Dokter Itu Bernama Corona
Oleh: Hening Parlan
Nama itu dulu sering disalahpahami. Di masa pandemi, ketika dunia dicekam oleh kata Corona, media sosial bahkan menuduh bahwa nama seorang dokter Muhammadiyah ini palsu—seolah hanya lelucon dari wabah. Tapi ia tetap tersenyum dan menjawab dengan tenang, “Nama saya memang Corona, dari orang tua saya.” Ini bukan karena ada virus.
Dialah dr. Corona Rintawan, Sp.EM, seorang dokter yang telah mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan. Kini, nama itu justru diingat dunia bukan karena wabah, tetapi karena pengabdian yang melampaui batas geografis dan waktu. Di bawah koordinasinya, Emergency Medical Team (EMT) Muhammadiyah telah menjadi simbol pengabdian kemanusiaan yang terstruktur dan profesional. EMT Muhammadiyah sendiri berada di bawah Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), lembaga yang menangani kebencanaan dan manajemen krisis di seluruh Indonesia, dan sejak 2007 telah dirintis sebagai Disaster Medical Committee (DMC) sebelum berkembang menjadi tim medis tanggap darurat bersertifikasi internasional.
Pada Minggu, 19 Oktober 2025, Muhammadiyah resmi mencatat sejarah baru dalam kiprah kemanusiaan nasional dan internasional. Emergency Medical Team (EMT) Muhammadiyah dinyatakan terverifikasi oleh World Health Organization (WHO) sebagai tim medis darurat berstandar internasional pertama dari Indonesia. Pencapaian ini menjadi bukti nyata pelaksanaan program prioritas kedelapan Muhammadiyah periode 2022–2027, yakni memperluas dan melembagakan internasionalisasi Muhammadiyah dalam misi dakwah dan tajdid yang rahmatan lil-‘alamin.
Proses menuju verifikasi ini melibatkan kerja sama lintas lembaga di lingkungan Persyarikatan, termasuk Lazismu, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU), Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang), Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional (LHKI), serta Muhammadiyah Aid. Pelaksanaan dan pengelolaan EMT Muhammadiyah dilakukan oleh Lembaga Resiliensi Bencana (LRB)/MDMC Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang sejak awal memimpin proses penguatan kapasitas kelembagaan, penyusunan prosedur, serta pelatihan teknis untuk mencapai standar global WHO.
Berbagai kesiapan dilakukan secara sistematis, mencakup penguatan sumber daya manusia melalui dukungan tenaga medis dari Rumah Sakit Muhammadiyah–‘Aisyiyah (RSMA) dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah–‘Aisyiyah (PTMA), penyusunan standar prosedur operasional (SOP) sesuai panduan WHO, serta pemenuhan fasilitas logistik dan peralatan medis. Sebelumnya, EMT Muhammadiyah telah menjalani tahap pre-verification WHO pada 9–10 Juli 2025 di Yogyakarta, dengan pendampingan teknis dari Robert Koch Institute (RKI) dan International Search and Rescue (ISAR) Germany. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, WHO menyatakan EMT Muhammadiyah layak mengikuti proses verifikasi akhir untuk memperoleh status resmi sebagai tim medis darurat internasional.
Sebelum menjadi tokoh global, dr. Corona memulai kariernya sebagai dokter di RS Muhammadiyah Lamongan. Di rumah sakit itu, ia belajar bahwa profesi medis bukan sekadar keterampilan, melainkan amanah keimanan. Ia sering turun langsung membantu masyarakat terdampak banjir, tanah longsor, dan gempa di Jawa Timur. Dari sinilah panggilan hidupnya untuk menjadikan dunia kebencanaan sebagai ladang dakwah muncul.
Tahun 2007 menjadi titik awal perintisan EMT Muhammadiyah, dengan pendirian Disaster Medical Committee (DMC). Ketika MDMC resmi dibentuk pada 2009, dr. Corona menjadi salah satu penggerak utamanya. Ia membangun sistem pelatihan, kurikulum, logistik, hingga protokol medis yang mengikuti standar global, sambil memastikan setiap relawan muda memahami nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin.
Perjalanan menuju pengakuan internasional tidak mudah. Lebih dari satu dekade, EMT Muhammadiyah menempuh jalan terjal: menghadapi keterbatasan sumber daya, pelatihan ketat, hingga uji lapangan dalam berbagai bencana besar—dari gempa Padang (2009), erupsi Merapi (2010), tsunami Aceh (2014), gempa Palu dan Lombok (2018), hingga pandemi COVID-19 (2020). Di setiap peristiwa itu, dr. Corona dan timnya hadir. Kadang di tengah tenda darurat berlantaikan tanah, kadang di bawah langit hujan dengan suara tangisan korban yang kehilangan segalanya. Namun keyakinan mereka tidak pernah padam, bahwa menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan kemanusiaan seluruhnya.
“Setiap tindakan medis adalah ibadah,” ujarnya suatu kali. Kalimat itu mencerminkan semangat Al-Ma’un yang menjadi jiwa EMT Muhammadiyah—bahwa keimanan sejati harus tampak dalam amal sosial. EMT bukan sekadar tim medis, tetapi manifestasi dari dakwah bil-hal, dakwah melalui tindakan nyata yang membawa rahmat bagi semua.
Ada banyak kisah lucu dan haru dalam perjalanan panjang itu. Salah satunya ketika pandemi COVID-19, akun media sosial dr. Corona sempat dibombardis karena dianggap menggunakan nama palsu. “Banyak orang menuduh nama saya mengada-ada,” ujarnya sambil tertawa. Tapi dari balik tawa itu tersimpan kesabaran dan keteguhan hati seorang pejuang yang telah terbiasa menghadapi badai—baik di medan bencana maupun di dunia maya.
Dalam setiap misi kemanusiaan, dr. Corona selalu menekankan pentingnya kerja kolektif. Ia tak pernah mengklaim keberhasilan untuk dirinya sendiri. Ia menyebut EMT Muhammadiyah sebagai hasil kerja ribuan relawan dan anggota tim, termasuk Kyai Budi Setiawan dan tim lainnya, yang telah mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan keselamatan. Ia tahu, setiap keberhasilan hanyalah buah dari gotong royong dan niat yang tulus.
Kini, EMT Muhammadiyah diakui secara global. Tim ini dapat diterjunkan dalam misi lintas negara dengan standar dan sistem yang diakui dunia. Namun bagi dr. Corona, keberhasilan ini bukan puncak, melainkan tanggung jawab baru. Ia selalu mengingatkan, “Yang penting bukan pengakuan, tapi keberlanjutan niat dan kerja.”
Meski telah menjadi tokoh besar, dr. Corona tetap rendah hati. Ia masih menerima telpon dan kongkow ngopi untuk sharing atau ngobrol yang tidak semua tentang hal – hal serius. Kisahnya adalah kisah tentang keteguhan, iman, dan cinta pada sesama manusia. Tentang bagaimana seorang dokter menjadikan profesinya bukan sekadar karier, tapi jalan jihad kemanusiaan. Tentang bagaimana Muhammadiyah menebar rahmat ke seluruh dunia melalui tangan-tangan terampil yang bekerja dengan hati.
Kini, banyak orang menyebutnya dokter bencana, dokter kemanusiaan, atau dokter tangguh. Namun mungkin sebutan paling tepat adalah dokter yang menyalakan cahaya di tengah gelapnya bencana. Dan seperti kebiasaannya setiap kali bersua atau di telpon, ia akan bilang “Bun, saya ulangtahun lho, jangan makan soto terus rek !” Keisengannya yang selalu menyegarkan.
Terima kasih mas Dokter Corona dan team, mari kita syukuri, ini bukan hanya tentang respon bencana namun tentang cinta yang ditanam di jalan kemanusiaan. Jaya MDMC!
Penulis adalah pengurus MDMC tahun 2010 sd 2012


