Catatan Sidang Tanwir Kupang: Keramahan NTT dan Peran Muhammadiyah di Tengah Minoritas
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Sidang Tanwir Muhammadiyah merupakan forum strategis yang menjadi wadah evaluasi, musyawarah, dan penentuan arah kebijakan persyarikatan untuk menjawab tantangan zaman. Selain memperkuat silaturahmi dan kekompakan internal, Sidang Tanwir juga menegaskan peran Muhammadiyah dalam memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan masyarakat luas. Forum Tanwir kali ini, Muhammadiyah memilih Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai tuan rumahnya.
Meskipun bukan peserta Sidang Tanwir Muhammadiyah, saya sangat berkeinginan menghadiri acara tersebut. Keinginan ini muncul sebagai pengganti karena tidak sempat menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Surakarta pada tahun 2022. Saat itu, saya masih berada di Australia yang memegang amanah sebagai Ketua PRIM NSW dan tidak dapat mengikuti momentum penting tersebut.
Selain itu, keinginan untuk berkunjung ke Kupang sudah lama saya simpan dalam hati sanubari yang paling dalam. Selain Kupang, masih ada tiga kota yang ingin saya kunjungi. Sorong di Papua, Palu di Sulawesi Tengah dan Pontianak di Kalimantan Barat. Saya pernah berbicara dengan senior andalan, Dr. H. Andi Afdal Abdullah, tentang rencana untuk suatu saat mengunjungi NTT, khususnya ke Maumere.
Namun, rencana tersebut belum pernah terwujud hingga akhirnya Sidang Tanwir Muhammadiyah di Kupang memberikan momentum untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dengan komitmen kuat, saya memutuskan datang ke Kupang dengan biaya sendiri, menjadikan perjalanan ini sebagai pengalaman yang penuh makna.
Selain menghadiri Sidang Tanwir, juga memanfaatkan kunjungan ini untuk melaksanakan penelitian mandiri. Sebagai dosen yang antara lain mengajarkan mata kuliah Komunikasi Lintas Agama dan Budaya, tema penelitian yang saya angkat adalah terkait dengan komunikasi lintas agama dan budaya, khususnya penerimaan masyarakat non-Muslim terhadap kaum minoritas di NTT, termasuk Muhammadiyah.
Tentu penelitian ini memiliki relevansi dengan konteks keberagaman di NTT, di mana umat Islam menjadi minoritas di tengah mayoritas Kristen dan Katolik. Dukungan dari Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Prof. Rasyid Masri, sangat membantu. Beliau memberikan rekomendasi sehingga aktivitas ini tercatat sebagai bagian dari tugas pokok seorang dosen.
Dalam penelitian ini, saya melakukan wawancara dengan tokoh agama dari berbagai denominasi, seperti Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Islam, serta pemuda gereja. Juga berbicara dengan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi dan isu gender, memberikan perspektif yang luas terhadap dinamika sosial dan budaya di Kupang. Untuk mendapat narasumber ini saya sangat terbantu oleh teman saya yang sedang kuliah di Australia asal Kupang yakni Mas Rio dan beberapa teman sesama alumni SMA Negeri 3 Makassar yang sudah menjadi pejabat penting di Kepolisian dan Dinas Kehutanan NTT.
Pengalaman di Kupang sangat berkesan. Warga di sana dikenal ramah, sopan, jujur, dan bertanggung jawab. Saya alami sendiri, bukan kaleng-kaleng. Mulai dari petugas hotel, sopir ojek online, hingga narasumber penelitian, semuanya menunjukkan sikap yang hangat dan membantu. Selama berada di Kupang, saya hampir tidak menemukan alasan untuk mengeluh.
Bahkan, dalam setiap interaksi, saya merasakan kenyamanan dan kejujuran yang membuat perjalanan ini semakin menyenangkan. Salah satu hal yang membuat saya kagum adalah dapat dipastikan atau hampir tidak ada pengemis di Kupang atau wilayah NTT pada umumnya. Menurut para informan yang saya wawancarai, orang NTT memiliki rasa malu yang tinggi jika menjadi pengemis. Mereka percaya bahwa mengemis dapat mempermalukan suku atau klan mereka.
Justru, mereka lebih memilih merantau ke berbagai penjuru tanah air, atau bahkan ke luar negeri seperti Malaysia, daripada menjadi pengemis. Nilai budaya ini memberikan gambaran yang mendalam tentang harga diri dan etos kerja masyarakat NTT. Nilai yang perlu dirujuk dalam arti yang sebenarnya oleh komunitas masyarakat lain di tanah air.
Kehadiran di Sidang Tanwir Muhammadiyah pun mendapatkan pengalaman lain yang tak terlupakan. Momen yang cukup mengesankan adalah kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam acara pembukaan. Kehadiran Presiden memiliki arti penting, menunjukkan dukungan pemerintah terhadap Muhammadiyah sebagai mitra penting dalam pembangunan bangsa. Inilah untuk pertama kalinya Presiden melakukan kunjungan kerja ke provinsi di Indonesia. Bahkan sejak dilantik sebagai Presiden, juga yang pertama kalinya mantan Danjen Kopassus ini menghadiri acara yang digelar organisasi sosial keagamaan.
Muhammadiyah, dengan kontribusinya di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan masyarakat yang inklusif dan berkeadilan. Saat Presiden tiba di lokasi acara, yang berlangsung di halaman depan kampus Universitas Muhammadiyah Kupang, saya melihat langsung bagaimana beliau menunjukkan penghormatan kepada tamu undangan.
Dengan kerendahan hati, Presiden menyalami satu per satu tamu yang duduk di bagian depan, dimulai dari sisi kiri hingga ke kanan. Gestur ini tidak hanya mencerminkan sikap hormat, tetapi juga menciptakan suasana hangat yang menyatukan seluruh peserta. Tepuk tangan meriah, bahkan "standing ovation” dari peserta saat Presiden melambaikan tangannya. Saya duduk pada kursi paling belakang, sehingga tak dapat bersalaman dengan beliau.
Momen lain yang tak kalah pentingnya, adalah dapat bertemu dengan teman-teman lama dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di antaranya yang tak terduga adalah Pak Muckhtar Mele dan Bang Haksan Darwangsa. Banyak dari mereka kini telah menjadi pejabat penting di negara ini, aktif di berbagai bidang strategis, termasuk jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pertemuan ini menjadi momen penuh inspirasi, memperkuat rasa kebanggaan saya terhadap Muhammadiyah dan para kadernya yang terus berkontribusi untuk bangsa dan persyarikatan.
Kehadiran saya di Kupang tidak hanya berfokus pada agenda Sidang Tanwir. Sempat membawakan kuliah umum yang diadakan oleh Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Kupang tentang komunikasi efektif dan etika komunikasi dalam era digital. Saya juga menyempatkan diri untuk menjelajahi budaya dan kehidupan masyarakat setempat. Keberagaman yang terlihat di Kupang menjadi bukti harmoni yang tercipta di tengah pluralitas agama dan budaya.
Dalam berbagai diskusi dengan tokoh masyarakat, mereka menekankan pentingnya saling menghormati, bekerja sama, dan hidup berdampingan di tengah perbedaan. Saya semakin memahami bagaimana masyarakat NTT menjadikan toleransi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga hubungan antarumat beragama di wilayah ini berjalan dengan damai.
Perjalanan ini menjadi pengalaman yang penting, memperkaya perbendaharaan perspektif tentang pentingnya keberagaman dan toleransi dalam masyarakat. Selain itu, penelitian yang saya lakukan memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana Muhammadiyah diterima oleh masyarakat non-Muslim di NTT, menunjukkan bahwa inklusivitas dan kontribusi nyata dapat menciptakan hubungan yang harmonis di tengah perbedaan.
Kupang, dengan keramahan warganya, nilai-nilai budayanya, dan perannya sebagai tuan rumah Sidang Tanwir Muhammadiyah, meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Pengalaman ini semakin memperkuat keyakinan saya bahwa Muhammadiyah tetap menjadi salah satu garda terdepan dalam menciptakan kemajuan bagi Indonesia.***
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia 2021-2022