Politik Uang Bom Waktu Kehancuran Bangsa
Oleh: Agusliadi Massere
Demokrasi sebagai salah satu sistem pemerintahan, sudah tepat diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri khas sebagai negara-bangsa yang sangat majemuk. Hanya saja, proses demokrasi terutama melalui sarana strategisnya berupa pemilu dan pemilihan, seringkali dicederai oleh praktik politik uang.
Dalam modul DP3 yang disusun oleh tim KPU RI (2021) telah terungkap bahwa, berdasarkan “Studi yang dilakukan oleh The Latin American Public Opinion Project (LAPOP) Americas Barometer, Afrobarometer, dan Money Politics Project di Asia Tenggara menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan praktik jual beli suara atau politik uang. Indonesia hanya kalah bersaing dibanding Uganda dan Benin”.
Hal lainnya yang terungkap dalam modul DP3 (baca: modul Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan) tersebut adalah data LIPI, dan temuan Purnamasari (2019). Dari survey yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2019 sebanyak 40% masyarakat Indonesia menerima uang dari peserta pemilu 2019. Dan sebanyak 37% masyarakat Indonesia mengaku menerima uang dan mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka.
Politik uang jika merujuk pada defenisi ahli, salah satunya dari Aspinall & Sukmajati (2015), merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap. Namun, jika memahami cara pandang dan pengkategorisasian politik uang oleh Bumke (dalam modul DP3, 2021), ternyata yang dimaknai politik uang bukan hanya seperti yang digambarkan Aspinal & Sukmajati, termasuk pula korupsi politik, yaitu bentuk suap kepada politisi dalam rangka mendapatkan kebijakan yang menguntungkan atau keuntungan lainnya.
Dari gambaran tersebut, ketika saya merangkai judul tulisan di atas bukanlah majas yang bersifat hiperbolis, yang terkesan membesar-besarkan atau melebih-lebihkan sesuatu. Jika kita menyadari dan mengakui secara jujur, kita pun bisa—bahkan telah—menemukan faktanya dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Argumentasi apa pun yang diniatkan sebagai dalil, tidak akan mampu membantah analogi sebagaimana judul yang saya rumuskan ini.
Politik uang bisa disejajarkan maknanya dengan suap-menyuap atau sogok-menyogok. Dalam sabda Rasulullah Muhammad Saw ditegaskan bahwa “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan menerima suap”. Para pelaku politik uang—termasuk penerima bisa dimaknai pelaku—telah banyak yang mengetahui sabda tersebut, hanya saja banyak yang rabun, baik rabun dekat maupun rabun jauh.
Maksud saya dengan rabun dekat adalah laknat Allah hanya dimaknai sebagai sesuatu yang efeknya dirasakan di akhirat kelak. Sama sekali tidak memberikan efek di dunia atau dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Rabun jauh, maksud saya adalah banyak yang mengalami rabun jauh orientasi akhirat, sehingga sesuatu yang dihukumi dengan sifat atau muaranya di akhirat, mereka tidak peduli dan tidak mampu memengaruhi sikap, perilaku/tindakan, dan keputusan-keputusannya.
Jika argumentasi teologis seperti di atas tidak mampu menggugat dan/atau menggugah kesadaran—apatah lagi ditunjang dengan kecenderungan berpikir dan logika pragmatis—maka jalan terbaiknya memberikan perspektif dan penegasan bahwa politik uang, sesungguhnya adalah bom waktu kehancuran bangsa. Tunggu waktunya, akan meledak.
Sebenarnya bom waktu itu sudah meledak di mana-mana, telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu contohnya, ketika keadilan belum bisa menjadi warna pelangi yang indah. Negara kita masih diwarnai oleh segelintir orang—tetapi jumlahnya tidak sedikit—dengan praktik “berkuasa yang tidak benar”. Begitu pun tingkat korupsi Indonesia masih sangat jelas dalam data statistik dunia, dan setiap pemberitaan diwarnai dengan kasus korupsi.
Yang namanya bom waktu, pasti akan meledak. Ledakannya tidak serta merta terjadi pada awal proses tersebut sedang berlangsung, tetapi yang pasti akan tiba waktunya. Bom waktu yang terpasang ini, karena bekerja dalam logika pragmatisme, hasrat berkuasa, dan kalkulasi untung-rugi, maka masih sulit dijinakkan atau dikendalikan. Setelah praktik politik uang, dalam menjalankan amanah kekuasaan, bisa dipastikan pelakunya (baca: pemberi) tidak akan bertaubat, tetapi berupaya bagaimana caranya “kembali-modal”.
Cara terbaik, adalah memperkuat langkah preventif (pencegahan dengan penegakan supremasi hukum) dan preemtif (edukasi) sebelum terjadinya proses politik uang. Namun, mungkin kita termasuk saya, hanya mampu mengupayakan langkah preemtif khususnya kepada masyarakat terutama yang berstatus sebagai pemilih. Langkah preemtif berupa upaya penyadaran bahwa politik uang tersebut akan menjadi bom waktu yang daya rusak atau kehancurannya sangat dahsyat bagi kita semua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana perspektif teologis di atas, bahwa daya “rusak” politik uang berlaku bagi semua pelaku, baik si pemberi maupun si penerima, dalam konteks kehidupan berdemokrasi, politik, sosial, dan kehidupan berbangsa dan bernegara pun, memiliki daya rusak yang sama, dan sangat dahsyat. Apa artinya? Bahwa politik uang daya rusaknya menjangkau segala dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan merugikan seluruh pihak.
Kita sebagai rakyat biasa, sebagaimana yang seringkali saya tuliskan, dalam paradigma “kedaulatan rakyat” dan “logika dan analogi kapal kebangsaan”, harus menyadari bahwa Indonesia, ibarat kapal adalah milik kita, dan kita berada di dalamnya. Pemilu adalah sarana memilih sang nakhoda kapal, yang akan diberikan kepercayaan atau mandat untuk mengarahkan kapal ini berlayar menuju pulaa harapan, cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketika dalam pemilu, kita membiarkan proses demokrasi itu dicederai oleh praktik politik uang, maka sama saja kita sedang membiarkan kapal itu akan dikendalikan oleh sang nakhoda yang tidak bertanggungjawab kepada pemiliknya (rakyat), tidak memedulikan kepetingan rakyat, dan berpotensi membawa kapal ini berlayar menuju pulaa harapan lain yang tidak konstitusional, atau kapal ini akan oleng bahkan tenggelam.
Ketika kondisi kapal di atas terjadi, maka sesungguhnya yang mengalami kerugian besar adalah pemiliknya (baca: rakyat) sendiri. Minimal dua kerugian besar yang dialami: kapalnya dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dan dirinya akan tenggelam bersama.
Politik uang, selain gambaran dampak negatifnya yang telah disebutkan di atas, termasuk pula akan melanggengkan dan mereproduksi hasrat the love of power (cinta kekuasaan), dan dalam pandangan Yudi Latif, akan menjadi lahan tandus, di mana nilai-nilai Pancasila akan sulit tumbuh subur di dalamnya. Politik uang sesungguhnya adalah antitesa dan kondisi paradoks dari the power of love (kekuatan cinta) sebagai lahan subur untuk nilai-nilai Pancasila.
Politik uang akan mengonstruksi satu bangunan paradigma dalam proses demokrasi bahwa, “Isi tas lebih menentukan ketimbang kapasitas dan kapabilitas”. Politik uang akan memberikan ruang besar bagi yang tidak layak sekali pun menjadi pemimpin. Padahal, masih meminjam pandangan Yudi Latif yang saya parafrasekan ulang, ketika seseorang yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas, hanya karena memiliki banyak uang atau hanya karena mengandalkan patron orang tua, sehingga percaya diri untuk menjadi pemimpin, maka ini pun adalah tindakan koruptif.
Ledakan-ledakan lainnya politik uang sebagai bom waktu, adalah ledakan harga sembako yang mencekik dan membuat rakyat merintih. Ledakan “tenaga kerja asing” yang menampakkan pemandangan ketidakadilan dengan tenaga lokal. Ledakan “pasar gelap” di mana di dalamnya pasal-pasal, kebijakan, dan program dirumusukan berdasarkan berdasarkan kepentingan rakyat tetapi berdasarkan nilai tukar untuk kepentingan investor atau para kapitalis”.
Politik uang akan memberikan ledakan dahsyat yang menghancurkan konstruksi hukum dan keadilan. Politik uang akan meledak dan membuat data statistik kemiskinan terus bertahan bahkan meningkat. Politik uang akan memperkuat paradigma “menjadi budak di negeri sendiri”. Banyak ledakan-ledakan lainnya, yang akan dirasakan oleh rakyat karena bom waktu politik uang telah tiba masanya.
Marilah kita melawan politik uang, atau minimal menolaknya. Marilah kita terus menyuarakan betapa dahsyat ledakan efek negatif dari politik uang. Kegelisahan inilah pula, yang membuat salah seseorang, dalam hal ini Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantaeng, dalam rapat menyampaikan usulan dahsyat agar para mubalig Muhammadiyah senantiasa menyampaikan di mimbar terkait “politik uang”. Usulan itu pulalah yang menjadi salah satu alasan bagi saya sehingga segera menyelesaikan tulisan ini.
Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng