JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Seperti mengamini sebuah kalimat dalam lirik salah satu lagu dangdut, “Terlanjur basah, mandi sekalian.” Hal ini bermula dari bocornya informasi rahasia ke media sosial. Sebuah percakapan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI pada acara Pengajian Ranting Pondok Cabe Ilir. Dalam agenda tersebut yang bersangkutan menyampaikan pandangannya terkait pembelajaran Deep Learning. Sebuah sistem pembelajaran yang didesain untuk menguatkan pemahaman siswa melalui pendekatan lebih dalam.
Abdul Mu’ti sebagai menteri yang mengomandoi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memahami tragedi bocor dan viralnya informasi tersebut ke publik sebagai sebuah kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang. Beragam opini pun berseliweran di jagad media. Menanggapi sistem pendidikan di Indonesia yang belum final. Ada kelompok yang menghendaki perubahan kurikulum, dan ada pula yang ingin agar kurikulum yang ada saat ini tetap dipertahankan.
“Akhir-akhir ini mulai banyak beredar di masyarakat berbagai kajian dan informasi tentang Deep Learning, dan juga pelatihan atas nama Deep Learning, baik yang diselenggarakan sebagai sebuah forum akademik maupun dari penulis yang menulis di berbagai media. Saya searching di Google, ada yang membanding-bandingkan antara Deep Learning dengan Merdeka Belajar. Ada juga yang salah kaprah, menganggap Deep Learning sebagai kurikulum,” ujarnya dalam Seminar Nasional dan Sosialisasi Program Deep Learning di Universitas DR. Hamka Jakarta (17/2).
Dari kebocoran itu akhirnya Abdul Mu’ti berinisiatif mengumpulkan para pakar dari berbagai latar belakang untuk membantunya memberikan masukan tentang sistem pembelajaran tersebut. Mulai dari guru, dosen, akademisi, hingga pengamat pendidikan dilibatkan untuk mengkonkritkan pendekatan pembelajaran tersebut agar Deep Learning dapat diterapkan di Indonesia.
Menurutnya, istilah ganti menteri ganti kebijakan merupakan sesuatu yang wajar. Bersandar pada kaidah fikih yang berbunyi al muhafadhotu ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, pria yang juga merupakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut mengatakan, jika dalam sebuah ekosistem terdapat sebuah kebiasaan yang baik, menurutnya hal itu wajib untuk dijaga dan dipertahankan, jika ada sesuatu yang kurang baik, maka harus diperbaiki, dan jika ada sesuatu yang belum ada dan kita menganggap sesuatu itu baik, maka kita bertanggung jawab untuk mewujudkannya. “Kalau semuanya sama mengapa menterinya ganti,” tegasnya.
Berkaca pada hal tersebut, sejatinya prinsip dari penyelenggaraan negara merupakan sebuah proses berkesinambungan, yang mana setiap kebijakan memiliki konteks dan dinamikanya masing-masing. Dimana setiap kebijakan harus terbuka untuk dikritik dan diberi masukan demi sebuah kebaikan ke depannya.
“Kalau dulu Pak Jokowi memiliki program Nawa Cita, Pak Prabowo mempunyai program Asta Cita. Dan kalau kita perhatikan, walaupun dalam berbagai kesempatan Pak Prabowo menyampaikan untuk melanjutkan kebijakan Pak Jokowi, tapi dari Asta Cita itu banyak bedanya dengan Nawa Cita. Karena itu sejak awal saya sebagai menteri sudah punya nawaitu,” ucapnya sambil diselipin guyon.
Melihat permasalah pendidikan sedemikian rupa, baginya Mu’ti tidak ada alasan untuk mundur. "So must go on," tegasnya.
Deep Learning
Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa Deep Learning bukanlah sebuah kurkulum, melainkan sebuah pendekatan yang dipakai dalam sebuah pembelajaran. Ia mengaku mulai mengenal Deep Learning saat mengambil S2 di Australia pada tahun 1995. Tepatnya waktu menerima mata kuliah Psikologi Kognitif dan Implikasinya pada semester pertama perkuliahan.
Dalam sejarahnya, Deep Learning sudah mulai diterapkan di beberapa negara pada pertengahan tahun 1976. Negara-negara seperti Norwegia, Swedia, Finlandia sudah mulai memperkenalkan Deep Learning di tahun yang sama.
Jika dikaitkan dengan knowledge, Deep Learning berbeda dengan kuantitatif learning yang hanya berorientasi kepada akumulasi pengetahuan. Tentang bagaimana mengumpulkan pengetahuan dan kemudian mengerti tentang terkait apa yang dipelajari.
Mu’ti mengatakan bahwa Kuantitatif Learning bersifat deklaratif. Banyak sekali fakta. Namun fakta-fakta itu berdiri sendiri, tersegregasi dan terpisahkan dengan pengetahuan yang lain, yang akhirnya, bisa saja siswa hafal sesuatu, tapi tidak mengerti untuk apa ia menghafal itu dan bagaimana menggunakan hafalannya.
Dalam konteks ini, Deep Learning dapat didefinisikan sebagai proses memahami sesuatu yang tidak tunggal atau sendiri-sendiri, tidak segregated dan tidak pula separated. (diko)