah satu keistimewaan mukjizat Rasulullah SaW, ia tidak hanya hadir untuk satu zaman, melainkan untuk seluruh umat manusia sepanjang masa.
Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik." Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)." Katakanlah (Muhammad), "Apakah (patut) aku mencari tuhan selain Allah, padahal Dialah Tuhan bagi segala sesuatu. Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendiri yang bertanggung jawab. Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan." (Al-An'am [6]: 161-164)
Firman-firman Allah SwT ini merupakan pesan yang universal dan abadi, yang berlaku tidak hanya bagi umat Islam pada zaman Nabi Muhammad SaW, tetapi juga untuk seluruh umat manusia sepanjang masa melampaui batas geografi, budaya, dan era.
Dengan demikian, mukjizat bukan hanya alat pembuktian, tetapi juga media transformasi. Ia mengubah cara berpikir, menggugah kesadaran, dan membawa manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya. Dalam setiap mukjizat yang dibawa para nabi, terkandung pesan cinta dan petunjuk dari Allah SwT kepada hamba-Nya. Dan dalam mukjizat Al-Qur’an, kita menemukan rangkuman dari seluruh mukjizat kenabian sebelumnya berupa petunjuk yang sempurna bagi mereka yang mau berpikir dan merendahkan hatinya di hadapan kebenaran.