Dedikasi Zubaidah Sang Musyrifah Sekolah Muhammadiyah Rambah
Oleh : Akhiruddin Nasution
“Apakah kamu mau jadi guru dan sekaligus menjadi musyrifah asrama putri SMP Muhammadiyah?" "Mau." begitu jawabnya, tanpa ragu. Dia tidak bertanya berapa gajinya mengajar di sekolah itu dan berapa pula honornya sebagai musyrifah tersebut. Begitu sekelumit cerita dari pak Bakhtarudin Lubis yang menawarkan pekerjaan tersebut. Padahal dia mempunyai tiga orang yang masih kecil yang harus dinafkahi sedangkan suaminya sudah meninggal tahun 1965. Dialog tadi mungkin terjadi tahun 1969 karena beliau mulai mengajar di sekolah itu mulai tahun itu dan sekolah itu pun memulai kegiatannya pada tahun yang sama, setelah sebelumnya cukup lama terhenti, mungkin sejak tahun 1960 karena sebagian pengurus sekolah ikut berjuang menuntut keadilan kepada pemerintah pusat melalui PRRI.
Dia adalah wanita pejuang, pendidik dan pemerhati nasib orang lain, namanya sampai hari ini sulit untuk saya lupakan (maaf ketika menulis kata-kata ini, tidak terasa air mata saya menetes dan terisak), ya... Zubaidah Nasution namanya. Ibuk Bedah, begitu biasa beliau dipanggil, adalah tamatan Diniyah Putri Padang Panjang pada tahun 1958, sebuah pondok khusus putri yang didirikan seorang perempuan pembaharu dari Padang Panjang, Sumatera Barat, namanya Rahma Al-Yunusiyah. Keberangkatannya menuntut ilmu ke Diniyah Putri ini sungguh sangat berat, bukan hanya berat untuk perjalanan ke sana yang harus melewati bukit barisan dari Tangun, kampung halamannya menuju Pasir Pengaraian dan dari Pasir Pengaraian berjalan kaki melewati beberapa kampung seperti Kaiti, Sungai Bungo dan akhirnya melompat ke Rao di Pasaman. Kemudian baru dari Rao inilah bisa naik mobil menuju Bukittinggi dan akhirnya ke Padang Panjang.
Hal yang tidak kalah beratnya adalah kondisi kehidupan keluarganya bukanlah orang kaya, namun karena tekad yang kuat dan dorongan orang tua akhirnya Zubaidah kecil, ya baru tamat SD (sekolah rakyat) akhirnya dapat menuntut ilmu di perguruan Diniyah Putri yang sudah melahirkan orang-orang hebat. Juga tidak sedikit ejekan orang di kampungnya; "Ee, tahu dirilah, awak orang miskin mau sekolah jauh-jauh pula dari kampung,". Rasa rindu beliau terhadap orang tuanya selama menuntut ilmu di sini selama enam tahun dilampiaskan kepada orang tua dari kawan-kawannya yang datang menjenguk anak mereka, karena orang tuanya sendiri tidak bisa datang karena keterbatasan biaya. Di antara kawannya yang sekolah di sini yang berasal dari Rokan hulu (Pasir Pengaraian) adalah ibuk mertua gubernur Riau di masanya, Rusli Zainal yaitu ibuk Roslaini dan satu lagi kawan sekampung adalah pak Bakhtarudin Lubis yang menuntut ilmu di perguruan Thawalib Padang Panjang.
Sebelum berangkat ke Padang Panjang, Zubaidah Nasution yang lahir di Tangun atau Bangun Purba pada tahun 1937 menuntut ilmu di kampung halamannya dan menamatkan sekolah dasarnya di Pasir Pengaraian. Sebagai tamatan Diniyah Putri selama enam tahun walaupun tidak punya ijazah karena adanya perjuangan PRRI. Setelah menyelesaikan pendidikan di Diniyah Putri dan bergolaknya perjuangan PRRI, beliau dijemput pulang ke Tangun dan ikut memgungsi sampai ke Sigalapung, Panyabungan, kecamatan Sosa (sekarang masuk kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara) dan pada pengungsian itulah beliau dipersunting oleh Abu Mansyur Hasibuan. Hasil pernikahannya dikarunia tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Tapi pada tahun 1965 suami tercintanya meninggal dunia. Sepeninggal suaminya, Ibuk Zubaidah pulang kampung halamannya di Tangun, tinggal bersama ibunya dan hidup bertani sambil mengajar di madrasah yang dinamai dengan SIKOLA ARAB (sekolah Arab). Akhirnya sekitar tahun 1969 dia diajak untuk mengajar di SMP Muhammadiyah Pasir Pengaraian dengan membawa ketiga buah hatinya.
Buk Bedah mempunyai kemampuan yang multi disipliner, seorang guru ya, beliau pernah menjadi guru bahasa Inggris kami di SMPM, guru sejarah kebudayaan Islam, guru seni, sebagai muballigh/ah yaa..,dan bahkan sebagai pelatih drama pun bisa dilakoninya. Dia akan sigap melatih anak-anak SMP Muhammadiyah bermain drama ketika ada momen peringatan hari pendidikan di kecamatan Rambah. Bahasa Arab dan qawaidnya (tata bahasa) juga dia bisa. Ada sebuah cerita atau kejadian yang disampaikan kepada saya, bahwa suatu kali datang seorang ustadz dari Sumatera Barat menyampaikan dalam forum pengajian, "Sesungguhnya wudhu' itu dikerjakan setelah kita melaksanakan shalat." Lalu ustadz tadi menjelaskan firman Allah dalam QS. 5, al-Maidah : 6 : يايهاالذين امنوا إذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق dst.
Kata قمتم (qumtum) pada ayat ini menggu- nakan فعل ماض (fi'il madhi), yaitu suatu kata kerja yang dipergunakan untuk menjelaskan perbuatan yang sudah dikerjakan, maka arti yang sebenarnya dari kata itu adalah: "Apa- bila kamu sudah mengerjakan shalat, maka berwudhu'lah kamu ...." Pak Ilyas Miloen sebagai imam dan PCM mengangguk dan nampaknya setuju. Zubaidah Nasution tampil membantah dengan kemampuan qawa 'idnya bahwa fi'il madhi itu memang ber- fingsi untuk menjelaskan perkejaan yang sudah berlalu, namun ketika ia didahului oleh kata إذا (Idza) maka fungsinya bisa berubah menjadi للمضارع (Lil mudhari') yaitu menjelaskan tentang perbuatan yang akan dikerjakan, maka arti yang cocok untuk ayat itu adalah :"Apabila kamu mau mengerjakan shalat maka ...."
Kepiwaiannya dalam mendidik bukan hanya di sekolah (mendidik anak orang lain), tapi beliau juga berhasil mendidik anak-anaknya, terutama dalam masalah menjalankan perintah agama seperti shalat dan belajar Al-Qur'an serta kedisiplinan. Dia ingat dengan baik pesan suaminya supaya mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang shaleh dan pintar dan alhamdulillah ketiga anaknya menjadi juara di sekolahnya. Terhadap pendidikan anak-anaknya, buk Bedah adalah seorang wanita yang visioner, pandangannya jauh ke depan. Ketika orang sudah bangga menguliahkan anak-anaknya sampai di Pekanbaru, beliau melompatinya dengan tekad anak-anaknya harus kuliah di pulau jawa, diantaranya ke Institut Pertanian Bogor (IPB), padahal beliau hanyalah seorang guru honor di SMPM yang besarannya tidak seberapa, sedangkan suaminya sudah lama pergi menemui Sang Khaliqnya tahun 1965, namun tekad dan keyakinan kepada Allah semua berhasil dijalaninya dan ketiga putra putrinya sukses semuanya menjadi pegawai negeri dan sampai saat ini sudah purba bakti, ada yang di bidang pertanian, perbankan dan pendidikan.
Di samping menjadi seorang guru yang honornya mungkin tidak mencukupi, maka beliau sangat lihai mencari peluang usaha yang bisa menambah penghasilannya, seperti berjualan kacang goreng yang dimasak dengan pasir yang panas (disangai bahasa Pasir Pengaraiannya). Tepatnya beliau adalah seorang SINGLE PARENT. Ini harus menjadi sugesti kepada warga Muhammadiyah bahwa kekurangan material bukan penghambat untuk mengantarkan anak-anak kita kepada pendidikan yang tinggi.
Ibuk Bedah juga seorang muballighah, beliaulah yang membimbing kami bermu- hadharah (latihan berpidato) sehingga kami berani tampil menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah. Ibuk Bedah juga seorang orga- nisator, buktinya dia pernah memimpin Aisyiyah kecamatan Rambah. Saya melihat sendiri begitu PD-nya beliau menyampai- kan hasil muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Jogjakarta tahun 1990 bersama pak BAKHTARUDIN Lubis.
Perhatiannya kepada pendidikan, tidak hanya sekedar menjadi tenaga pendidik, tapi beliau berusaha memajukan sekolah tempatnya mengajar (SMPM dan SMAM), dia bergerilya mencari mencari siswa di Tangun, Menaming, Surah Gading, Kumu dan lain-lain. Buk Bedah bukan hanya mencari siswa, tapi beliau juga dengan ikhlas membantu anak-anak yang kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya. Hal ini diceritakan ketika ada seorang anak dari Bogor yang mencari anak beliau yang ada di asrama IPB (bang Roni) untuk bercerita bahwa dia dulu bisa sekolah di Pasir Pengaraian karena dibantu oleh Ibuk Bedah (Zubaidah). Pengabdiannya di lembaga pendidikan Muhammadiyah ini berakhir tahun 1996, beliau menghadap Sang Khalik ketika menengok anak dan cucu-cucunya di Bogor.
Kecintaannya kepada muhammadiyah tidak terbantahkan, di hari tuanya dia masih mengabdikan dirinya mengajar di SMP Muhammadiyah dan SMA Muhammadiyah Pasir Pengaraian dan mengasuh anak-anak didiknya di asrama putri dengan honor yang cukup menurut beliau, padahal sesungguhnya itu jauh dari kecukupan tapi sifat syukur yang tertanam dalam dirinyalah yang menjadikannya seorang perempuan yang tangguh. Dia sebenarnya dia bisa menjalani hari-hari tuanya dengan senang dengan anak-anaknya yang sudah sukses namun sekali lagi jiwa pendidik dan rasa pengabdiannya kepada muhammadiyah mengalahkan semua keinginan untuk tinggal bersama anak san cucu-cucunya.
Silaturrahim adalah kebiasaan beliau dan ini diwariskan kepada anak-anaknya, ini juga merupakan kebiasaan yang diwariskan ayah beliau. Kalau mereka mau ke Pasir Pengaraian dari kampungnya di Tangun itu biasanya naik perahu, maka dalam perjalan sebelum sampai ke Pasir itu akan melewati beberapa kampung diantaranya Menaming dan Tanjung Belit, maka di setiap kampung itu mereka akan turun mengunjung (bersilaturrahim) dengan qoum (kerabat) yang ada di kampung-kampung itu. Mungkin ini adalah salah satu kunci dimurahkannya rezki beliau. Sebelum tulisan ini rampung, salah seorang putra beliau nelpon saya dan menyampaikan ucapan terimakasih kepada Persyarikatan Muhammadiyah ini yang dulu pernah menyediakan lahan (sekarang jadi komplek perguruan Muhammadiyah Pasir Pengaraian) untuk dimanfaatkan tempat bertanam padi dan sayuran bagi mereka dan kawan- kawan yang lain di Persyarika- tan ini, seperti almarhum pak Aidit Ma'arief, Ibuk Asmi Hayati dan isteri pak Bakhtar sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan mereka.Tapi sebenarnya Persyarikatanlah yang harus berterima kasih, karena walaupun belum mampu memberikan imbalan yang setimpal kepadanya, beliau tidak pernah mengeluh. Mereka anak-anaknya tidak pernah lupa dengan SMPM Pasir Pengaraian, bahkan rutin memberikan rewood kepada anak- anak berprestasi di sekolah ini.
Ibuk Bedah kini sudah pergi menghadap Sang Penciptanya, mudah-mudahan dan tentu do'a kita semua semoga beliau ditempatkan di surga-Nya nanti, amin.
Pasir Pengaraian, 14 September 2023
Akhiruddin Nasution
Hamba yang fakir di hadapan Tuhannya