Deni Asy'ari; Anak Nagari, Sang Nakhoda Samudra Zaman

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
157
Deni Asy’ari, MA., Dt Marajo. Foto: Cris

Deni Asy’ari, MA., Dt Marajo. Foto: Cris

Oleh: Buya Ari Al Linggawi, Alumnus Megister ITB Ahmad Dahlan

Di kaki Gunung Singgalang, dihembus angin sejuk dari Ngarai Sianok, Deni kecil dididik dalam tradisi yang ketat. Ia adalah Anak Nagari yang jiwanya terpatri pada ajaran Minangkabau: Alam Takambang Jadi Guru (Alam Terkembang Jadi Guru). Kota asalnya, Bukittinggi, adalah tempat ia belajar tentang harga diri, tentang merantau untuk kembali, dan tentang meninggalkan kampung halaman untuk mencari ilmu yang luas.

Jejak pertamanya ditanamkan di Thawalib Putra Padang Panjang. Bukan hanya hafalan dan fiqih yang ia serap, tetapi juga disiplin spiritual dan intelektual. Ia belajar bahwa seorang pemimpin haruslah seorang pelajar abadi. Di sanalah, benih ambisi untuk memberi manfaat yang besar mulai berakar. Ia memahami bahwa kesuksesan bukan tempat berdiam diri, melainkan pijakan untuk melangkah lebih jauh.

Dengan bekal ijazah dan restu orang tua, Deni menjejakkan kaki di Yogyakarta, Kota Pelajar yang dijanjikan. Setelah menamatkan studi di UIN Sunan Kalijaga, ia meneruskan ke jenjang Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), angkatan 2009. Lingkungan akademis yang kritis dan dinamis membentuknya menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas berteori, tetapi juga piawai dalam menyusun strategi. Dalam setiap kelas dan diskusi, ia mencari kaitan antara ilmu yang ia pelajari—tentang hukum, kepemimpinan, dan manajemen—dengan cita-cita besarnya: mengabdikan diri pada umat.

Ia menikah, membentuk keluarga, dan dikaruniai dua permata hati, Naufan Hadiyan Asy'ari dan Arindya Najwa Khaira. Di tengah hiruk pikuk Yogya, Deni tahu ia harus menemukan sebuah kapal besar untuk dinakhodai, sebuah wadah untuk menuangkan seluruh energi dan ilmunya.

Memegang Kemudi Bahtera Tua

Panggilan itu datang dari sebuah meja redaksi tua di pojok kota, milik Suara Muhammadiyah (SM). SM adalah artefak sejarah, media tertua yang didirikan oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, sejak 1915. Namun, usianya yang hampir seabad juga membawa beban berat. Ketika Deni Asy'ari (yang kini juga dikenal sebagai seorang kreator digital dan wiraswasta) datang, bahtera itu sedang terombang-ambing.

Ruangan kerja terasa lembab, mesin cetak tua seringkali macet, dan tumpukan majalah yang tak terjual menjadi pemandangan pahit. Staf yang tersisa bekerja dengan semangat yang terkuras dan gaji yang tersendat. Mereka skeptis. Mereka melihatnya, seorang pemuda bergelar lengkap, datang dengan beban ekspektasi.

“Bagaimana mungkin seorang akademisi muda bisa menyelamatkan media cetak di tengah tsunami digital?” bisik-bisik di antara karyawan lama.

Deni tahu, warisan ini terlalu berharga untuk dibiarkan tenggelam. SM bukan sekadar koran atau majalah; ia adalah ruh persyarikatan. Ia memikul tanggung jawab besar, bukan hanya untuk menyelamatkan bisnis, tetapi untuk mengemban amanah K.H. Ahmad Dahlan dan H. Fachruddin.

Langkah pertamanya bukan memecat, melainkan merangkul. Ia duduk bersama karyawan, mendengarkan keluh kesah mereka. Ia tidak memberi arahan dari atas meja, melainkan berjalan kaki di antara bilik-bilik kerja. Ia memastikan setiap orang merasa dihargai. Ia meyakinkan mereka bahwa kerja tim bukanlah sekadar kumpulan orang, tetapi energi yang saling menggerakkan.

Mantra Sang Nakhoda

Transisi dari media cetak yang sakit menjadi korporasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar strategi; ia butuh mentalitas baja. Deni Asy'ari membawa mentalitas itu.

Ia memperkenalkan filosofi yang kemudian menjadi moto abadi di PT Syarikat Cahaya Media (SCM):

“Jangan berhenti saat lelah, tapi berhentilah saat sudah selesai.”

Filosofi ini menuntut totalitas. Pekerjaan bukan lagi soal jam kerja, melainkan soal penyelesaian. Timnya mulai bekerja dengan etos baru. Di bawah kepemimpinannya, ia mendorong diversifikasi usaha secara radikal. Media lama harus menjadi lokomotif bagi gerbong bisnis baru.

Deni Asy'ari memimpin dengan visi jangka panjang yang taktis. Ia menciptakan 12 unit usaha baru di bawah payung PT SCM. Ini adalah lompatan kuantum:

 * Penerbitan: Memastikan konten tetap relevan dan menyebar.

 * Ritel: Membangun jaringan toko modern untuk ekonomi jamaah.

 * Jasa Pengiriman & Logistik.

 * Travel & Biro Haji/Umrah.

 * Properti dan Aset.

Bisnis properti menjadi salah satu puncaknya. Di tahun-tahun berikutnya, di tengah kota Yogyakarta, menjulanglah SM Tower Malioboro, sebuah menara modern yang menjadi simbol kebangkitan dan kemandirian ekonomi Muhammadiyah. Media tua telah bertransformasi menjadi Pusat Bisnis Persyarikatan.

Ia tidak hanya menjadi CEO; ia menjadi “Tukang Adzan Ekonomi Jamaah Muhammadiyah,” sebuah sebutan kehormatan yang diberikan atas keberhasilannya membangunkan potensi ekonomi umat.

Meskipun memimpin sebuah korporasi yang semakin besar dan meraih laba miliaran, Deni Asy'ari tetap dikenal karena kesederhanaannya. Ia seringkali memilih untuk menggunakan kereta ekonomi untuk perjalanan dinas luar kota. Di kantor, ia bisa saja membagikan baju lungsuran kepada stafnya, sebuah gestur yang menegaskan bahwa kekayaan bukanlah untuk dipamerkan, melainkan untuk dibagikan.

Kepemimpinannya adalah model yang unik: ia memimpin dari hati.

"Kami belajar arti kebersamaan yang sesungguhnya dari beliau," tulis salah satu timnya. "Beliau tidak hanya memberi arah, tetapi juga merangkul, mendengarkan, dan menyatukan kami satu per satu. Tidak ada jarak. Tidak ada sekat. Tua-muda sama dekatnya."

Pada tanggal kelahirannya, 24 November, hari di mana sebuah buku komik sederhana tentang perjalanan hidupnya diluncurkan, Deni Asy'ari menerima pengakuan atas kerja kerasnya. Penghargaan mengalir deras. Ia dinobatkan sebagai The Best CEO 2023 versi SWA dan meraih Top Leader In Human Capital 2024.

Namun, pengakuan yang paling menyentuh hati adalah gelar adat yang diberikan dari kampung halamannya: Datuak Marajo (Dt. Marajo). Gelar itu menegaskan bahwa Deni, sang anak nagari, tidak hanya sukses di perantauan, tetapi telah memberikan kontribusi luar biasa yang mengharumkan nama kampung halaman di mata dunia. Ia telah menjadi jembatan antara tradisi Minang yang kuat dengan modernitas korporasi.

Warisan Sang Pewaris Zaman

Kini, bahtera Suara Muhammadiyah melaju jauh, menembus samudra zaman, berlayar melintasi gelombang digital dan ekonomi. Deni Asy'ari telah membuktikan bahwa media tertua pun bisa menjadi yang terdepan, asalkan dinakhodai dengan integritas, strategi, dan, yang paling penting, ketulusan.

Ia adalah kisah hidup tentang janji yang dipenuhi: seorang anak desa dari Bukittinggi yang membawa ilmu dan etos dari Thawalib, mengolahnya di kawah candradimuka UGM, dan mempersembahkannya kepada warisan terpenting bagi umat.

Di balik gelar dan jabatan tinggi, Deni Asy'ari tetaplah pria yang yakin bahwa kerja yang tulus selalu menemukan jalannya, dan bahwa kepemimpinan yang membimbing hati akan menumbuhkan kekuatan yang tidak pernah habis. Ia tidak hanya menyelamatkan sebuah perusahaan, ia membangun masa depan yang lebih terang bagi Persyarikatan dan bangsa.

Selamat Ulang Tahun untuk Datuak Deni Al Asy'ari Marajo.

Semoga bertambah umur semakin terus berbuat untuk umat.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Terinspirasi dari 3 buku babon yang mengulas pendidikan anak usia dini, mulai dari buku Totto Chan: ....

Suara Muhammadiyah

1 October 2024

Humaniora

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah -Di balik sorot matahari yang tak kenal ampun, keluarga PT Syarikat C....

Suara Muhammadiyah

11 September 2023

Humaniora

Harapan dalam Tiap Proses Hidup  Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar  Ma fil aba, fil abna, &....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Humaniora

Melihat dari Dekat Negeri Tiongkok Melalui Provinsi Xinjiang dan Guangdong (1) Oleh: Ahmad Dahlan, ....

Suara Muhammadiyah

28 August 2024

Humaniora

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (2) te....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023