Oleh: Donny Syofyan
Seorang orientalis Barat H.A.R. Gibb dalam bukunya The Wither Islam mengatakan bahwa Islam tidak saja merupakan suatu agama, tetapi juga meliputi sistem peradaban yang utuh (Islam is indeen much more than a system of theology, it is a complete civilization). Watak komprehensif Islam sebagai sebuah agama yang sempurna berkelindan dengan justifikasi Allah SWT (QS 5: 3).
Dalam ungkapan yang senada, Sharon Shiddique mengajukan konstruk tentang Islam, yang di satu sisi merupakan agama yang sarat dengan formulasi-formulasi ritualistik sebagai sistem kanonik yang berisi lebih dari sekadar impuls individual, namun di sisi lain juga memuat tentang tatanan sosial, politik dan ekonomi yang secara kultural dan struktural terjadi proses kohesi dan koeksistensi dalam kehidupan masyarakat luas. (Islam Kontemporer: Agama atau Ideologi, 1987). Dalam periode formatifnya, Islam telah menunjukkan sifat-sifat yang revolusioner, progresif dan rasional, tidak tergantung kepada kapasitas institusi dan birokrasi, melainkan kepada spektrum kejuangan Rasulullah SAW dalam menawarkan ragam ide visioner dan alternatif kepada kaum tertindas.
Dimensi superioritas doktrinal telah menempatkan Islam menjadi kekuatan sejarah (historical force) pada penggalan kontinum ruang dan waktu. Dimulai pada masa para sahabat dan berbagai prestasi kreativitas intelektual (‘Umar ibn al Khattab, ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibnu ‘ Abbas, Ibnu ‘Umar, Syuraeh, dll) hingga mencapai kurun abad pertengahan, terutama pada saat berlangsung gelombang Hellenisme (150-660 H/768-1260 M).
Sayangnya, klaim-klaim keberpihakan sejarah tidak selalu menjadi monopoli tunggal umat Islam. Pasang surut, romantika, dinamika spesifik baik secara internal maupun eksternal menjadikan Islam mengenakan performa yang tidak lagi steril dari bias interaksi sistem nilai. Hal ini cukup beralasan ketika piranti dasar Islam (‘aqidah, ‘ibadah, akhlaq dan mu’amalah) kena polusi racun-racun yang menggerogoti, seumpama, percikan bid’ah, madzhab ilmu kalam yang adakalanya menyesatkan serta kerancuan filsafat. Sungguh pun bangunan mayoritas berada pada wilayah umat Islam, namun ternyata belum cukup berdaya menciptakan determinasi dominasi kualitatif secara luas.
Sesungguhnya masalah jatuhnya intelektualitas umat Islam tidak berdiri sendiri, bukan sebuah unit yang tunggal. Ia menyatu dengan kompleksitas persoalan yang melibatkan pendadaran waktu yang berabad-abad. Pada hal menjadi anutan keyakinan populer mulai awal abad ke-19 ini adalah momentum srategis kebangunan Islam (al-shahwah al islamiyyah) dengan segala manifestasinya. Sayangnya, spirit optimis ini tengah meringkuk dalam taruhan eksistensial. Jargon keislaman kerap mengendap pada tataran retoris-seremonial. Sehingga ia hanya kuasa tampil raga tanpa isi dengan wajah yang compang-camping.
Menjadi pertanyaan, kenapa nature keunggulan sistem nilai Islam tidak ekuvalen dengan citra prestasi intelektual umat? Hemat penulis, ada beberapa variabel yang amat signifikan.
Pertama, kemandekan kreativitas pikiran. Islam telah mengawali misinya dengan mempromosikan revolusi teologis rasional. Revolusi ini mengartikulasikan substansinya lewat diktum Iqra’ (Bacalah). Jelas ini berintikan doktrin renaisans intelektualitas dalam upaya manusia menghampiri Al Khaliq. Pola keyakinan yang menggandeng improvisasi rasional akan mencetuskan integritas keyakinan paripurna. Di sini, kaum Mu’tazilah—tanpa bermaksud mengutamakannya—telah memainkan peranan penting, seperti terlihat pada era Khalifah Al Ma’mun (813-833 M) di Baghdad dan ia sendiri adalah seorang Mu’tazilah.
Tatkala emaskulasi menjangkiti institusi pikir, yang dilatarbelakangi oleh beragam kepentingan ideologis-politis, umat Islam mulai mengalami erosi elan vital keinsafan dan perasaan keberagamaan. Hal ini pada gilirannya bertanggung jawab atas munculnya dogmatisme agama yang tidak memberi ruang gerak buat kreasi pikir. Cukup ironis karena dalam Al Qur’an seseorang yang berinteraksi dengan perintah Allah SWT lewat proses pemikiran kritis dan pilihan bebas dinilai lebih mulia daripada seseorang yang menerimanya secara dogmatis. Al Qur’an merekam pertanyaan kritis yang dilontarkan Ibrahim AS sewaktu beliau meminta Allah membuktikan kekuasaan-Nya dalam hal menghidupkan orang mati (QS 2: 260).
Upaya membangun paradigma beragama yang cenderung dogmatis justru melahirkan afiliasi keyakinan yang tidak sadar dalam entitas emosional. Model keberagaman demikian telah menempatkan umat Islam stagnan dan berjarak dari poros keunggulan yang punya solusi guna menjalankan transformasi logis dan aktif terhadap dinamika persoalan mu’ashirah (kontemporer). Akhirnya, apresiasi terhadap kreasi dan inovasi pikir menjadi tuntutan urgensif demi mengoreksi distorsi perilaku keagamaan yang mengebiri institusi pikir.
Kedua, tendesi interpretasi secara literal. Salah satu yang menjadi sorotan penting buat mengantarkan pada keimanan sejati adalah keberadaan teks-teks keagamaan sebagai sumber referensial (Al Qur’an dan Sunnah). Keterlibatan dan interaksi dengan teks-teks tersebut menjadi kondisi tak terelakkan dalam memahami dan mengamalkan pesan-pesan keagamaan. Namun, karena kapasitas intelektual, internalisasi spiritual dan dibarengi pengaruh situasi khas dalam pandangan mereka pada agama berbeda, dengan sendirinya bobot pemahaman dan hasilnya berbeda pula.
Persoalan menjadi runyam bilamana umat Islam terjebak pada pola keberagaman yang dikarakteristikkan dengan kecenderungan interpretasi teks-teks keberagamaan secara literal. Teks-teks keagamaan dipahami menurut apa terbaca dan tersurat dengan tidak mengorbit pada tataran substantif. Corak seperti ini terang menolak luasnya spektrum pemahaman teks-teks keagamaan, seperti dijumpai dalam literatur ilmu Al Qur’an dengan tema tafsir yang menunjuk kepada dimensi zawahir (eksoteris) dan ta’wil yang mengidentifikasikan aspek dlama’ir (esoteris). Pada esensinya, keanekaan cara pandang yang berimplikasi pada keragaman ekspresi pemahaman dan manifestasi keagamaan merupakan suatu keniscayaan, sesuai dengan sunnatullah.
Kecenderungan tunduk terhadap interpretasi literal teks-teks keagamaan menjadikan umat Islam membangun paradigma berpikirnya secara sempit; terbelenggu monopoli tunggal klaim-klaim kebenaran dan keselamatan (claims of truth and salvation), berpijak pada sikap literer yang kaku yang tidak membenarkan variasi-variasi individual dan norma-norma skriptural, serta gamang menyikapi kemajemukan produk pikir. Sebenarnya, bila sekadar klaim—level doktrin agama atau wacana intelektual—tidak masalah karena sekadar dialog pendapat. Namun, tatkala memasuki wilayah organisasi—level perebutan sumber daya—akan berbahaya. Betapa pun, ini menjadi pemicu sentral yang menggiring umat tidak proaktif dalam memberi respon terhadap problem realitas plural yang dihadapi dalam wacana kosmik. Semua ini pada gilirannya bakal meruwetkan upaya untuk penyegaran kembali otensitas fikroh Islam—(Bersambung)
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas