Guru dan Tuntutan Profesionalitas

Publish

28 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
48
Sumber Foto: Pixabay

Sumber Foto: Pixabay

Guru dan Tuntutan Profesionalitas

Oleh: Amalia Irfani, Sekretaris LPM PWM Kalbar, Dosen IAIN Pontianak 

Hari Guru Nasional yang diperingati setiap tanggal 25 November merupakan salah momentum istimewa untuk menghormati profesi mulia bernama guru. Tidak hanya sebagai seremonial saja, hari guru nasional harus menjadi momen refleksi tentang profesi guru yang sejatinya sangat berkelas. Di Indonesia, posisi guru terkategori  dilematis, dihormati secara simbolis, tetapi sering dipinggirkan secara material dan kebijakan. Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara idealisme pendidikan dan realitas politik-ekonomi yang tidak kunjung surut di jagad maya. 

Fakta sosial tersebut bisa kita lihat misalnya masih jamak stigma yang beredar di masyarakat peran guru dianggap sebagai kewajiban profesi, untuk bisa mendidik melalui transfer ilmu pengetahuan sekaligus memperbaiki sikap mental. Guru acapkali disalahkan jika siswanya tidak taat aturan atau bahkan sulit menerima pelajaran. Di sisi lain guru pun akan dianggap bersikap terlalu ekspresif jika menghukum dengan hukuman fisik. 

Dulu hukuman fisik seperti jeweran, berdiri di depan kelas atau membersihkan kelas merupakan metode disiplin yang umum digunakan. Sekarang beberapa negara telah melarang  hukuman fisik, misalnya Nepal, Swedia, Jerman, dan Korea Korea Selatan, karena dianggap menyebabkan trauma psikologis pada siswa. 

Guru di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana jika menghukum dengan hukuman fisik, hal ini tergambar pada Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Hukuman fisik dianggap tidak manusiawi karena dianggap merendahkan martabat siswa. Silang pendapat tentu akan bermunculan pada posisi ini, namun kita pun pasti menyetujui tidak boleh ada kekerasan di dunia pendidikan fisik atau pun verbal. Jika luka fisik bisa hilang namun tidak dengan ucapan jika telah melukai hati. Banyak kasus siswa kehilangan semangat belajar, cenderung suka menyendiri, hilang kepercayaan diri karena kekerasan verbal berupa bullying yang terjadi di sekolah. Fenomena yang tidak boleh diremehkan, efek jangka panjang akan mempengaruhi kualitas hidup siswa termasuk bagaimana interaksi sosialnya di masyarakat. 

Pertanyaan yang relevan terkait pernyataan di atas adalah sudahkah profesi guru di republik ini sebanding dengan integritas yang telah mereka curahkan, dengan penuh tanggungjawab untuk mendidik. Jika profesi guru disebut pengabdian, lalu apa bedanya dengan profesi lain yang juga ikut berkontribusi membangun bangsa? Realitasnya profesi apapun memiliki ruang yang sama untuk membangun dan merawat NKRI, namun profesi guru lebih istimewa karena guru mendidik calon pemimpin bangsa. Harusnya mendapat ruang penghargaan yang juga lebih baik. 

Diskusi penulis dengan guru senior yang menua mengabdikan dirinya sebagai pendidik, menyisakan banyak kisah manis dibandingkan pengalaman pahit. Gurat kebahagiaan bercampur dengan segudang cerita yang jika disimak satu-satu maka entah berapa ratus episode, karena mengajar tak cukup dengan diksi semangat dan ilmu saja, tetapi seperti belajar berjalan hingga bisa berlari yang wajib hukumnya dilingkupi kesabaran dan segudang keikhlasan. 

Guru dan Hadiah 

Beberapa tahun terakhir profesi guru seolah naik kelas baik dalam bentuk pemberitaan positif atau pun negatif. Positif misalnya secara nasional peringatan hari guru dimeriahkan dengan upacara, penyerahan piagam penghargaan bagi guru berprestasi, dan pemberian hadiah siswa ke wali kelas. 

Penghargaan tersebut khususnya pemberian hadiah walaupun sah-sah saja karena tidak ada paksaan, mengundang reaksi berbeda karena dinilai mengkuatirkan. Di dunia maya wara-wiri menyebut hal tersebut jika dinormalisasi tidak lagi sekedar penghormatan, maka akan menciptakan masalah baru. Antara lain kecemburuan sosial guru mata pelajaran yang juga punya andil mendidik. Pemberian hadiah juga dikhawatirkan mempengaruhi objektivitas guru dalam menilai. 

Jika kita bedah dari sudut Sosiologi Pendidikan hadiah berpotensi negatif jika diberikan pada momentum sensitif. Tentu tidak selalu niat memberikan hadiah karena tujuan mendapatkan nilai, tetapi karena menghormati dan ingin memberikan kebahagiaan di momentum hari guru. 

Dalam teori pertukaran sosial dijelaskan  bahwa pemberian hadiah akan/dapat bernilai gratifikasi dan melanggar etika profesional jika ada nilai atau ekspektasi imbalan. Antara lain nilai atau perlakuan istimewa. (hanan)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Waktu yang Tak Kembali dan Produktivitas yang Bermakna Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahm....

Suara Muhammadiyah

13 October 2025

Wawasan

Refleksi Akhir Tahun dan Optimisme Tahun 2025 Oleh: Afita Nur Hayati, Bekerja di Universitas Islam ....

Suara Muhammadiyah

31 December 2024

Wawasan

Keluarga dalam Islam Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Islam mem....

Suara Muhammadiyah

17 March 2025

Wawasan

Keteladanan RA Kartini Mendobrak Kejumudan Oleh: Rumini Zulfikar (Gus Zul), Penasehat PRM Troketon ....

Suara Muhammadiyah

22 April 2024

Wawasan

Bahaya Perangai “Feodal” dalam Tubuh Persyarikatan Oleh: Revvina Agustianti Subroto, Ke....

Suara Muhammadiyah

21 January 2025