Dilema Petani Padi: Gabah Tinggi, Nasi Mahal

Publish

19 August 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
158
Dok. Istimewa

Dok. Istimewa

Oleh : Chabibul Barnabas, Bendahara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PWM Jawa Tengah

Kenaikan harga gabah di Indonesia menjadi topik yang penuh dilema, terutama pada tahun 2024 ini. Di satu sisi, harga gabah yang tinggi memberikan keuntungan bagi petani padi, namun di sisi lain, penikmat nasi—konsumen akhir—merasa tercekik dengan harga beras yang melambung. Kondisi ini menciptakan sebuah paradoks yang sulit dipecahkan, di mana keberhasilan petani justru menjadi sumber kekhawatiran bagi masyarakat luas.

Sepanjang tahun 2024, harga gabah terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bulan Februari, harga Gabah Kering Panen (GKP) tercatat naik hingga 27,14% secara tahunan, mencapai Rp7.261 per kilogram. Hal ini tentu saja disambut dengan sukacita oleh petani. Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor tanaman pangan, yang menjadi indikator kesejahteraan petani, juga meningkat tajam sebesar 3,57%.

Kebijakan pemerintah melalui Badan Pangan Nasional yang memperbolehkan fleksibilitas harga pembelian gabah oleh Bulog, menjadi salah satu langkah strategis untuk menjaga harga di tingkat petani tetap stabil, terutama saat panen raya. Fleksibilitas ini memungkinkan Bulog membeli GKP dengan harga lebih berkeadilan untuk petani kita. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan harga gabah tidak jatuh terlalu dalam saat pasokan melimpah.

Namun, kebahagiaan petani ini tidak dirasakan oleh konsumen. Kenaikan harga gabah otomatis berdampak pada harga beras di pasaran. Pada awal April 2024, harga beras terus mengalami peningkatan, bahkan di beberapa daerah mencapai titik tertinggi. Peningkatan harga ini membuat konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah, harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan kebutuhan pokok ini.

Kondisi ini menimbulkan polemik. Banyak yang mengeluhkan harga beras yang semakin tidak terjangkau, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Pemerintah dihadapkan pada dilema untuk menyeimbangkan kepentingan antara produsen (petani) dan konsumen (penikmat nasi).

Pemerintah melalui Bulog telah berupaya melakukan intervensi untuk menstabilkan harga beras. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dari produksi dalam negeri, serta memberlakukan kebijakan fleksibilitas harga. Namun, upaya ini tidak selalu mulus. Proyeksi produksi yang besar di bulan-bulan panen raya seharusnya bisa menekan harga beras, namun kenyataannya, harga tetap tinggi karena biaya produksi yang ikut meningkat dan distribusi yang kurang efisien.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan harga beras tetap terjangkau tanpa merugikan petani. Saat ini, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor seperti ongkos produksi yang semakin mahal, biaya distribusi yang tidak efisien, dan tantangan global seperti perubahan iklim yang mempengaruhi hasil panen. Solusi jangka panjang, seperti meningkatkan teknologi pertanian dan memperbaiki rantai distribusi, mungkin perlu menjadi prioritas.

Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Peningkatan efisiensi produksi dan distribusi harus menjadi fokus utama. Pemerintah juga bisa mempertimbangkan pemberian subsidi langsung kepada konsumen berpenghasilan rendah untuk membantu mereka membeli beras dengan harga yang terjangkau, tanpa harus menekan harga gabah yang merugikan petani.

Selain itu, edukasi kepada petani mengenai teknik bercocok tanam yang lebih efisien dan ramah lingkungan juga perlu ditingkatkan. Dengan hasil panen yang lebih baik dan biaya produksi yang lebih rendah, keseimbangan antara harga gabah yang menguntungkan petani dan harga beras yang terjangkau bagi konsumen bisa lebih mudah dicapai.

Harga gabah yang tinggi adalah pedang bermata dua bagi Indonesia. Di satu sisi, hal ini menguntungkan petani, meningkatkan pendapatan mereka dan nilai tukar petani. Namun di sisi lain, masyarakat luas harus menghadapi harga beras yang semakin tinggi, menambah beban hidup mereka. Kebijakan pemerintah yang cermat dan pendekatan yang menyeluruh sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan dilema ini, agar semua pihak, baik petani maupun konsumen, bisa mendapatkan keuntungan yang adil dan seimbang.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

  Dari BJ Habibie Hingga FX Silaban Oleh: Assoc. Prof. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid Judul di....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023

Wawasan

Menjaga Amanah Persyarikatan Oleh: Saidun Derani Pada Pembukaan Baitul Arqam Pimpinan  Univer....

Suara Muhammadiyah

14 January 2024

Wawasan

Tiga Pilar Hidup Berumah Tangga Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok Modern Muhammadiya....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Wawasan

Dahlan Menjawab Zamannya Oleh: Saidun Derani Dalam bukunya ”Politik Kaum Modernis: Perlawana....

Suara Muhammadiyah

23 May 2024

Wawasan

Oleh Mu’arif  Pada mulanya, Muhammadiyah adalah ”organisasi massa” (non gove....

Suara Muhammadiyah

20 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah