Dualisme Putusan MK, Kesehatan Otak, dan Ketaatan Hukum

Publish

4 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
642
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Dualisme Putusan MK, Kesehatan Otak, dan Ketaatan Hukum 

Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan

“Errare humanum est, 

perseverare diabolicum.

Berbuat kesalahan itu manusiawi, 

mempertahakan kesalahan itu perbuatan iblis”.

(Lucius Annaeus Seneca, filsuf, 4 SM – 65 M)

Alkisah, pada suatu hari Nabi Muhammad bertanya kepada seorang perempuan tua, “Dimanakah Tuhan itu berada?” Perempuan tua tadi mengacungkan tangan dengan jari telunjuknya menunjuk ke atas, ke langit. Jawaban perempuan tadi dibenarkan oleh Nabi. Para sahabat mengkritik dan menyanggah pembenaran Nabi, karena mereka bukan orang yang “yes man”. Sebab, menurut para sahabat Nabi, pembenaran Sang Nabi itu tidak sesuai dengan kitab suci, bahwa Tuhan itu ada dimana-mana, tidak hanya di atas. Dengan arif bijaksana Nabi menanggapi kritikan dan sanggahan para sahabat, dengan alasan perempuan tua itu tahunya ya cuma itu ! (Madjid, 2016).

Andaikata, Sang Nabi masih hidup di zaman now, kira-kira tanggapan beliau begini, “Gue harus taken for granted bro, karena perempuan tua itu taunya cuman itu doang. Gitu loh !”.

Orang kadang lupa, Nabi Muhammad punya sifat smart, cerdas, fathanah. Selain itu juga beliau punya sifat sidiq (lurus), jujur (mengatakan apa yang telah dilakukan) dan berintegritas (melakukan apa yang telah dikatakan), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan pesan kebenaran atau tabligh. Dalam bahasa kesehatan, Sang Nabi adalah contoh konkret manusia yang sehat rohani. Perilaku beliau bernilai di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Tidak hanya sampai di situ, menurut Nurcholish Madjid, beliau telah mencapai taraf bugar rohani atau dalam bahasa Inggrisnya moral fitness !

Putusan MK No. 90/2023 menjadi dasar pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres mendapingi Prabowo Subianto. Melalui putusan itu, MK menetapkan warga negara yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres maupun cawapres asalkan pernah/sedang menduduki jabatan dari hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Saat didaftarkan ke KPU, Gibran berusia 36 tahun, tetapi sedang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

Dulu, pada zaman Orde Baru, belum Pemilu diadakan, rakyat sudah tahu partai politik pemenangnya, demikian pula siapa presidennya. Now, putusan MK belum dibacakan, rakyat sudah tahu apa isi putusannya, demikian pula siapa yang diuntungkan dengan isi putusan MK itu. Siapa dulu dong Oom-nya. Maka, rakyat pun tidak berlebihan bila menduga jangan-jangan di Pemilu 2024 nanti,  sudah tahu siapa Wapresnya yang terpilih. 

Jabatan Wapres adalah jabatan “ban serep”, baru berfungsi jika “ban yang beneran” Presiden, mengundurkan diri, meninggal atau dimakzulkan karena melanggar konstitusi. Di AS rakyat pun “kurang menghargai” Wapres karena Wakil kata orang Jawa ming nggo awak karo nggo sikil. Di Indonesia, Wapres yang dikenang rakyat adalah Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX, beliau berdua berani mengundurkan diri dari jabatan Wapres karena berbeda “pandangan politik” dengan Sang Presiden. Namun hubungan personal beliau dengan Presiden tetap baik, tidak bermusuhan demi NKRI, tetap menjaga Persatuan Indonesia, bukan Per-sate-an Indonesia.

Prabowo Subianto usianya dua kali lipat umur Gibran Rakabuming Raka. Kata pepatah, “Dalam laut dapat diduga, dalam hati (Gibran) siapa yang tahu”. Siapa tahu ada yang berharap Pak Presiden cepat meninggal, dengan demikian Mas Gibran akan naik tahta menjadi Presiden RI. Sehingga Gibran bisa “unjuk gigi” Presiden RI orang muda. Kata Bung Karno, berikan beliau 10 orang muda akan beliau cabut gunung Semeru. Dengan dibantu 10 orang muda, Presiden RI yang orang muda, akan mencabut gunung Semeru. Tenane? Wong cabut giginya sendiri saja minta tolong sama Dokter Gigi. Tapi kita tunggu saja kalau nanti mas Gibran menang, siapa tahu memang bisa mencabut gunung.

“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati”, demikian penggalan lirik lagu “Ibu Pertiwi”, karya Ismail Marzuki, 1908. Beberapa waktu yang lalu, putusan No. 90/2023 diajukan ke MK agar diadakan uji materi di MK dan teregister sebagai perkara nomor 141/PUU-XXI/2023. Perkara yang diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).

Menurut paparan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, saat membacakan pertimbangan putusan perkara No. 141/PUU-XXI/2023, dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, bahwa “Sosok calon presiden dan calon wakil presiden haruslah figur yang matang secara emosional, kompeten secara fisik ataupun mental, dan intelek dalam pemikiran serta haruslah figur yang dapat menjadi katalisator pemersatu bangsa. Oleh karena itu, jika diperlukan perubahan rumusan alternatif syarat batas usia minimal menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, berdasarkan penalaran yang wajar adalah dapat dipilih pernah menjabat gubernur sebagai persyaratannya kemudian ditentukan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang sebagai bagian dan kebijaksanaan hukum terbuka (opened legal policy)”.

Meski demikian, MK menyatakan menolak permohonan Brahma Aryana, Brahma meminta MK menyatakan putusan perkara No. 90/PUU-XXI/2023 tidak sah karena mengandung cacat formil dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena diputus dengan membuka ruang intervensi dan benturan kepentingan.

Putusan MK menimbulkan dualisme pertimbangan hukum antara putusan 90 dan putusan 141. Dalam putusan 90, MK menyatakan setiap warga negara yang pernah menjabat/sedang menjabat sebagai kepala daerah termasuk walikota bisa mencalonkan diri sebagai capres-cawapres. Namun dalam putusan 141, menyatakan jenjang yang tidak terlalu jauh dari jabatan presiden, yaitu gubernur. Untuk itu, MK mempersilahkan pembentuk undang-undang untuk mengubah itu.

Menurut Aloysius Soni BL de Rosari (2010), Editor Buku “Penegakan Hukum Progresif Satjipto Rahardjo”, bahwa  Satjipto Rahardjo di sepanjang hayatnya adalah konsisten menghadirkan hukum yang memerdekakan dan manusiawi. Bagi Satjipto, hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.

Manusia selaku aktor penting dan utama di belakang kehidupan hukum tidak hanya dituntut mampu menciptakan dan menjalankan hukum (making the law), tetapi juga keberanian mematahkan dan merobohkannya (breaking the law) manakala hukum tidak sanggup menghadirkan roh dan substansi keberadaannya, yakni menciptakan keharmonisan, kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.

Realita yang ada selama ini, hukum dipahami hanya sebatas rumusan undang-undang, kemudian implementasinya sekedar menerapkan silogisme. Aparat penegak hukum dipaksa bahkan ada yang demi aman sengaja menempatkan diri hanya menjadi corong undang-undang tanpa ada ruang dan kemauan untuk bertindak progresif.

Masyarakat pun terpojok. Wajib hukumnya untuk mengindahkan segala ketentuan hukum, sekalipun hukum itu nantinya  merampas kemerdekaannya, menindas hak-haknya yang paling asasi, hingga menjadi alat kejahatan penguasa terhadap rakyat. Hal ini pula yang terjadi dengan Omnibus Law, UU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja), UU Kesehatan nomor 17 tahun 2023 dan produk UU lain yang serupa.

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam pidato kebangsaan “Berguru Kepada Pahlawan Bangsa” yang disampaikan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, 10/11/2023, menyebut pahlawan sebagai orang yang melakukan perbuatan nyata bagi masyarakat serta berjasa terhadap kepentingan bangsa dan negara. Mereka berjuang baik dalam perjuangan bersenjata, perjuangan politik, maupun perjuangan di bidang lain, untuk mencapai kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Sosok pahlawan, adalah mereka yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela serta berkorban jiwa (nyawa) dan rasa pamrih demi Indonesia. Mereka tidak meminta imbalan dan tidak berharap balas jasa. Sosok pahlawan merupakan figur negarawan sejati yang berbakti untuk negeri tanpa meminta kompensasi.

“Mereka tidak menggerogoti, mengeksploitasi, menyiasati, menyalahgunakan, dan menjualbelikan Indonesia demi kepentingan diri, kroni, dinasti, golongan sendiri, serta segala hasrat sesaat dengan mengatasnamakan kepentingan Indonesia”, ungkap Haedar.

Para pahlwan juga menjunjung tinggi nilai utama yang menjadi fondasi negeri, mempertahankan demokrasi, dan berdiri tegak di atas konstitusi. Mereka disebut sebagai sosok yang rendah hati dan tidak angkuh diri. Cita-citanya hanya satu, menjadikan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam limpahan rida Ilahi.

Merujuk pada kata Seneca sebagaimana di awal tulisan ini, bahwa berbuat kesalahan itu manusiawi, mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Maka, jika sudah tahu itu perbuatan salah, lalu mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah, itu perbuatan setan (contohnya korupsi berjamaah). Setan itu kata sifat, bukan kata benda. Oleh karena itu, setan bisa berwujud jin atau manusia yang berperilaku setan !

Lewat kitab suci Tuhan memberikan informasi kepada manusia, bahwa setan (jin atau manusia berperilaku setan) menggoda manusia dari arah depan, belakang, kanan dan kiri, dengan cara memperpanjang angan-angan dan memperindah perbuatan keji. 

Maka, “Berhati-hatilah dengan pikiranmu; sebab akan menjadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-katamu; sebab akan menjadi perbuatan. Berhati-hatilah dengan perbuatanmu; sebab akan menjadi kebiasaan. Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu; sebab akan menjadi watak. Berhati-hatilah dengan watakmu; sebab akan menentukan nasibmu. Watch your thoughts; they become your words. Watch your words; they become your actions. Watch your actions; they becomes your habits. Watch your habit; they become your character. Watch your character; they become your destiny”.

Otak Sehat, Otak Normal, dan Tantangan Ketaatan Hukum

Kata pepatah, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Sayang, bahasa Indonesia kita miskin. Hanya mengenal sehat jasmani dan sehat rohani. Kesehatan adalah keadaan sehat jasmani (fisik), sehat nafsani (jiwa atau mental), sehat rohani (spiritual atau maknawi), dan sehat mujtama’i (sosial) yang memungkinkan seseorang hidup produktif baik secara ekonomi maupun sosial.

Abad XXI adalah abad otak, the century of the brain. Otak dan perilaku saling terkait, kedua-duanya sangat kompleks, dan secara evolusioner kedua-kedua berjalan bersama-sama. Setiap perilaku, baik pikiran, perasaan, atau tindakan manusia berasal di dalam otak. Otak merupakan sumber fisik perilaku dan bertindak sebagai pusat komando pengendalian perilaku (Aswin, 1995).

Keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, tetapi sejauh mana otak dapat berfungsi. Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia (Pasiak, 2003).

Belum ada definisi konkret tentang otak sehat. Secara sederhana, otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial (Machfoed,2016).

Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungis secara baik, tetapi juga memilki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehinggga ia melampaui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016). 

Dampak hanya mengenal dua kosa kata, yaitu sehat jasmani dan rohani, maka para pasien gangguan jiwa (mental atau nafsani) mendapat stigma (cap buruk) dan diskriminasi, karena dianggap sakit atau gangguan rohani. Lalu siapa yang sesungguhnya sakit rohani? Para koruptor ! Contoh lain, yang merekayasa persyaratan Capres dan Cawapres agar sang keponakan bisa jadi Cawapres. Hal ini bisa terjadi karena yang “mengerjain” persyaratan itu agar bisa berubah, hanya menggunakan otak normal daripada otak sehat. Dengan kata lain, tidak sehat rohani. 

Ada hal yang menarik, adanya persamaan antara gangguan nafsani dengan gangguan rohani taraf berat, yaitu insight (tilikan diri) mereka jelek, dengan kata lain tidak mampu mawas diri bahwa dirinya sedang sakit. Pada pasien gangguan nafsani taraf berat, sehingga perlu dirawat inap di RS Jiwa, para pasien gangguan nafsani itu akan mengatakan bahwa yang sakit itu, justru para dokter dan para perawat, bukan dirinya. Dirinya merasa baik-baik saja !

Maka, tidak mengherankan bila Anwar Usman yang telah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran etik berat, bersikap pantang mundur dengan mengatakan, ia korban fitnah dan pembunuhan karakter. Bahkan membuat “lelucon” memperkarakan Ketua MK Suhartoyo, ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dapat sebutan Yang Mulia tapi perilakunya tidak mulia, layakkah disebut sehat rohani. Jika memang berniat akan menjaga harkat martabat dirinya, lebih baik mengundurkan diri. Jika tetap bertahan menjadi Hakim MK, tidak berlebihan bila dirinya dinilai oleh masyarakat, hanya mempertahankan harkat “martabak”-nya semata mata !

Hal serupa juga terjadi pada diri Gibran (mohon maaf, “tukang tadah” hasil penyeludupan aturan hukum) dan para pendukungnya. Mereka akan gencar mengatakan kepada para pemilih, bahwa dirinya difitnah. Para pemilih agar tidak memperdulikan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Para pemilih dibuat agar tidak peduli masalah etik dan moralitas. Terjadilah “epidemi” sakit rohani di kalangan para pemilihnya. Dengan kata lain, NKRI menjadi “RS Rohani” raksasa! Jika Gibran merasa sehat rohani dan mau menggunakan otak sehatnya, pasti akan mempertimbangkan  opsi mengundurkan diri. Rasanya-pun hal itu lebih terhormat. Buat dia dan ayahnya juga, supaya sejarah mencatat Presiden Jokowi adalah ksatria yang ketika berkuasa hanya memihak rakyat, bukan partainya saja apalagi sanak saudaranya.

Kata pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Itu dulu. Bisa jadi zaman now, jika mas Gibran jadi wapres, “Guru (Gibran) kencing berdiri, murid (rakyat) mengencingi guru (Gibran)”. Hal ini terjadi karena guru (Gibran) ora bisa digugu lan ditiru. Jika kelak terpilih menjadi Wapres, akan terjadi sinisme di kalangan masyarakat, Mas Wapres hanya berotak normal, tidak berotak sehat. Singkat kata, tidak sehat rohani karena perilakunya mengabaikan etik dan moral !

Menurut Andy R Wijaya, Advokat, Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah 2010 – 2015 & 2015 – 2022, bahwa ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum yang hanya sebatas keterpaksaan dapat runtuh ketika keteladanan tidak lagi ditemukan. Kondisi rapuh itu berpotensi menimbulkan pembangkangan hukum.

Klasifikasi ketaatan hukum, Andy mengutip pendapat Leopold Pospisil (1971), membaginya menjadi tiga. Pertama, ketaatan complience, yaitu taat karena adanya sanksi jika melakukan pelanggaran.

Kedua, ketaatan identification, yaitu taat karena adanya kepentingan dengan pihak lain. Ketiga, ketaatan internalisasi (internalization), yaitu ketaatan karena memang aturan yang dijalankan itu sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

Dalam indeks ketaatan hukum, ketaatan internalisasi merupakan cita ideal yang diharapkan. Keberadaannya akan menciptakan kultur hukum yang diidam-idamkan masyarakat.

Masyarakat mengagungkan sebuah tatanan sosial yang berjalan dengan kultur hukum ideal. Hal itu mempengaruhi aktivitas kehidupan, baik aktivitas keagamaan, usaha perekonomian, maupun aktivitas sosial dan budaya.

Dalam kultur hukum ideal, tiap-tiap anggota masyarakat dapat dengan tulus mewujudkan sebuah peradaban sosial yang menjunjung tinggi ketaatan pada hukum.

Pada tataran ini, masyarakat memiliki tingkat ketaatan yang tinggi pada pemerintah. Aparat penegak hukum tidak banyak bekerja menangani pelanggaran hukum. Pada saat yang sama, masyarakat dapat hidup sejahtera, sebagaimana tujuan negara didirikan.

Adapun cita paling minimal adalah ketaatan compliance. Pada kondisi ini, masyarakat tertib, menjungjung tinggi ketaatan hukum, meskipun ketaatan tersebut penuh dengan keterpaksaan.

Keterpaksaan itu bisa jadi dikarenakan tidak ada keyakinan warga terhadap aturan yang ada. Bisa juga dikarenakan substansi hukum “tidak satu frekuensi”. Lebih dari itu, juga bisa dikarenakan tidak selarasnya das sollen (apa yang seharusnya ada) dengan das sein (apa yang senyata ada).

Derajat ketaatan yang paling bawah ini terancam roboh bila masyarakat sudah tidak menemukan keteladanan hukum. Bahkan, bisa terjadi pembangkangan hukum,  tulis Andy mengutip pendapat John Rawis (1971).

Pembangkangan hukum bisa diartikan sebagai gerakan atas ketidakpuasan masyarakat melihat kebijakan pemerintah atau fenomena hukum yang dirasakan keluar dari cita ideal. Fenomena ini terjadi karena ketidakselarasan antara das sollen dan das sein.

Pembangkangan hukum ini bukan berarti pembangkangan sipil seperti aksi mogok massal dengan disertai demontrasi. Pembangkangan hukum mewujud dalam bentuk keengganan masyarakat untuk melaksanakan peraturan.

Pembangkangan hukum bukan seperti pembangkangan sipil (civil disobedience) yang dipenuhi gerakan protes dari masyarakat sipil secara terang-terangan. Pembangkangan hukum merupakan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh individu-individu yang mencerminkan keengganan masyarakat mematuhi peraturan.

Pembangkangan diindikasikan pula dengan kecenderungan meniru “patgulipat” perilaku yang dilakukan oleh para penyelenggara negara atau aparat penegak hukum yang terang-terangan menangani hukum.

Masyarakat cenderung dapat meniru aksi-aksi akrobat hukum yang dilakukan para penegak hukum. Meskipun akrobat hukum tersebut sudah ada sejak dulu, tingkat eskalasinya bisa saja meningkat seiring dengan adanya parade ketidaktaatan hukum dari para penegak hukum. Terlebih lagi, dari perangai yang ditampakkan, mereka cenderung terkesan tidak peduli atau merasa tidak bersalah.

Jika parade ketidaktaatan hukum ini terus menggelinding dan tidak ada upaya dari tiap-tiap penyelenggara negara, khususnya penegak hukum, untuk mengubah perilaku, tidak menutup kemungkinan eskalasi pembangkangan akan semakin meningkat. Sekali lagi, eskalasi pembangkangan ini terjadi karena ketiadaan keteladanan yang harus diambil masyarakat.

Saat ini, keteladanan harus segara dihadirkan kembali agar masyarakat taat pada hukum. Bukan sekedar karena keterpaksaan, melainkan taat karena internalisasi nilai-nilai dan kaidah hukum, demikian Andy mengakhiri tulisannya.

Kini, dan saat ini, bangsa ini sedang mengarah pada autocratic legalism. Jalur demokrasi dan hukum dipakai untuk mencapai target kekuasaan. Lembaga penjaga konstitusi, MK, dijadikan lembaga mengamankan hasrat kekuasaan. KPK tak steril dari intervensi kekuasaan. Dugaan itu pasti dibantah. Kecenderungan rule by law atau vetokrasi tampaknya menjadi pola kekuasaan belakangan ini. Semuanya dilakukan melalui jalur yang seolah-olah demokratis dan seolah-olah sesuai prosedur hukum (Tanuredjo, 2023).

Akhirnya, “Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, mboya keduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersane Allah, sakbegja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada !.  Mengalami di zaman yang edan (gila), akan senantiasa kebingungan dalam menentukan sikap, langkah perilaku dan pemikiran. Kalau Ikut ngedan (menggila) jelas  tidak mungkin akan tahan. Tetapi kalau tidak ikut-ikutan arus, tak akan mendapat bagian (jatah – terakses segala kepentingan sosial, ekonomi, politik dan budaya atau pergaulannya), yang ujung-ujungnya hanya akan kelaparan. Namun karena sudah menjadi kehendak (takdir)  Tuhan, sungguh sebahagia dan seberuntung-beruntungnya manusia yang lupa diri, masih tetap akan beruntung orang yang senantiasa eling (sadar) dan waspada !” (Ranggawarsita, pujangga besar Kraton Kasunanan Surakarta, Kalathida, Sinom : 7, ditulis 1860).

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nucholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Agus setiyono Teknologi terus berkembang pesat, dari era revolusi industri 4.0 hingga society....

Suara Muhammadiyah

31 October 2023

Wawasan

Membijaksanakan Diri dalam Melihat Pengganti Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Tangerang ....

Suara Muhammadiyah

8 October 2024

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Anggota LPCRPM PWM Jatim, alumni Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamong....

Suara Muhammadiyah

13 March 2024

Wawasan

Buya Hamka dan Pancasila Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar ....

Suara Muhammadiyah

2 June 2024

Wawasan

Fanatik Ciri Kebodohan Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I, M.S.I. “Kita itu boleh punya prinsip, a....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah