Guru Profetik Transformatif, Melahirkan Profil Siswa Ber-karakter Ulul Albab

Publish

23 June 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
76
Guru

Guru

Guru Profetik Transformatif, Melahirkan Profil Siswa Ber-karakter Ulul Albab

Oleh: Hendro Susilo

“Hakikat Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) itu ialah Islam yang menggembirakan, Islam yang suka memberi, Islam yang jembar atau berpandangan luas, Islam yang membangkitkan dan menggerakkan.” (K.H. AR Fachruddin)

Salah satu kritik yang dilayangkan para pengamat pergerakan Muhammadiyah adalah bahwa sistem pendidikannya tidak didasari dengan filsafat pendidikan. Ada dua kelemahan mendasar dalam pendidikan Muhammadiyah yaitu pertama, umat Islam belum memperhatikan persoalan-persoalan yang terkait mutu pendidikan, kedua, pengelola baik kepala sekolah ataupun guru sekolah Islam/Muhammadiyah belum memiliki teori-teori pendidikan modern dan Islami.

Kehadiran buku merambah teorisasi pendidikan agama Islam yang di tulis Dr Mohamad Ali menjadi oase ditengah ketiadaan teori yang memadai sebagai pedoman para guru di sekolah Muhammadiyah dalam mengajar para siswanya. Buku ini memotivasi para guru agama untuk berselancar lebih jauh untuk merambah teori-teori pendidikan agama Islam. Sehingga untuk permasalahan kritik kedua tentang ketiadaan teori-teori pendidikan modern dan Islami, penulis sarankan untuk membaca buku yang di tulis Dr Mohamad Ali ini. 

Terkait kritik mutu pendidikan, saya tertarik dengan tulisan Robby Abror dalam bukunya “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah”. Bahwa Pendidikan Muhammadiyah harus memikirkan dengan serius untuk membangun “proyek ulil albab”. Mutu Pendidikan yang unggul akan melahirkan profil siswa berkarakter unggul pula. Karakter lulusan yang memiliki kualifikasi intelektual plus tergambar dalam karakter ulul albab. Ulul albab adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam, kecerdasan, dan kebijaksanaan yang disebut generasi terbaik dalam Al-Qur’an.

Strategi Implementasi Pendidikan Tauhid

Karakter ulul albab memiliki ciri dan dua aktivitas utama. Pertama, mampu berfikir fenomena alam dan fenomena sosial. Dalam hal ini, mengkaji keilmuan baik dalam rumpun ilmu alam dan ilmu sosial. Pendidikan yang menumbuhkan daya pikir dan menjadikan siswa subjek belajar, akan menumbuhkan daya nalar yang baik. Sebaliknya, pendidikan yang hanya menerapkan “gaya bank” tentu membuat siswa tidak berdaya.

Kedua, berdzikir. Berdzikir merupakan aktivitas mengingat/menyebut nama Allah. Dzikir mencakup segala bentuk ibadah dan ketaatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan kehadiran dan kebesaran Allah. Cara berdzikir meliputi vertikal transenden (orientasi hubungan manusia dengan Allah)  dan horizontal sosial ( orientasi hubungan sesama manusia). Dzikir vertikal adalah bentuk ibadah yang ditujukan langsung kepada Allah, seperti shalat, puasa, dzikir lisan atau hati. Sedangkan dzikir horizontal adalah dzikir yang berkaitan dengan interaksi sosial dan amal shaleh, misalnya membantu sesama, menjaga hubungan baik silaturahmi, serta menjaga keselarasan lingkungan alam.

Kedua aktivitas diatas harus diintegrasikan. Integrasi antara berfikir dan berdzikir ini sesungguhnya menjadi kunci suksesnya pendidikan tauhid. Tujuan pendidikan tauhid untuk menjadikan siswa sebagai hamba Allah, yang menaati perintah dan menjauhi larangan serta menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan umat. Pendidikan tauhid bukan hanya konsep teoritis, tetapi juga harus diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari, termasuk dalam ibadah, hubungan sosial, dan interaksi dengan alam.

Untuk melahirkan lulusan pendidikan dengan kualifikasi ulul albab, ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan oleh lembaga. Tahap pertama yang disebut Islamisasi Diri. Tahap ini mengindikasikan guru (tenaga pendidik) harus menjadi pribadi yang sholeh. Keshalehan secara pribadi dan secara sosial penting dimiliki seorang guru. Guru gemar belajar untuk meraih ilmu sehingga terbentuk pendidik Islam yang selain akan transfer ilmu pengetahuan, juga akan membina moralitas siswa yang membutuhkan role model. 

Tahap kedua adalah Islamisasi Institusi. Dengan adanya sumber daya manusia yang melakukan islamisasi diri, ini akan berdampak pada Keputusan dan desain proses kebijakan di lembaga sekolah yang akan mengarah pada nilai independensi kebenaran seperti nilai-nilai ketaqwaan, kejujuran, dan budaya kerja sungguh-sungguh akan mengalami proses pelembagaan (institusionalisasi nilai-nilai kemajuan) di sekolah tersebut.

Tahap berikutnya adalah Islamisasi Ilmu. Ini merupakan upaya untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan yang ada dengan nilai-nilai Islam. Cara mengintegrasikan ajaran Islam dalam proses perolehan, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan Tujuannya adalah untuk menciptakan ilmu pengetahuan yang tidak hanya benar secara ilmiah tetapi juga sesuai dengan etika dan moralitas Islam, serta berkontribusi pada peradaban Islam yang lebih baik. Sebagai contoh, gambaran proses ini dilakukan di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta dengan mengembangkan model kurikulum syariah (Dr Mohamad Ali, Teorisasi Pendidikan Agama Islam:137)

Membangun Mental Unggul 

Ayat Al-Quran dalam Surat Ali Imran ayat 110 menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, karena mereka menyeru kepada yang makruf (kebaikan) dan mencegah dari yang mungkar (kemungkaran), serta beriman kepada Allah. Motivasi ukhrowi ini menjadi pegangan kuat bahwasannya sebuah kebaikan itu perlu dijaga, dirawat dan dikembangkan. Termasuk kebaikan (amal shaleh) dalam bentuk AUM Pendidikan harus dikembangkan lebih maju.

Ikhtiar memajukan AUM pendidikan tentu dengan cara penuh kesadaran, kesabaran, keuletan, ketekunan, dan kebersamaan. Karakter ini penting dimiliki oleh pengelola sekolah agar terbentuk mental unggul yang memiliki motivasi ukhrowi. Selain motivasi, perlu juga pengimplementasian program kerja yang akan melahirkan lulusan sekolah berkualifikasi ulul albab. 

Setiap program kerja yang dirancang sekolah, sebaiknya memiliki unsur- unsur yang akan menguatkan profil ulul albab. Unsur-unsur tersebut antara lain pertama adalah Integrasi. Integrasi ini merupakan pembauran/penyatuan sehingga utuh antara materi ilmu agama dan ilmu umum (sekuler) yang melahirkan etika dan moralitas. Kedua adalah sensitivitas. Program kerja yang dirancang sebaiknya menumbuhkan sensitivitas, baik dalam kecerdasan dalam mendeteksi maupun menumbuhkan kepekaan perilaku sosial yang mendorong amal sholeh.

Unsur ketiga adalah relevansi. Relevansi ini dalam konteks umum, mengacu pada hubungan atau keterkaitan antara satu hal dengan hal lain. Ini terkait sejauh mana program yang dibuat menghasilkan manfaat baik secara keilmuan alam maupun sosial. Unsur yang keempat adalah  adanya imajinasi kemajuan. Dalam hal ini, pengelolaan budaya inovasi harus dikelola agar tumbuh secara berkelanjutan. Dan, unsur terakhir adalah independensi. Ini adalah prinsip berfikir nilai abadi seperti keadilan, kebenaran, dan sebagainya. 

Setelah strategi dan penyusunan program yang dilandasi pendidikan tauhid tercipta, maka akan mendorong profil guru yang profetik transformatif. Profetik ini merujuk pada sifat kesadaran akan kebenaran (ilmu), integritas, keberanian dan kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Sedangkan transformatif merujuk pada kemampuan menginspirasi, memotivasi dan menggerakkan perubahan yang positif dalam diri sendiri, orang lain dan masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, guru yang profetik transformatif tidak hanya mengajar pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan nilai serta mampu menginspirasi perubahan positif dalam diri peserta didik, orang tua dan Masyarakat. Seorang guru yang profetik transformatif, akan mengembangkan kurikulum dan program sekolah yang memperkuat pengetahuan, karakter, mengembangkan keterampilan dan menginspirasi untuk menjadi agen perubahan positif seperti halnya seorang yang ulul albab. 

Maka, apa yang dikatakan K.H. AR Fachruddin dalam kutipan awal tulisan “Hakikat Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) itu ialah Islam yang menggembirakan, Islam yang suka memberi, Islam yang jembar atau berpandangan luas, Islam yang membangkitkan dan menggerakkan” dapat diimplementasikan di sekolah Muhammadiyah yang memiliki guru profetik transformatif  yang akan berimbas pada kualitas lulusan siswa berkualifikasi ulul albab. 

Hendro Susilo, Guru SMA Muhammadiyah program Khusus Kottabarat Surakarta


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menyosong Lahirnya Pemimpin Daerah yang Amanah Oleh: Muhammad Julijanto, S. Ag., M. Ag, Dosen Fakul....

Suara Muhammadiyah

26 June 2024

Wawasan

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Aisyiyah adalah sebuah organisasi perempuan Islam terbesar di Indon....

Suara Muhammadiyah

19 May 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Kapan kemenangan dari Allah akan datang? Banyak orang yang mengajukan pertanyaa....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Wawasan

Menanggapi Kasus Produk Babi Bersertifikat Halal: Peran Penguatan Muhammadiyah Oleh: Vritta Amroini....

Suara Muhammadiyah

22 April 2025

Wawasan

Mengenali Fatwa Tarjih Muhammadiyah Oleh: Prahasti Suyaman Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekn....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah