Darah Biru Mimi dan Mintuno

Publish

8 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
259
Istimewa

Istimewa

Darah Biru Mimi dan Mintuno

Oleh: Khafid Sirotudin, Ketua LPUMKM PWM Jateng, Kabid Diaspora Kader dan Jaringan MPKSDI PPM

Di dalam sebuah perhelatan resepsi pernikahan atau walimatul ursy (selamatan pengantin) keluarga Jawa, pranoto coro (pembawa acara) sering mengungkapkan doa bagi kedua mempelai pengantin. “Mugo-mugo dadi pasangan koyo Mimi lan Mintuno (Semoga menjadi pasangan seperti Mimi dan Mintuno)”. Narasi filosofi Jawa “Mimi lan Mintuno” berasal dari sepasang hewan purba yang –menurut Palaentolog– hidup sejak 455 Juta tahun lalu, lebih tua dari Dinosaurus. Satwa Mimi merupakan hewan monogamis yang selalu berenang dan berjalan berpasangan hingga mati bersamaan, sehingga menjadi simbol kelanggengan pasangan suami istri.

Di daerah lain, “Mimi” biasa dinamakan Belangkas atau Kepiting Tapal Kuda (Horseshoe crab). Belangkas adalah binatang beruas (Arthropoda) yang menghuni perairan dangkal, wilayah air payau, muara sungai dan kawasan mangrove. Binatang ini umumnya mudah ditemukan di perairan Jawa, khususnya Jawa Tengah. Nelayan yang tanpa sengaja menjaring Mimi-Mintuno kebanyakan mengembalikan ke alam. Selain merusak jaring karena kulitnya keras dan tebal, juga rumit mengolahnya serta diyakini mengandung racun. 

Padahal sejatinya hewan Mimi ini tidak beracun, hanya saja mengandung protein/enzim tertentu yang menyebabkan reaksi alergi, membuat gatal-gatal dan “biduren” (bentol-bentol, ruam kulit) di sekujur tubuh. Sebagaimana sebagian orang yang mengalami alergi setelah makan udang dan kerang laut. Terutama bagi mereka yang bertempat tinggal jauh dari pesisir, pegunungan maupun mereka yang belum terbiasa konsumsi segala jenis ikan laut. Ikan laut berbeda tekstur, kadar protein dan kandungan nutrisi lainnya dibandingkan ikan air tawar. 

33 tahun lalu, istri saya yang belum terbiasa mengkonsumsi ikan laut pernah mengalaminya. Begitu istri makan udang laut langsung gatal-gatal tubuhnya. Namun sekarang justru menjadi penggemar udang laut steam maupun goreng. Rahasianya ada pada kepala udang sebagai penawar “racun rendah/ringan” yang terdapat pada tubuh udang. KIPMa (Kejadian Ikutan Paska Makan) udang laut kunci penawarnya ada pada bagian kepala udang. Dengan rutin “nyesepi” kepala udang ketika memakannya, maka gatal-gatal dan biduren tidak akan pernah terjadi lagi.

Di kabupaten Kendal, Mimi-Mintuno dapat ditemukan di muara sungai Bodri (Patebon-Cepiring), Kalikuto (Gempolsewu-Rowosari) dan Waridin (Brangsong). Hanya sebagian kecil masyarakat pesisir Kendal yang memanfaatkan hewan ini. Biasanya telur Mimi (betina) dimasak sebagai pepes yang dibungkus daun pisang dan di ”adang” (dikukus) hingga matang. Seingat saya, dua kali kami menikmati daging dan telur Mimi di Warung Lek Di, yang berlokasi di pinggir jalan lingkar Kendal menuju Patebon. Sayang warung sea food itu sekarang sudah tutup, sehingga saya tidak bisa lagi menikmati sajian Mimi-Mintuno.

Sepasang Mimi-Mintuno harus dimasak berbarengan. Sebab di bagian tubuh hewan ini saling menjadi “penawar” satu diantara yang lain. Di perairan ketika berenang, posisi Mintuno selalu menempel dan berada di atas punggung Mimi. Ukuran tubuh Mimi lebih besar daripada Mintuno. Di daratan, pasangan hewan ini biasa berjalan “bergandengan” laksana cerita drama epik Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Sebuah kisah cinta sepasang pemuda-pemudi yang memilih sehidup semati, meski terhalang perbedaan dan perpecahan keluarga Montague dan Capulet.

Dua pasang cangkang Mimi-Mintuno, sisa masakan lek Di, kami jadikan koleksi sebagai hiasan dinding di rumah sejak 2012 lalu. Ternyata banyak saudara, kerabat serta teman yang telah dan sering mendengar ungkapan Mimi dan Mintuno, namun belum pernah melihat sosok aslinya. Berbeda dengan cerita Romeo dan Juliet yang hanya sebuah karya sastra fiksi. Hitung-itung sebagai sedekah APK (Alat Peraga Pendidikan) di rumah kami.

Selain hobby memancing ikan di laut, Lek Di juga koki spesial dalam memasak Mimi-Mintuno. Untuk menikmatinya kita musti pesan terlebih dahulu. Dari penuturan lek Di, saya banyak mengetahui hal ihwal Mimi dan Mintuno. Saya lebih meyakini bahwa Mimi itu betina dan Mintuno adalah pejantan. Meskipun beberapa referensi menyatakan Mimi adalah pejantan, dan Mintuno adalah betina. Sebab budaya (bahasa) Jawa, nama seorang perempuan tidak lazim berakhiran dengan huruf o (misalnya : Joko, Mulyono, Widodo, Suroso, dll). Begitu pun laki-laki tidak lazim diberi nama dengan akhiran huruf i (Siti, Mulyani, Astuti, Sri, dll).

Darah Biru

Belangkas termasuk hewan yang dilindungi kelestariannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM tahun 2018, Mimi alias Belangkas alias Kepiting Tapal Kuda termasuk salah satu satwa yang dilindungi keberadaanya oleh negara. Mimi memiliki bentuk yang unik dan sekilas tubuhnya terlihat seperti ikan pari. Bedanya kulitnya keras, kaku dan beruas atau masuk golongan Arthropoda. 

Mimi masih saudara sepupu dengan Laba-laba dan Kalajengking. Bedanya tidak memiliki gigi atau rahang, sehingga relatif tidak berbahaya. Hanya bentuk luarnya yang sekilas terlihat menyeramkan. Sebutan lainnya “horseshoe crab” atau kepiting tapal kuda. Sebab Mimi mampu hidup di dua alam (air dan darat) dikarenakan memiliki kaki-kaki seperti kepiting.

Kejaiban lainnya dari Mimi dan Mintuno yaitu darahnya biru. Benar-benar berwarna biru, bukan merah sebagaimana satwa air (ikan) lainnya. Darah biru Mimi mengandung amoebosit, yaitu sel yang bergerak seperti amuba dan berfungsi untuk menyerap, mencerna dan mentranspor zat makanan pada tubuh invertebrata (hewan tidak bertulang belakang), termasuk spons (salah satu jenis hewan laut). Amoebosit berfungsi mengangkut nutrisi antara sel spons yang berbeda, membantu pembentukan endoskeleton spons serta mendukung pertumbuhan dan fusi sel telur dan sperma selama reproduksi seksual. 

Amoebosit mengandung banyak “asam ribonukleat” (RNA=Ribonucleic acid) dan nukleus (inti sel). Nukleus adalah organel sel terbesar dalam sel yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan dan mengandung nukleolus (anak inti sel). Selain RNA, kita mengenal atau setidaknya pernah mendengar juga istilah DNA. Tes DNA, sering dipakai aparat berwajib untuk mengungkap suatu kejahatan atau mengetahui keterhubungan biologis seorang korban dengan keluarganya. 

DNA (Deoxyribonucleic acid) adalah makro-molekul berwujud benang yang sangat panjang. Makro-molekul ini terbentuk dari sejumlah besar deoksiribonukleotida, dimana bahan penyusunnya terdiri dari satu basa, satu gula dan satu gugus fosfat. RNA dan DNA ibarat “otak” bagi tubuh dan sangat penting keberadaannya bagi makhluk hidup. DNA mengatur segala proses di dalam tubuh dan berperan penting dalam pewarisan sifat. DNA membawa informasi materi genetik dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Darah Biru Mimi dan Mintuno sangat sensitif terhadap racun dari bakteri berbahaya dan mampu menangkapnya dalam struktur seperti gel. Sehingga kerap dipanen untuk mengetes keamanan vaksin, obat-obatan dan peralatan medis. Pembuatan vaksin (termasuk vaksin Covid-19) tidak terlepas dari peran Mimi dan Mintuno. Darah biru yang berasal dari sepasang hewan purba ini digunakan untuk mengetes vaksin sebelum diuji cobakan ke manusia (uji klinis).

Di balik pembuatan vaksin Covid-19, ternyata ada kejahatan yang terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Yaitu penyelundupan 416 ekor belangkas besar yang disembunyikan di Dusun II, Bagan Serdang, kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Polda Sumut berhasil membongkar kasus rencana penyelundupan (11 Maret 2020), berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar. Bisa jadi penyelundupan tersebut bukan yang pertama dilakukan oleh oknum yang memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mencari keuntungan pribadi secara ilegal. Sayangnya, 416 ekor belangkas yang ditemukan dan disimpan di dalam 4 kotak fiber yang disembunyikan di bawah pohon nipah di pinggir rawa-rawa tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya.

Keberadaan Mimi dan Mintuno yang bentuknya menyerupai gabungan ikan pari dan kepiting itu sangat bernilai di dunia medis. Saya meyakini sebagian besar masyarakat tidak tahu atau belum memahami manfaat, fungsi dan nilai dari salah satu makhluk purba ciptaan Tuhan itu. Padahal  Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya laut terbesar di dunia. Jumlah satwa di seluruh wilayah perairan nusantara jauh lebih banyak jenis dan jumlahnya manakala dibandingkan dengan ratusan ribu jenis dan aneka rupa tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan berada di daratan (mega biodiversitas).

Saya teringat salah satu tayangan video pendek di kanal youtube (jamaah youtubeiyah), yang memperlihatkan Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan, sedang mengimami shalat maghrib dan membaca surat Ali Imron 190-195.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”.

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua (makhluk) ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”.  (Qs. Ali Imron 190-191)

Keanekaragaman hayati sebagai anugerah dan kebaikan Allah kepada bangsa ini, sudah saatnya untuk dilestarikan, dibudidayakan serta dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Janganlah alasan mewujudkan ketahanan pangan dan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dalam melaksanakan program Makanan Bergizi Gratis (MBG), lantas membuat kita lalai berjamaah mengorbankan kekayaan plasma nutfah dengan merusak sumberdaya alam. Jangan sampai terjadi, kita berusaha keras untuk memenuhi logistik rakyat, tetapi di sisi lain mengesampingkan logika akal sehat dalam menjaga ekosistem lingkungan alam yang berkelanjutan.

Mencairnya es di kutub utara, naiknya suhu rata-rata bumi, “salah mongso” (perubahan iklim), meletusnya berbagai gunung berapi, serta terjadinya bencana alam (banjir, tanah longsor, karhutla, dll) belum cukupkah menjadi “alarm” penanda dari alam semesta?. Masih banyak sumber pangan yang bergizi dan bernutrisi (berunsur : air, mineral, vitamin, protein, lemak, karbohidrat dan serat) di negeri ini. Tidak perlu mendatangkan dari luar negeri atau importasi. Cukup memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara bijak (local genius), serta mengolah bahan pangan menjadi makanan dan minuman (mamin) yang bergizi dan halalan thayyiban. Tentu dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang “pro lingkungan”, tidak merusak alam semesta ciptaan Tuhan.

Sumber daya alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan dan amanah dari anak cucu dan generasi mendatang.

Wallahu’alam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Suara Muhammadiyah dan Revolusi Industri 2.0 Oleh Mu’arif Suara Muhammadiyah (SM) terbit per....

Suara Muhammadiyah

1 November 2023

Wawasan

Disrupsi Perspektif Mental Sehat Generasi ke Generasi  Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IA....

Suara Muhammadiyah

2 January 2025

Wawasan

Berpolitik yang BermuhammadiyahOleh: Tri Aji Purbani, A.Md, BI, Majelis Ekonomi Bisnis, Pariwisata d....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Penyakit Lever dan Penyakit Hati Oleh: Mohammad Fakhrudin Manusia memperoleh hidayah naluri, panca....

Suara Muhammadiyah

4 July 2024

Wawasan

Pentingnya Dakwah Komunitas di Era Modern Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Mengajak ....

Suara Muhammadiyah

1 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah