DNA Kedermawanan Semangat Filantropi Indonesia

Publish

9 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
106
pixabay

pixabay

DNA Kedermawanan Semangat Filantropi Indonesia

Oleh: Ratna Arunika, Anggota LLHPB dan Pengurus KLL PWA JATIM

Awal Desember 2025, Indonesia kembali diuji. Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menggulung rumah-rumah, menghanyutkan sawah dan jembatan, serta merenggut ratusan jiwa. Air yang turun tanpa kompromi seakan mengingatkan bahwa negeri ini berada di jalur cincin api dan sabuk bencana, tak ada tahun tanpa luka.

Namun seperti selalu ada satu hal yang justru menguat setiap kali musibah datang, kecepatan dan ketulusan masyarakat untuk saling menolong. Beberapa saat setelah berita banjir beredar, posko darurat muncul di masjid dan sekolah, relawan berdatangan dari berbagai provinsi, dan gelombang donasi mengalir melalui kanal daring. Gambar-gambar itu menyentuh kesadaran kolektif kita, di tengah duka dan kehilangan, Indonesia selalu menemukan cara untuk kembali menjadi rumah bagi satu sama lain.

Fenomena ini bukan sekadar respons spontan. Ia adalah hasil dari warisan budaya yang panjang, spiritualitas yang mendalam, dan mekanisme otak manusia yang memang dirancang untuk peduli. Filantropi sudah menjadi bagian dari karakter bangsa ini jauh sebelum istilah “filantropi” diperkenalkan oleh dunia modern.

Warisan Filantropi dari Leluhur, Gotong Royong sebagai DNA Sosial

Indonesia sejak tahun 2018 sampai tahun 2004,  selama tujuh kali berturut-turut dinobatkan sebagai negara paling dermawan nomor satu oleh World Giving Index. Meski dalam World Giving Report 2025 posisinya turun ke peringkat 21, karena perubahan metodologi survei yang kini lebih komprehensif, mengukur tidak hanya frekuensi memberi tetapi juga proporsi donasi terhadap pendapatan dan keragaman cara memberi, sementara kondisi ekonomi domestik yang lesu juga menurunkan daya beli masyarakat untuk berdonasi. Masyarakat Indonesia tetap berada di atas rata-rata dunia dalam hal membantu orang asing, berdonasi, dan menjadi relawan. Yang menarik, tingkat kedermawanan ini tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pendapatan nasional. Artinya, kedermawanan masyarakat Indonesia tidak berangkat dari kelimpahan harta, tetapi dari kelimpahan nilai.

Gotong royong tercatat dalam prasasti Mataram Kuno abad ke 8-10 M, bahkan dipercaya sudah ada sejak era Neolitikum. Dalam tradisi itu, seluruh warga desa turun tangan membantu tetangga yang membangun rumah, memanen sawah, atau mengadakan hajatan. Tidak ada kontrak, tidak ada imbalan. Yang ada hanya rasa bahwa hidup ini adalah milik bersama.

Dalam konteks historis, gotong royong bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan fondasi politik dan filsafat hidup. Presiden Soekarno menjadikannya inspirasi untuk Pancasila dan konsep kebangsaan yang inklusif. Ia meyakini bahwa Indonesia hanya bisa berdiri karena masyarakatnya terbiasa menopang satu sama lain.

Di berbagai daerah, nilai ini menjelma menjadi tradisi lokal: meugang di Aceh, mapalus di Minahasa, begibung di Lombok, masipatur hutana di Tapanuli, hingga sistem noken sosial di Papua. Semua menunjukkan satu hal memberi adalah cara kita merawat kehidupan.

Di negeri yang plural ini, agama memainkan peran penting dalam membentuk etika sosial. Mayoritas masyarakat tumbuh dalam ajaran bahwa harta adalah amanah, bukan kepemilikan mutlak. Dalam Islam, konsep zakat, infak, sedekah, dan wakaf menjadi pilar kedermawanan.

Dalam tradisi Islam saja, potensi zakat nasional diperkirakan mencapai Rp. 500-600 triliun per tahun, angka yang menunjukkan betapa besar kekuatan ekonomi spiritual masyarakat Indonesia. Esensi filantropi dalam Islam adalah keikhlasan dan memberi bukan untuk reputasi sosial, melainkan sebagai ekspresi cinta kepada Allah dan sesama manusia. Memberi sebagai tanda keimanan sejati, seperti yang difirmankan Allah:  

وَيُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسۡكِيۡنًا وَّيَتِيۡمًا وَّاَسِيۡرًا اِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِـوَجۡهِ اللّٰهِ لَا نُرِيۡدُ مِنۡكُمۡ جَزَآءً وَّلَا شُكُوۡرًا‏‏

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Sambil berkata): ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dan terima kasih darimu.’” (QS. Al-Insan [76]: 8–9)

Dalam ayat yang lain Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dalam setiap harta ada hak orang miskin. Quran surat Adz-Dzariyat: 19

وَفِىٓ أَمْوَٰلِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَٱلْمَحْرُومِ

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 19)

Ayat tentang sedekah tidak hanya menekankan kewajiban, tetapi juga psikologi memberi bahwa memberi tidak mengurangi harta, melainkan menambah keberkahan.

Hadis Rasulullah Muhammad ﷺ menyebut:
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,”

Sebuah metafora tentang martabat dan kebebasan batin yang lahir dari kedermawanan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa memberi justru menambah keberkahan, baik secara spiritual maupun sosial. Memberi menjadi sarana pembersihan hati dari keserakahan dan peneguhan keimanan.

“Harta tidak akan berkurang karena sedekah. Dan Allah tidak menambah kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan, serta tidak merendahkan orang yang tawaduk kecuali Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588)

Di sinilah spiritualitas menemukan relevansi sosialnya bahwa  memberi bukan sekadar ritual, tetapi cara memperbaiki ketimpangan dan merawat keseimbangan sosial.

Neuropsikologi Filantropi: Otak Kita Memang Diciptakan untuk Peduli

Penelitian neuroscience mengungkap mekanisme menarik, saat kita melihat orang lain menderita, mirror neuron di otak kita aktif. Kita merasakan emosi mereka, seolah-olah kita sedang mengalaminya. Rasa “tergerak” itu bukan sekadar moralitas melainkan sebuah reaksi biologis.

Ketika seseorang memberi, pusat reward di otak melepaskan: dopamin, yang menimbulkan rasa senang; oksitosin, hormon keterhubungan dan kepercayaan; endorfin, yang menciptakan ketenangan. Gabungan hormon ini menghasilkan apa yang disebut helper’s high, euforia lembut setelah berbuat baik.

Penelitian di UGM (2023) menemukan bahwa orang yang rutin berdonasi memiliki aktivitas prefrontal cortex yang lebih stabil dalam menghadapi stres. Artinya, memberi bukan hanya membantu orang lain, tetapi juga memperkuat kesehatan mental pemberinya, mengurangi stres, meningkatkan rasa bermakna, dan meneguhkan identitas diri sebagai bagian dari komunitas.

Tak heran jika masyarakat Indonesia berbondong-bondong membantu korban banjir Aceh, Sumut, dan Sumbar. Empati mereka bukan hanya kultur, tetapi juga biologi.

Perspektif Sosiologis: Filantropi sebagai Perekat Kehidupan Bersama

Dalam ilmu sosiologi, filantropi dipandang sebagai instrumen penting pembentuk kohesi sosial. Émile Durkheim membagi solidaritas menjadi mekanis (berbasis nilai) dan organik (berbasis kolaborasi modern). Indonesia memiliki keduanya.

Solidaritas mekanis terlihat pada tradisi gotong royong, rasa malu jika tidak peduli, dan norma sosial yang mengharapkan setiap orang berpartisipasi dalam kegiatan komunitas. Solidaritas organik tampil melalui lembaga zakat, crowdfunding, gerakan relawan, dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor bisnis.

Keduanya membentuk jaring pengaman sosial alami. Ketika negara tak mampu sepenuhnya menjangkau korban dalam hitungan jam, masyarakatlah yang pertama hadir.

Dalam sosiologi kontemporer, Robert Putnam mengenalkan konsep bonding (keakraban internal) dan bridging (keterhubungan antar-kelompok). Filantropi Indonesia memiliki keduanya, kuat dalam keluarga dan komunitas, tetapi juga luas dalam jejaring antar agama, antarsuku, dan antardaerah.

Di sinilah letak kekuatan sejati masyarakat Indonesia sebuah komunitas yang terlibat secara emosional dan spiritual (engaged community) di mana kedermawanan bukan kewajiban, tapi cerminan dari siapa kita sebenarnya. Sebuah bangsa yang percaya bahwa tangan yang terbuka untuk memberi selalu lebih kuat daripada tangan yang menggenggam untuk menahan.

Hal inilah yang membuat gerakan donasi untuk banjir Aceh, Sumut, dan Sumbar cepat meluas. Orang Jawa, Sunda, Bali, Batak, Minang, Bugis, hingga Tionghoa, semua bergerak dalam satu semangat  kemanusiaan.

Bencana Desember 2025: Cermin Jernih Kemanusiaan Kita

Musibah banjir di Sumatera awal Desember 2025 memperlihatkan wajah autentik filantropi Indonesia. Ketika air bah menutup rumah dan sawah, warga setempat bergerak saling mengevakuasi. Masjid membuka pintu sebagai posko, para relawan seperti MDMC menyediakan dapur umum, menampung korban, dan melakukan asesmen untuk memetakan jumlah korban, kerusakan dan kebutuhan apa yang diperlukan penyintas. kelompok masyarakat, lembaga-lembaga kemanusiaan, LAZIS, salah satunya LAZISMU bekerja bersama tanpa menanyakan identitas apa pun.

Relawan menggunakan perahu kecil milik nelayan untuk menembus aliran deras. Anak-anak muda mengorganisasi donasi melalui media sosial. Murid-murid di sekolah-sekolah juga berpartisipasi memberikan donasi, bahkan warga di kota-kota besar yang tak mengenal siapa pun di daerah tersebut tetap ikut mengirim dana, selimut, obat-obatan, pakaian, perlengkapan sekolah, makanan, hingga kebutuhan bayi. Empati kolektif biasanya berupa donasi uang (82%), bantuan langsung (61%), dan volunteering (61%).

Dalam tragedi ini, kita melihat bahwa kemurahan hati selalu muncul lebih cepat daripada rasa takut. Seolah-olah, setiap kali bencana datang, kita diingatkan pada satu prinsip sederhana, tidak ada satu pun dari kita yang mampu berdiri sendirian.

Filantropi sebagai Mesin Pembangunan Sosial

Filantropi bukan hanya perkara bantuan sesaat. Ia berperan besar dalam pembangunan berkelanjutan. Banyak inisiatif pendidikan, kesehatan, UMKM, hingga konservasi lingkungan yang lahir dari sumbangan masyarakat, bukan anggaran negara.

Lembaga zakat, komunitas relawan, dan filantropi digital kini mampu menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya terpencil. Mereka memberikan beasiswa, pelatihan keterampilan, modal usaha, dan layanan kesehatan gratis. Dampaknya bukan hanya pada penerima, tetapi pada struktur sosial secara keseluruhan yaitu membangun kemandirian, memperkuat martabat, dan menciptakan ruang untuk mobilitas sosial.

Di sinilah letak kekuatan filantropi Indonesia, ia lahir dari bawah, dari hati masyarakat sendiri. Dan justru karena itu, ia lebih lentur, lebih cepat, dan lebih peka dibanding banyak mekanisme formal.

Setiap bencana mengingatkan kita bahwa manusia rapuh. Air bisa meruntuhkan rumah, gempa bisa mengguncang tanah, kebakaran bisa menghanguskan mimpi. Namun ada sesuatu yang tidak pernah runtuh, kemampuan manusia untuk peduli.

Dalam refleksi yang lebih dalam, filantropi sebenarnya adalah cara kita pulang kepada siapa diri kita sebenarnya. Memberi membuat kita merasa terhubung, merasa berguna, dan merasa hidup. Ia mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukan apa yang kita simpan, tetapi apa yang kita sampaikan kepada orang lain.

Pepatah Jawa berkata, “Wong sing duweke ati, duweke kabeh” artinya orang yang punya hati, punya segalanya. Kalimat sederhana ini menyimpan kedalaman spiritual bahwa kekayaan sejati bukan pada harta, tetapi pada keluasan hati untuk memberi. Dalam budaya kita, memberi bukan kehilangan, melainkan menemukan makna terdalam dari menjadi manusia.

Hari ini, kita mungkin tak mampu mengubah dunia. Tapi kita bisa melakukan satu kebaikan kecil membantu tetangga yang membutuhkan, menyebarkan informasi donasi yang valid, atau sekadar mendengarkan cerita orang yang butuh teman bicara.

Karena pada akhirnya, di Indonesia, memberi bukan sekadar tindakan, ia adalah napas panjang yang membuat bangsa ini tetap utuh. Dan “dalam memberi, kita menemukan diri sendiri.”

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Prof Dr Muhadjir Effendy, MAP Kader Muhammadiyah punya tanggung jawab tidak hanya pada umat, ....

Suara Muhammadiyah

3 January 2025

Wawasan

Ekonomi Berdikari Muhammadiyah Oleh: Dr Masud HMN Berdirinya gedung SM delapan tingkat yang terlet....

Suara Muhammadiyah

5 October 2023

Wawasan

Muhammadiyah dan Hasil Survei  Oleh: Rumini Zulfikar Beberapa hari ini kita sebagai warga, pi....

Suara Muhammadiyah

9 September 2023

Wawasan

Puasa Bukan Hukuman, Tapi Jalan Kebahagiaan Menuju Tuhan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

11 March 2024

Wawasan

Kemerdekaan untuk Mempersiapkan Generasi Emas Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko, Anggota LPCRPM PP Muh....

Suara Muhammadiyah

26 August 2024