YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Ketika berbicara tentang Muhammadiyah tentu tidak terlepas dari lambangnya yang bergambar matahari. Begitu pula mars atau lagu yang kerap dinyanyikan saat acara-acara resmi adalah Sang Surya. Makna dari matahari – Sang Surya ini merupakan cahaya yang menyinari negeri bahkan alam semesta ini dengan kiprahnya untuk masyarakat.
Dua belas sinarnya merepresentasikan fondasi pergerakan organisasi, termasuk Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman, serta prinsip tajdid (pembaruan) yang menjadi napas gerakan. Sementara mars Sang Surya menggemakan tekad untuk "mengusir kabut hitam", mengajak setiap kader dan jamaah menjadi agen perubahan yang menebar kemanfaatan bagi semesta.
Dalam praktiknya, Muhammadiyah mewujudkan "cahaya" tersebut melalui ribuan sekolah, universitas, rumah sakit, dan program pemberdayaan masyarakat yang menjangkau pelosok negeri. Bahkan, dalam konteks kekinian seperti upaya transisi energi, Muhammadiyah menegaskan perannya sebagai Sang Surya yang menginspirasi inovasi berkelanjutan. Dari panel surya di atap masjid, becak listrik, hingga pembangkit listrik mikrohidro di pedesaan.
Secara luas, dunia saat ini termasuk Indonesia, tengah menghadapi krisis multidimensi yang dipicu oleh perubahan tatanan global. Salah satu isu krusial adalah krisis energi, yang tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam, tetapi juga oleh pola pemanfaatan yang tidak rasional, pengelolaan yang kurang optimal, serta ketidakseimbangan antara kebutuhan dan keberlanjutan. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendy, MAP, menegaskan bahwa krisis energi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga tantangan moral yang memerlukan pendekatan holistik, termasuk peran agama dalam membangun kesadaran kolektif.
"Dan memang di situlah peranan agama menjadi sentral. Agama mengajarkan kita untuk tidak hanya mengambil dari alam, tetapi juga menjaga keseimbangannya. Ini adalah tanggung jawab moral yang harus dijalankan bersama," ungkap tokoh Muhammadiyah asal Madiun, Jawa Timur itu kepada Suara Muhammadiyah.
Menukil riset yang dilakukan oleh Purpose, tokoh atau pemimpin agama di Indonesia, khususnya di kalangan Muslim, memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi sebagai pembawa pesan terkait isu iklim. Dengan posisi yang sangat strategis untuk menggerakkan perubahan, namun keterlibatan tokoh atau pemimpin Muslim dalam wacana iklim masih minim. Kajian kualitatif juga menegaskan adanya konsensus di antara pemimpin Islam bahwa ajaran Islam secara jelas mendukung perlindungan lingkungan. Diantaranya tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga kelestarian alam, tidak hanya untuk kebaikan diri sendiri tetapi juga untuk masyarakat luas.
Riset Purpose dilakukan Agustus-September 2024 melalui survei kuantitatif nasional terhadap 3.000 Muslim dan studi kualitatif terhadap hampir 100 pemuka agama Islam melalui FGD dan wawancara mendalam. Riset ini bertujuan untuk lebih memahami perspektif Muslim terhadap aksi iklim dan meningkatkan strategi keterlibatan, serta memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan di sektor iklim melalui berbagai wawasan strategis yang dapat mempercepat tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Para pemimpin agama ini menyadari bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan adalah akibat dari perilaku manusia. Mereka percaya bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan ini. Kesadaran dan pemahaman yang kuat tentang tantangan iklim di kalangan pemimpin agama ini merupakan modal penting. Melibatkan mereka sebagai penggerak perubahan iklim dapat memperluas dukungan untuk aksi iklim dan mencapai massa kritis yang diperlukan untuk mendorong kebijakan berdampak dan perubahan sistemik.
Sebanyak 22% responden sepakat bahwa para pemimpin agama adalah pembawa pesan iklim yang paling dipercaya di kalangan Muslim Indonesia
Begitu pula dalam hal transisi energi sering dianggap sebagai solusi utama mengatasi krisis. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Negara-negara maju seperti Eropa, yang awalnya gencar mendorong energi hijau, terpaksa kembali ke energi fosil seperti batu bara. Apalagi setelah konflik Ukraina-Rusia mengganggu pasokan gas alam dari Rusia. Peralihan kebijakan ini mengungkap ketidakonsistenan politik global dalam menjaga komitmen lingkungan.
Menurut Muhadjir, ketergantungan dunia pada energi fosil masih tinggi, sementara transisi ke energi terbarukan memerlukan waktu dan kesiapan infrastruktur. Ini menuntut kebijakan yang arif, termasuk pemanfaatan sementara energi fosil dengan prinsip keberlanjutan. "Karena itu kita harus bersiap betul di dalam menyikapi masalah transisi energi ini. Kita baru akan bisa total beralih ke energi yang ramah lingkungan, energi hijau itu kira-kira baru 2060,” ungkap Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal tersebut.
Meski energi surya (solar cell) dan mikrohidro menjadi harapan masa depan, adopsinya masih terkendala mahalnya biaya infrastruktur dan teknologi. Negara-negara Timur Tengah, misalnya, telah berinvestasi besar-besaran dalam energi surya sebagai antisipasi menipisnya cadangan fosil. Sementara Indonesia masih dalam tahap awal, dengan inisiatif terbatas di sektor swasta dan lembaga pendidikan.
Muhammadiyah, sebagai organisasi masyarakat yang berbasis nilai keagamaan, mengambil peran dalam menjawab tantangan ini. Melalui institusi pendidikannya, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang pernah dipimpinnya membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) dengan memanfaatkan aliran sungai. Teknologi ini kemudian dikembangkan di masyarakat, menghasilkan puluhan instalasi yang mendukung kebutuhan energi lokal. UMM telah membangun PLTMH ini di beberapa titik di Malang. Termasuk di tempat wisata Sumber Maron Kabupaten Malang.
Tak hanya mikro hidro, integrasi energi surya juga mulai diujicobakan. Di Masjid At-Tanwir Jakarta dan beberapa kampus, panel surya dipasang di atap bangunan. Tantangan teknis seperti konversi arus listrik dari DC (surya) ke AC (konvensional) berhasil diatasi dengan alat konverter yang dikembangkan internal. Rumah Sakit UMM bahkan telah menggunakan energi surya untuk sebagian kebutuhan listrik sejak 2008.
Inovasi Muhammadiyah tidak berhenti pada energi. Desain arsitektur hijau menjadi bagian dari visi keberlanjutan. Kampus-kampus Muhammadiyah pun seperti UMM dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) diantaranya mengintegrasikan panel surya dan sistem penghematan energi dalam desain bangunan. Pendekatan ini turut mengurangi jejak karbon termasuk juga menjadi media edukasi bagi civitas akademika.
“Kampus-kampus Muhammadiyah harus jadi contoh bagaimana teknologi dan nilai-nilai keislaman bisa berkolaborasi. Dari mikro hidro hingga desain bangunan hemat energi, ini adalah bentuk dakwah bil hal (dakwah melalui tindakan nyata) yang kita usung," jelas mantan Rektor UMM tahun 2000–2016 itu.
Masih berdasarkan riset Purpose, terdapat dukungan yang kuat dari masyarakat terhadap penerapan energi terbarukan. Namun, dukungan publik yang besar ini belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan politik. Para pembuat kebijakan belum secara aktif mengadopsi dan menginvestasikan sumber daya dalam solusi iklim yang berkelanjutan.
Hal ini menandakan perlunya peningkatan kesadaran akan pentingnya langkah-langkah nyata dalam mengatasi perubahan iklim. Energi terbarukan belum dipandang sebagai solusi utama yang perlu segera diimplementasikan. Maka, diharapkan adanya upaya lebih lanjut untuk menjembatani kesenjangan antara dukungan masyarakat dan tindakan politik yang konkret.
Mayoritas responden mendukung penerapan energi terbarukan
Transisi energi memerlukan kolaborasi multipihak. Muhadjir menekankan pentingnya kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah dalam percepatan adopsi energi terbarukan. Selain itu, transfer teknologi dan investasi dalam riset perlu ditingkatkan agar energi hijau lebih terjangkau. Indonesia, dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, bisa menjadi contoh dunia jika transisi energi dilakukan dengan integritas dan kebijaksanaan.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Hening Parlan menyebutkan bahwa di tengah dinamika global yang mendorong transisi energi, kesadaran masyarakat Indonesia tentang hakikat energi masih terbatas. Listrik sering kali disalahartikan sebagai satu-satunya bentuk energi, padahal ia hanyalah hasil konversi dari sumber energi lain seperti batubara, gas, matahari, atau angin.
Direktur EcoBhinneka Muhammadiyah itu menggarisbawahi bahwa ketidaktahuan ini berakar dari pola pikir yang mengasosiasikan energi sekadar sebagai alat penerangan. Padahal, energi mencakup seluruh proses dari hulu ke hilir mulai dari ekstraksi sumber, konversi, distribusi, hingga konsumsi. Pemahaman ini menjadi krusial dalam menyikapi ancaman krisis iklim dan kelangkaan sumber energi fosil, yang mendesak Indonesia untuk bertransisi ke energi bersih dan berkeadilan.
Baru-baru ini Muhammadiyah dengan dukungan Greenfaith dan Purpose memeperkenalkan Buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan. Buku yang disusun Majelis Tarjih dan Tajdid bersama Majelis Lingkungan Hidup (MLH) PP Muhammadiyah tersebut ditujukan untuk memberikan panduan moral dan praktis dalam pengelolaan energi yang adil dan berkelanjutan.
Transisi energi bukan hanya tentang mengganti batubara dengan panel surya, melainkan perubahan paradigma dalam mengelola sumber daya. Indonesia diberkahi kekayaan energi terbarukan yang melimpah seperti sinar matahari sepanjang tahun, aliran sungai, panas bumi, hingga ombak laut. Pemanfaatan energi baru terbarukan Indonesia masih jauh panggang dari api seperti dalam Fikih Transisi Energi dan ESDM (2023), misalnya energi surya memiliki potensi 3.295 GW namun pemanfaatannya masih 0.27 GW. Begitu pula sumber energi lainnya seperti hidro (95 GW berbanding pemanfaatan 6.69 GW), bioenergi (potensi 57 GW berbanding 3.09 GW), bayu/angin (155 GW berbanding 0.15 GW), panas bumi (24 GW berbanding 2.34), dan laut (60 GW berbanding 0).
Jalan menuju energi bersih di Indonesia dipenuhi tantangan multidimensi. Di level kebijakan, komitmen pemerintah untuk mencapai net-zero emission pada 2060 belum menggembirakan. Proyek energi terbarukan kerap terbentur birokrasi dan regulasi yang tidak mendukung. Misalnya, masyarakat yang ingin memasang panel surya di rumah harus melalui proses perizinan rumit dengan kuota terbatas, berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat atau Jerman yang memberikan insentif pajak dan kemudahan akses.
Di sisi lain, mahalnya biaya teknologi menjadi penghalang utama. Pembangunan sistem panel surya untuk masjid atau pesantren bisa menelan dana puluhan juta - miliaran rupiah, belum lagi biaya perawatan dan kurangnya tenaga ahli bersertifikasi. Minimnya edukasi juga memperparah kondisi ini, hanya segelintir masyarakat yang paham cara mengoptimalkan energi terbarukan, sementara kurikulum pendidikan formal belum mengintegrasikan literasi energi hijau secara masif.
Talk show bertajuk Cahaya Ramadhan, Menjalani Ibadah dengan Energi Berkelanjutan pada Rabu, 19 Februari 2025. Foto Istimewa
Buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan Foto Suara Muhammadiyah
Di sinilah peran organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah menjadi kunci. Muhammadiyah menggagas Proyek Seribu Cahaya, sebuah inisiatif untuk mengonversi masjid, pesantren, dan sekolah menjadi pusat energi terbarukan. Contoh nyata terlihat di Masjid At-Tanwir Jakarta, yang berhasil menghemat 40% konsumsi listrik berkat instalasi panel surya.
Contoh lainnya Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, berhasil memangkas 8,8% penggunaan energi dalam sebulan melalui audit energi. Upaya ini diperkuat dengan pelatihan kader yang fokus pada keterampilan teknis, seperti pemasangan panel surya skala rumahan dan manajemen energi berbasis komunitas. Termasuk Masjid Al-Muharram Brajan Yogyakarta menggunakan panel surya untuk kebutuhan listrik sehari-hari dari sumber energi bersih. Masjid ini mendapatkan manfaat dari Program Sedekah Energi yang merupakan kolaborasi program Sedekah Energi Muslims for Shared Actions on Climate Impact (MOSAIC).
Terang saja, tantangan terbesar justru terletak pada upaya merangkul masyarakat akar rumput. Bagi petani di pedesaan, listrik tenaga surya bukan hanya tentang lingkungan, tetapi solusi konkret untuk mengairi sawah tanpa bergantung pada diesel yang mahal. Bagi UMKM, energi stabil berarti keberlangsungan produksi tempe, kerajinan, atau usaha kecil lainnya.
Muhammadiyah menangkap peluang ini dengan mendorong integrasi energi terbarukan ke dalam ekonomi kerakyatan. Misalnya, skema agrovoltaik—kombinasi panel surya dengan lahan pertanian—bisa menjadi solusi dualitas krisis energi dan pangan. Di wilayah pesisir, kincir angin skala kecil dapat menggerakkan mesin pengolah ikan, sementara di pegunungan, mikrohidro menjadi sumber listrik andalan. Pendekatan ini tidak hanya hijau secara ekologis, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi generasi muda, terutama lulusan SMK yang dilatih sebagai teknisi energi terbarukan.
Visi jangka panjang transisi energi berkeadilan harus dibangun secara bersama-sama. Pemerintah perlu merevisi regulasi yang menghambat, seperti membuka kuota lebih besar untuk proyek energi terbarukan masyarakat dan memberikan subsidi bagi pelaku UMKM. Dunia pendidikan wajib mengintegrasikan kurikulum energi hijau, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi, untuk menciptakan generasi yang melek teknologi bersih. Di tingkat komunitas, gerakan sosial seperti penanaman 25 pohon per orang, sebagaimana dikampanyekan Hening Parlan dapat memperkuat penyerapan karbon sekaligus menyadarkan publik tentang interdependensi antara energi, pangan, dan lingkungan.
Muhammadiyah, dengan jaringan jutaan anggota dan ribuan institusi pendidikan, memiliki kapasitas untuk menjadi pelopor gerakan ini. Dari masjid yang menjadi pusat edukasi energi hingga kampus yang jadi laboratorium inovasi, setiap elemen organisasi dapat berkontribusi pada peta jalan transisi energi. Kunci keberhasilannya terletak pada konsistensi dan kesadaran bahwa transisi energi bukan proyek instan, tetapi investasi jangka panjang untuk kemaslahatan umat. Dalam perspektif Islam, ini adalah bentuk jihad ekologis: perjuangan melestarikan bumi sebagai amanah Allah SWT.
Seperti menggemanya mars Sang Surya dalam setiap kesempatan acara persyarikatan Muhammadiyah adalah pengingat selama matahari masih terbit, Muhammadiyah akan terus menjadi mercusuar yang membimbing masyarakat menuju peradaban yang berkelanjutan. Seperti sang surya yang tak kenal lelah, cahayanya diharapkan tetap abadi menerangi, menghangatkan, dan menghidupkan. (Riz)