Galileo, Puding Tapioka, dan Dua Kitab Tuhan
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Kali ini saya hendak memmbahas buku berjudul A User's Guide to Science and Belief (1990), sebuah buku ringan dengan ilustrasi menarik. Buku ini menawarkan panduan bagi umat beragama dalam menjawab tantangan di era sains modern. Seringkali, muncul pertanyaan tentang bagaimana mendamaikan keyakinan agama dengan penemuan-penemuan ilmiah terbaru. Buku ini memberikan penjelasan yang cerdas dan mudah dicerna.
Salah satu poin menarik yang dibahas adalah konsep "dua kitab Tuhan". Kitab pertama adalah wahyu tertulis, seperti Alkitab bagi umat Kristen atau Al-Qur'an bagi umat Islam. Kitab kedua adalah "kitab alam semesta", yaitu ciptaan Tuhan yang bisa kita amati di sekitar kita. Kedua kitab ini seharusnya saling melengkapi, bukan saling bertentangan. Keduanya mengungkapkan kebenaran tentang Tuhan dan rencana-Nya bagi umat manusia.
Konsep ini selaras dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk berpergian dan mengamati alam semesta. Al-Qur'an menyebut alam semesta sebagai "tanda-tanda kebesaran Tuhan". Dengan menjelajahi dunia, kita bisa melihat keindahan dan kerumitan ciptaan Tuhan, yang pada akhirnya akan memperdalam iman kita.
Salah satu bagian yang paling menarik dari buku ini adalah bagaimana Michael Poole, sang penulis, membahas hubungan antara sains dan agama. Ia dengan brilian menepis anggapan bahwa keduanya selalu bertentangan. Poole menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, termasuk di Abad Pertengahan, interaksi antara sains dan agama cukup kompleks.
Ambil contoh kasus Galileo. Meskipun ia dikenal karena konfliknya dengan Gereja, Poole menjelaskan bahwa ketegangan yang terjadi bukanlah semata-mata antara sains dan agama, melainkan juga antara berbagai interpretasi ilmiah yang berbeda pada saat itu. Poole menekankan bahwa pada dasarnya, sains dan agama memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran.
Poole juga menantang gagasan "positivisme logis" yang menyatakan bahwa kita hanya boleh percaya pada hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris. Ia dengan cerdas menunjukkan bahwa prinsip positivisme logis itu sendiri tidak dapat dibuktikan! Ini berarti, pada akhirnya, positivisme logis juga diterima berdasarkan "keyakinan" atau "iman". Jadi, menuntut umat beragama untuk menyediakan bukti empiris untuk setiap keyakinannya adalah suatu standar ganda.
Poole juga menyinggung sebuah pandangan yang ia sebut "nothing buttery" (tidak ada mentega), yaitu anggapan bahwa manusia hanyalah kumpulan unsur kimia belaka. Ia menolak pandangan reduksionis ini dengan menegaskan bahwa manusia jauh lebih kompleks daripada sekadar gabungan fosfor, besi, klorin, dan lemak. Meskipun sains dapat menjelaskan komposisi fisik tubuh kita, ia tidak dapat menjelaskan esensi dari keberadaan manusia, seperti kesadaran, pikiran, dan jiwa.
Sains dapat memberi tahu kita "bagaimana" kita ada di dunia ini, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan "mengapa". Sains tidak dapat memberikan makna hidup atau menjelaskan tujuan keberadaan kita. Di sinilah agama berperan. Agama memberikan kerangka makna yang membantu kita memahami posisi kita di alam semesta dan menemukan tujuan hidup yang hakiki.
Bagian yang cukup menghibur adalah ketika Poole membahas tentang kesulitan manusia dalam menggambarkan Tuhan dengan bahasa. Ia mengingatkan kita bahwa bahasa manusia terbatas pada pengalaman indrawi kita. Ketika kita menggunakan bahasa tersebut untuk menggambarkan Tuhan yang transenden, ada kemungkinan terjadi kesalahpahaman.
Poole mengutip sebuah anekdot menarik dari C.S. Lewis tentang seorang gadis yang diajarkan oleh orang tuanya bahwa Tuhan adalah "zat yang sempurna". Karena tidak paham maksudnya, gadis itu membayangkan Tuhan sebagai puding tapioka raksasa! Ironisnya, ia bahkan tidak suka puding tapioka.
Anekdot ini menunjukkan bahwa bahasa manusia memiliki keterbatasan dalam menggambarkan Tuhan. Kita mungkin menggunakan kata-kata seperti "mahakuasa", "mahabijaksana", atau "mahapengasih", tetapi sebenarnya kita tidak dapat sepenuhnya memahami makna sebenarnya dari kata-kata tersebut ketika diterapkan pada Tuhan.
Melalui anekdot puding tapioka tadi, Poole ingin menunjukkan bahwa kita seringkali terjebak dalam bahasa analogis ketika berbicara tentang Tuhan. Analogi memang berguna untuk menyederhanakan konsep yang rumit, namun ia juga memiliki keterbatasan.
Bayangkan kita mencoba menjelaskan rasa "manis" kepada seseorang yang tidak pernah merasakannya. Kita bisa menggunakan analogi seperti "madu" atau "gula". Namun, analogi ini hanya memberikan gambaran sekilas, bukan pengalaman sesungguhnya dari rasa "manis".
Begitu pula dengan Tuhan. Kita bisa menggunakan berbagai analogi untuk menggambarkan sifat-sifat-Nya, tetapi analogi tersebut tidak akan pernah bisa mencakup kemahabesaran dan misteri Tuhan sepenuhnya.
Lalu, bagaimana caranya kita bisa mengenal Tuhan dengan lebih baik? Poole menekankan pentingnya "praktik keagamaan" dan "pencelupan keagamaan". Artinya, kita perlu aktif dalam beribadah, mempelajari ajaran agama, dan menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai keimanan kita. Melalui proses ini, kita akan semakin dekat dengan Tuhan dan memahami kebenaran-Nya secara lebih mendalam.
Salah satu keunggulan lain dari buku A User's Guide to Science and Belief ini adalah bagaimana Poole menjembatani konsep evolusi dengan keyakinan agama. Topik evolusi seringkali menjadi perdebatan yang cukup panas, di mana sebagian orang memandangnya bertentangan dengan ajaran agama, sementara yang lain melihatnya sebagai bagian dari rencana Tuhan dalam menciptakan kehidupan. Poole menyajikan argumen yang menarik tentang bagaimana keduanya dapat berjalan berdampingan.
Poole mengajak kita untuk melihat "desain" yang ada di alam semesta, baik dalam perilaku manusia, struktur tubuh makhluk hidup, maupun fenomena alam di sekitar kita. Desain yang rumit dan terorganisir ini, menurut Poole, menunjukkan adanya Sang Pencipta yang cerdas di balik semua itu. Dengan kata lain, keberadaan Tuhan dapat dilihat melalui karya-karya-Nya di alam semesta.
Buku ini memang kecil, tetapi cakupannya sangat luas. Poole berhasil mengemas banyak informasi dan argumen penting ke dalam buku yang ringkas dan mudah dibaca. Meskipun lebih banyak ilustrasi dibandingkan teks, buku ini tetap memberikan kedalaman dan wawasan yang berharga. Saya sendiri sering membaca ulang buku ini untuk mendapatkan inspirasi dan amunisi dalam berbagai diskusi dan debat tentang sains dan agama.
A User's Guide to Science and Belief adalah buku yang telah membuka pikiran saya dan mengubah cara pandang saya tentang hubungan antara sains dan agama. Buku ini telah membantu saya untuk lebih memahami dan menghargai kedua disiplin ilmu tersebut. Saya sangat merekomendasikan buku ini kepada siapa pun yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang interaksi antara sains dan agama. Semoga buku ini juga dapat memberikan pencerahan bagi Anda sebagaimana ia telah memberikan pencerahan bagi saya.