Suara Muhammadiyah dan Revolusi Industri 2.0
Oleh Mu’arif
Suara Muhammadiyah (SM) terbit perdana pada 1915 dengan tiras yang amat kecil, tetapi sekitar enam tahun setelahnya, majalah ini mampu terbit secara besar-besaran dalam momentum perayaan Maulid Nabi yang digelar di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta pada tahun 1921. Dalam catatan redaksi, sang pemred (AD Hanie) menulis bahwa penerbitan pada waktu itu “nyalahi adat” penerbitan karena SM dicetak 5000 eksemplar. Momentum ini menjadi pertanda bahwa Muhammadiyah—dengan SM sebagai orgaan resminya—mampu menjinakkan disrupsi pada awal abad ke-20.
Perubahan besar dimulai pada awal abad abad ke-20, terutama setelah ditemukan listrik dan mesin-mesin industri di Eropa. Temuan Johan Gutenberg pada tahun 1450 berupa alat cetak manual telah disempurnakan dengan mesin industri sehingga produksi barang cetakan kian masif. Di Nusantara, pada awal abad ke-20, kehadiran mesin cetak telah mengawali babak baru gerakan nasional yang diinisiasi oleh para intelektual pribumi.
Produk mesin cetak dalam bentuk media massa berfungsi sebagai media sosial yang efektif pada awal abad 20 atau tahapan awal Revolusi Industri 2.0. Kehadirannya mengiringi pertumbuhan gerakan-gerakan nasionalis bumiputra. Inilah masa-masa peralihan model perjuangan kaum bumiputra dari yang sebelumnya cenderung fisik tetapi sporadis menjadi model perjuangan diplomasi secara kolektif. Pengaruh kebijakan politik etis memang tidak dapat diabaikan dalam hal ini.
Politik Etis di bidang pendidikan memang telah melahirkan kelas elite modern yang melek literasi di tanah air pada waktu itu. Mereka adalah para lulusan sekolah-sekolah Belanda yang mengalami proses penyadaran lewat proses transmisi pengetahuan dari Barat. Lewat pendidikan formal mereka mengenal teori-teori kehidupan berbangsa dan bernegara secara modern.
Tetapi di luar faktor Politik Etis, sebenarnya kehadiran budaya baru yang datang dari Eropa—lewat kolonialisme Belanda—telah mengenalkan alat produksi modern bernama mesin cetak. Produk mesin cetak berupa media massa hadir secara masif. Dari sinilah sebenarnya kesadaran berbangsa dibangun lewat tulisan-tulisan menggugah nurani bangsa. Lewat media massa mereka membaca dinamika pemikiran liberal yang sedang bergulir di negara-negara Eropa.
Riset Abdurrahman Surjomijarjo (2008: 267-269, 243-248) paling tidak menyebut sekitar 60 media massa nasional yang dikelola secara profit oleh kaum bumiputra pada sekitar tahun sebelum 1930-an. Sedangkan surat kabar atau media massa yang dikelola secara profit di Yogyakarta mencapai 40-an media. Belum lagi media-media massa milik perkumpulan-perkumpulan lokal yang dikelola secara sederhana, dengan mekanisme penerbitan yang tidak teratur, serta jumlah oplag media yang sangat terbatas.
Dari 40-an media massa yang dikelola secara professional di Yogyakarta pada tahun 1930-an, Suara Muhammadiyah adalah media massa yang cukup bergengsi karena kedudukannya sebagai orgaan resmi Persyarikatan Muhammadiyah. Ketika oplah umum media massa pada waktu itu hanya sebesar 1000 eksemplar, maka pada tahun 1921, di bawah kepemimpinan AD Hanie (Hoofdredacteur), majalah ini dicetak hingga 5000 eksemplar sampai-sampai dianggap “menyalahi adat” penerbitan media massa (terkait tiras) pada waktu itu.
Dokumentasi penerbitan SM tahun 1921 menjadi bukti historis bahwa majalah ini telah sukses menjinakkan disrupsi pada awal abad ke-20 dan merajai penerbitan pada zamannya. []